|
Apa hukum memakan harta hasil
korupsi? Tentu jawabannya masih beraneka ragam. Ada yang tegas mengatakan
haram, ada pula yang mengatakan subhat dan halal. Namun, yang jelas korupsi
merupakan dosa besar, karena hal itu merugikan rakyat dan negara.
Tak lama ini, kita banyak
dikejutkan dengan tertangkapnya beberapa pejabat pemerintah yang terlibat kasus
korupsi. Pertanyaannya, bagaimana dengan keluarga mereka yang memakan uang
hasil korupsi, apakah halal dan barokah atau tidak?
Ada orang miskin dengan cepat
menjadi kaya, tetapi setelah kaya justru tidak bahagia karena terbebani oleh
hartanya dan secara tragis harta mengantarkannya ke penjara. Ironis dan tragis,
tapi sering terjadi di kalangan elite politik dan birokrasi. Mestinya harta
merupakan perhiasan dan sarana hidup sehingga kehidupan lebih bahagia dan
bermartabat.
Hukum positif sebenarnya telah
cukup banyak memberi rambu-rambu tentang tata cara perolehan dan penggunaan
harta yang sah dan benar. Moralitas hukum pun telah memberi ajaran mendasar
tentang perbuatan-perbuatan yang patut atau tidak patut dilakukan seseorang
terhadap harta.
Pesan Moral
Mengapa mereka melanggar
ugeran-ugeran itu? Beberapa pesan moral berikut pantas kita perhatikan bersama.
Pertama, kejujuran. Setiap orang mesti jujur dalam perolehan dan penggunaan
harta. Bersikap terbuka ketika ada orang mempertanyakannya. Tidak perlu khawatir
atau was-was karena di atas kejujuran segalanya mudah dipertanggungjawabkan.
Apabila koruptor berlaku jujur, maka tegarlah menghadapi pemeriksaan dan berani
bertanggung jawab. Apabila tidak ada politik uang, maka tenang-tenanglah para
politikus, tak perlu bersilat lidah.
Namun, awas, pengalaman
mengajarkan bahwa pemilu, pilkada, dan sejenisnya selalu sarat dengan politik
uang. Ujung-ujungnya menyeret siapa pun yang terlibat untuk disidang di meja
hijau. Becik ketitik ala ketara.
Kedua, pada harta kita ada hak-hak
pihak lain. Pihak lain itu tetangga, sanak saudara, fakir-miskin, bahkan
negara. Kewajiban membayar zakat dan pajak tidak boleh dilalaikan. Apabila
hak-hak mereka kita berikan, berarti harta kita bersih. Harta bersih itu akan
menjadi "teman" kita, menghiasi kehidupan kita, sehingga hidup terasa
nyaman dan indah. Akrab, dihormati, dan disegani oleh sesama dan dilin- dungi
oleh negara. Mari, kita mawas diri dengan kewajiban ini.
Sebaliknya, pemerintah jangan
gegabah mengatasnamakan negara untuk memeras rakyat dengan pajak atau
sejenisnya. Rakyat bukan sapi perahan atau tumbal untuk tegaknya pemerintahan
yang gonjang-ganjing, defisit keuangan, sebab salah urus.
Ketiga, berbuat keutamaan dengan
bederma kepada fakir- miskin. Minta-minta itu hina, dilarang, dan hanya
dibenarkan apabila kepepet, tidak ada makanan dan minuman barang sedikit pun
untuk mengisi perutnya yang kelaparan. Betapapun dilarang, kini secara sosial
semakin banyak saudara kita yang terpaksa minta-minta karena kemiskinan struktural.
Itu hina, tetapi sedikit lebih baik daripada mencuri atau korupsi.
Berilah mereka walau hanya seteguk
air dan sesuap nasi dengan cara terhormat, mendidik, diiringi senyum ramah.
Jangan sekali-kali mengumpatnya. Larangan memberi kepada anak jalanan tak boleh
sekadar mengurangi kemacetan lalu lintas dan kerawanan sosial, tetapi wajib
diikuti langkah konsekuen berupa pengayoman, perlindungan, dan pemenuhan hak
hidup mereka secara layak oleh negara.
Keempat, jangan sekali-kali
mendaku dan bermental sebagai orang miskin. Belajarlah menjadi orang kaya.
Sikap seolah-olah miskin dan diikuti dengan perburuan harta secara rakus,
serakah, dan menghalalkan segala cara dilukiskan sebagai "mengumpulkan
bara api". Harta seperti itu panas dan membakar diri dan keluarganya
apabila dia makan.
Tidak Barokah
Dalam bahasa awam, harta demikian
tidak barokah. Sebaliknya, orang yang belajar kaya akan suka berderma dan tabu
mengulurkan tangan di bawah. Dia sadar akan hal-hal yang dapat merendahkan
harga diri dan martabatnya. Alangkah indah kehidupan bersama ini jika
nirkemiskinan dan disemarakkan perlombaan belajar jadi orang kaya.
Orang yang sudah kaya (politikus,
pengusaha, pegawai pajak, pegawai bea cukai, notaris, birokrat, dan lain-lain)
tentu tidak perlu lagi belajar memberi, tetapi bersihkan hartamu dan tingkatkan
kadar kedermawananmu dengan ikhlas.
Kita, sebagaimana Gayus,
Nazarudin, Menpora, ataupun siapa saja para koruptor, hanyalah manusia biasa
yang rentan terhadap berjangkitnya harta kotor dan panas. Tapi kita bersyukur
di negeri ini ada undang-undang (UU) Pencucian Uang. UU itu tidak perlu berlaku
bagi kita kalau harta sudah kita bersihkan sendiri terlebih dulu.
Yang jelas, semua orang meyakini
bahwa uang hasil curian, korupsi, dan sejenisnya adalah haram. Jika memakan harta
hasil tidak halal, maka ganjarannya adalah neraka. Itu pasti. Semua agama
melarang mencuri dan korupsi. Jika masih banyak pejabat di negeri ini melakukan
korupsi, maka mereka harus bersiap hartanya tidak barokah.
Mereka, juga harus siap-siap
mendapat hukuman di dunia maupun akhirat. Ingat, Tuhan tidak pernah tidur,
kesalahan sekecil apapun harus dipertanggungjawab-kan di muka-Nya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar