Sabtu, 07 September 2013

Hukum Memakan Harta Korupsi

Hukum Memakan Harta Korupsi
Ngalimun ;  Pengisi Pengajian, Dewan Pembina GP Anshor Pati, Jateng
SUARA KARYA, 06 September 2013


Apa hukum memakan harta hasil korupsi? Tentu jawabannya masih beraneka ragam. Ada yang tegas mengatakan haram, ada pula yang mengatakan subhat dan halal. Namun, yang jelas korupsi merupakan dosa besar, karena hal itu merugikan rakyat dan negara.

Tak lama ini, kita banyak dikejutkan dengan tertangkapnya beberapa pejabat pemerintah yang terlibat kasus korupsi. Pertanyaannya, bagaimana dengan keluarga mereka yang memakan uang hasil korupsi, apakah halal dan barokah atau tidak?

Ada orang miskin dengan cepat menjadi kaya, tetapi setelah kaya justru tidak bahagia karena terbebani oleh hartanya dan secara tragis harta mengantarkannya ke penjara. Ironis dan tragis, tapi sering terjadi di kalangan elite politik dan birokrasi. Mestinya harta merupakan perhiasan dan sarana hidup sehingga kehidupan lebih bahagia dan bermartabat.

Hukum positif sebenarnya telah cukup banyak memberi rambu-rambu tentang tata cara perolehan dan penggunaan harta yang sah dan benar. Moralitas hukum pun telah memberi ajaran mendasar tentang perbuatan-perbuatan yang patut atau tidak patut dilakukan seseorang terhadap harta.

Pesan Moral

Mengapa mereka melanggar ugeran-ugeran itu? Beberapa pesan moral berikut pantas kita perhatikan bersama. Pertama, kejujuran. Setiap orang mesti jujur dalam perolehan dan penggunaan harta. Bersikap terbuka ketika ada orang mempertanyakannya. Tidak perlu khawatir atau was-was karena di atas kejujuran segalanya mudah dipertanggungjawabkan. Apabila koruptor berlaku jujur, maka tegarlah menghadapi pemeriksaan dan berani bertanggung jawab. Apabila tidak ada politik uang, maka tenang-tenanglah para politikus, tak perlu bersilat lidah.

Namun, awas, pengalaman mengajarkan bahwa pemilu, pilkada, dan sejenisnya selalu sarat dengan politik uang. Ujung-ujungnya menyeret siapa pun yang terlibat untuk disidang di meja hijau. Becik ketitik ala ketara.

Kedua, pada harta kita ada hak-hak pihak lain. Pihak lain itu tetangga, sanak saudara, fakir-miskin, bahkan negara. Kewajiban membayar zakat dan pajak tidak boleh dilalaikan. Apabila hak-hak mereka kita berikan, berarti harta kita bersih. Harta bersih itu akan menjadi "teman" kita, menghiasi kehidupan kita, sehingga hidup terasa nyaman dan indah. Akrab, dihormati, dan disegani oleh sesama dan dilin- dungi oleh negara. Mari, kita mawas diri dengan kewajiban ini.

Sebaliknya, pemerintah jangan gegabah mengatasnamakan negara untuk memeras rakyat dengan pajak atau sejenisnya. Rakyat bukan sapi perahan atau tumbal untuk tegaknya pemerintahan yang gonjang-ganjing, defisit keuangan, sebab salah urus.

Ketiga, berbuat keutamaan dengan bederma kepada fakir- miskin. Minta-minta itu hina, dilarang, dan hanya dibenarkan apabila kepepet, tidak ada makanan dan minuman barang sedikit pun untuk mengisi perutnya yang kelaparan. Betapapun dilarang, kini secara sosial semakin banyak saudara kita yang terpaksa minta-minta karena kemiskinan struktural. Itu hina, tetapi sedikit lebih baik daripada mencuri atau korupsi.

Berilah mereka walau hanya seteguk air dan sesuap nasi dengan cara terhormat, mendidik, diiringi senyum ramah. Jangan sekali-kali mengumpatnya. Larangan memberi kepada anak jalanan tak boleh sekadar mengurangi kemacetan lalu lintas dan kerawanan sosial, tetapi wajib diikuti langkah konsekuen berupa pengayoman, perlindungan, dan pemenuhan hak hidup mereka secara layak oleh negara.

Keempat, jangan sekali-kali mendaku dan bermental sebagai orang miskin. Belajarlah menjadi orang kaya. Sikap seolah-olah miskin dan diikuti dengan perburuan harta secara rakus, serakah, dan menghalalkan segala cara dilukiskan sebagai "mengumpulkan bara api". Harta seperti itu panas dan membakar diri dan keluarganya apabila dia makan.

Tidak Barokah

Dalam bahasa awam, harta demikian tidak barokah. Sebaliknya, orang yang belajar kaya akan suka berderma dan tabu mengulurkan tangan di bawah. Dia sadar akan hal-hal yang dapat merendahkan harga diri dan martabatnya. Alangkah indah kehidupan bersama ini jika nirkemiskinan dan disemarakkan perlombaan belajar jadi orang kaya.

Orang yang sudah kaya (politikus, pengusaha, pegawai pajak, pegawai bea cukai, notaris, birokrat, dan lain-lain) tentu tidak perlu lagi belajar memberi, tetapi bersihkan hartamu dan tingkatkan kadar kedermawananmu dengan ikhlas.

Kita, sebagaimana Gayus, Nazarudin, Menpora, ataupun siapa saja para koruptor, hanyalah manusia biasa yang rentan terhadap berjangkitnya harta kotor dan panas. Tapi kita bersyukur di negeri ini ada undang-undang (UU) Pencucian Uang. UU itu tidak perlu berlaku bagi kita kalau harta sudah kita bersihkan sendiri terlebih dulu.

Yang jelas, semua orang meyakini bahwa uang hasil curian, korupsi, dan sejenisnya adalah haram. Jika memakan harta hasil tidak halal, maka ganjarannya adalah neraka. Itu pasti. Semua agama melarang mencuri dan korupsi. Jika masih banyak pejabat di negeri ini melakukan korupsi, maka mereka harus bersiap hartanya tidak barokah.


Mereka, juga harus siap-siap mendapat hukuman di dunia maupun akhirat. Ingat, Tuhan tidak pernah tidur, kesalahan sekecil apapun harus dipertanggungjawab-kan di muka-Nya. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar