Sabtu, 21 September 2013

Capres yang Layak Dipilih

Capres yang Layak Dipilih
Jeffrie Geovanie  ;   Founder The Indonesian Institute
SINAR HARAPAN, 20 September 2013


Untuk apa menjadi calon presiden? Pertanyaan standar yang mungkin akan diremehkan jika diajukan kepada para capres yang kini sudah go public, sudah berkampanye ke seantero negeri. Mereka menganggap pertanyaan ini sebagai basa-basi yang tak perlu dijawab.

Tapi bagi rakyat, pertanyaan ini sungguh penting untuk diketahui jawabannya agar saat di bilik suara untuk menentukan pilihan, mereka tak salah memilih. Rakyat tak mau memilih seseorang yang ingin menjadi presiden sekadar untuk gagah-gagahan, atau sekadar mengejar gengsi dan jabatan tinggi.

Untuk sebagian pemilih yang benar-benar peduli dengan masa depan bangsanya, memilih calon presiden bisa menjadi momentum untuk merealisasikan cita-cita hidupnya, melalui seorang pemimpin yang akan dipilihnya, yang dibayangkannya seperti Ratu Adil.

Bagi mereka yang benar-benar peduli, kejelasan ideologi, visi, misi, dan strategi seorang capres konstruktif bagi kemajuan bangsa dan negaranya menjadi sangat penting. Dengan pertimbangan itu, tentu mereka tahu mana capres yang layak mereka pilih.

Bagi sebagian lain, bisa jadi memilih calon presiden adalah kesempatan mendapatkan keuntungan materi (uang) sebanyak-banyaknya. Mereka menerapkan prinsip yang sangat pragmatis, ada uang ada pilihan. Siapa yang memberi lebih banyak, dialah yang akan dipilih.

Salahkah mereka yang memilih karena pertimbangan pragmatis? Tentu. Tapi rasanya kurang bijaksana juga kalau kita hanya menyalahkan. Keberadaan mereka bisa kita jadikan bahan renungan, bahan refleksi dan introspeksi.

Bisa jadi, munculnya pragmatisme semacam ini merupakan refleksi ketidakpercayaan publik terhadap pemilu dan siapa pun yang akan mereka pilih. Berulang kali mengikuti pemilu tak berdampak sedikit pun pada perbaikan nasib mereka. Presiden boleh silih berganti, nasib mereka tak pernah berubah.

Pragmatisme juga bisa muncul karena banyak capres yang terbiasa mengumbar janji, menebar iming-iming yang tak pernah ditepati. Para capres ini merujuk pada pepatah lama, bagaikan menanam tebu di bibir. Tutur katanya manis, mulutnya penuh gula, tapi tindakannya bagai ular berbisa. Mereka itulah yang berkontribusi besar pada tumbuhnya apatis publik terhadap pemilu.

Apa pun penyebabnya, apatisme publik pada pemilu harus diminimalisasi. Mungkin akan sangat baik jika semua capres kembali menegaskan tujuannya menjadi capres, disertai paparan visi, misi, dan strategi yang akan diterapkan untuk meraih tujuan yang akan dicapainya. Kedengarannya memang klise, tapi ini penting untuk menumbuhkan kepercayaan dan keyakinan.

Biar Publik Menilai

Menurut saya, tujuan paling ideal menjadi capres adalah merealisasikan cita-cita kemerdekaan republik sebagaimana tertuang dalam pembukaan (preambule) UUD 1945. Yakni untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Setelah semua capres menegaskan tujuannya masing-masing, biarlah publik yang menilai, capres mana yang paling layak mereka pilih. Tentu mereka akan mencermati dengan teliti, mana di antara capres itu yang menyampaikan tujuan hanya basa-basi, dengan penuh kesungguhan, atau yang benar-benar dari hati.

Salah satu indikator yang mereka gunakan adalah melihat perilakunya sehari-hari, kata-katanya, serta kepeduliannya pada lingkungan sekitar, pada kehidupan orang-orang miskin, dan pada kebhinekaan yang menjadi penopang kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka teliti bukan dalam waktu sekejap, dari sepanjang yang mereka tahu dengan melacak rekam jejaknya masing-masing.

Dengan demikian, capres yang layak dipilih adalah, pertama, yang peduli pada nasib rakyat, pada kebersamaan, dan pada setiap upaya yang dilakukan untuk kemajuan masyarakatnya. Capres yang mampu memadukan kata dan perbuatannya. Kepeduliannya pada masyarakat tidak dibuat-buat. Pembelaannya pada bangsa dan negara sudah melekat dari masa ke masa.

Kedua, yang biasa hidup apa adanya, tidak merasa hidup sederhana secara tiba-tiba, yang kedekatannya pada rakyat tidak dibalut dengan beraneka citra, tapi benar-benar nyata, tidak hanya secara fisik, tapi secara aspiratif yang bisa dilihat dan dirasakan manfaatnya.

Ketiga, yang mumpuni, yang punya rekam jejak prestasi yang bisa diukur, bisa dirasakan secara merata tanpa diskriminasi. Tindakan-tindakannya manusiawi tanpa mengabaikan aspek ketegasan. Ia tahu kapan harus bersikap lunak dan kapan harus bertindak tegas.


Penekanan ciri-ciri capres yang layak dipilih ini penting agar kita, dan semua orang yang masih waras, tidak salah pilih, tidak terkecoh janji manis capres yang tiba-tiba peduli, tiba-tiba banyak memberi sumbangan, dan tiba-tiba mengaku banyak berbuat nyata untuk rakyat. Dari rekam jejaknya kita tahu, mana yang sejati, dan mana yang basa-basi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar