Sabtu, 21 September 2013

Status Justice Collaborator

Status Justice Collaborator
Kunarto Marzuki ;  Analis pada Badan Narkotika Nasional (BNN)
SUARA MERDEKA, 20 September 2013


PUBLIK dikejutkan oleh berita penangkapan model cantik Vanny Rossyane terkait kasus narkoba (SM, 18/9/13). Wanita yang mengaku bekas kekasih gembong narkoba Fredy Budiman itu langsung ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan Pasal 112 (kepemilikan narkoba secara tidak sah) dan 127 (penggunaan narkoba) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang  Narkotika. Vanny mengaku dijebak tapi hasil tes urine menunjukkan ia positif mengonsumsi metamphetamine (sabu).

Nama Vanny mencuat ke publik pada pertengahan Ramadan 2013. Dia mengeluarkan  testimoni menghebohkan berkait aktivitas Fredy di LP Cipinang. Dari keterangannya, terkuak Fredy tetap mengendalikan bisnis narkoba dari dalam penjara. Bahkan, lelaki itu bisa menyewa ruang khusus untuk pesta sabu dan bercinta di lembaga pemasyarakatan.

Setelah testimoni itu, muncul berbagai usulan Vanny supaya dilindungi dengan menetapkan sebagai justice collaborator. Namun usulan itu menghadapi sejumlah kendala. Dalam Peraturan Bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Polri  Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama, ada beberapa persyaratan yang tak dimiliki Vanny.

Pertama; ketentuan umum Pasal 1 regulasi itu menjelaskan bahwa yang dimaksud saksi yang bisa dilindungi, yaitu orang itu harus memberikan keterangan di pengadilan sebagai saksi atas terdakwa kasus tertentu, dan karena kesaksiannya dia terancam jiwa dan raganya. Padahal Vanny bukanlah salah satu saksi dalam kasus Fredy.

Kedua; saksi pelapor atau saksi yang bekerja sama adalah orang yang melaporkan secara resmi ke lembaga berwenang tentang kejahatan yang dia ketahui. Beberapa informasi yang disampaikan Vanny melalui media memang membantu aparat mengungkap peredaran narkoba di LP Cipinang. Namun dia banyak ”berkicau” di media dan tak melaporkan secara resmi ke instansi berwenang.

Ketiga; harus ada lembaga resmi yang menetapkan Vanny sebagai justice collaborator. Lembaga itu institusi negara yang berwenang menangani pemberantasan narkoba, yakni Polri dan Badan Narkotika Nasional (BNN). Atas dasar penetapan dari lembaga resmi, LPSK punya kewenangan melindungi Vanny. Mengingat Vanny tidak melaporkan ke lembaga resmi tentang informasi seputar bisnis narkoba Fredy, tentu tidak akan ada lembaga yang bisa menetapkan sebagai justice collaborator.

Menyimak cerita Vanny tentang Fredy, kita bisa membuka kisah anggota sindikat mafia narkoba Meksiko yang punya cerita sama. Joaquin Archivaldo Guzman Loera atau populer dipanggil El Chapo adalah gembong kartel narkoba Sinaloa, terbesar di Meksiko. Dari dalam penjara Puente Grande, negara bagian Jalisco, ia mengendalikan semua bisnis narkobanya, bahkan sampai ke AS.

Itulah sebabnya tatkala El Chapo melarikan diri dari penjara pada 2001, badan resmi antinarkoba AS, Drug Enforcement Administration (DEA) memberikan imbalan 5 juta dolar AS untuk tiap informasi yang mengarah pada keberadaannya. Majalah Forbes pada 2009 dan 2010 memasukkan nama pria itu sebagai salah satu miliarder tahunan dan daftar orang kaya di dunia. Seperti halnya Freddy, di penjara El Chapo dikelilingi sejumlah wanita cantik.

Seperti halnya El Chapo, bandar narkoba di Indonesia pun, terutama yang punya jejaring internasional, terus berupaya membangun imperium bisnis narkoba meskipun sudah mendekam di penjara. Fredy misalnya, ia terpidana mati kasus impor 1,4 juta butir ekstasi dari China yang diungkap BNN pada Mei 2012. Padahal waktu itu posisi Fredy adalah napi kasus narkoba yang sudah disidik oleh Polda Metro Jaya.

Peringatan Keras

Sebelum dilimpahkan oleh BNN ke kejaksaan untuk kemudian kembali disidangkan, Fredy bersumpah tak akan berhenti berbisnis narkoba meskipun berada di penjara. Pernyataan itu ia buktikan karena pada Maret 2013, Polri kembali mengungkap keterlibatan Fredy dalam penyelundupan 400 ribu ekstasi dari Belanda, yang melibatkan mantan ketua DPC PDIP Blora Colbert Mangaratua.

Kasus lain adalah Nico. Hanya beberapa hari sebelum divonis mati, tepatnya pada Juni 2013, gembong narkoba dan penembak bus TransJakarta yang ditahan di LP Cipinang tersebut ketahuan mengendalikan pabrik ekstasi di Kalideres Jakarta Barat. Dari hasil pemeriksaan, Nico diperintah Fredy untuk membuat ekstasi.

Rentetan kejadian itu merupakan peringatan keras bagi seluruh pemangku kepentingan di negeri ini bahwa pemberantasan peredaran narkoba tidak boleh main-main. Harus diakui anggota sindikat narkoba masih bisa bermain mata dengan aparat penegak hukum dan perangkat negara sehingga leluasa menjalankan bisnis haram mereka.


Aparat harus mengapresiasi informasi dari justice collaborator semisal Vanny dalam kasus peredaran narkoba di LP Cipinang dan Yohanes Paulus Setia Dharma dalam kasus serupa di LP Kedungpane Semarang. Negara perlu melindungi mereka yang siap bekerja sama memberikan informasi sehingga justice collaborator tidak takut memberikan pengakuan karena mendapat perlindungan dari negara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar