Kamis, 12 September 2013

Oleh-oleh Sepulang Haji

Oleh-oleh Sepulang Haji
Abdullah Sidiq Notonegoro ;    Pengajar di Fakultas Agama Islam 
Universitas Muhammadiyah Gresik
KORAN SINDO, 12 September 2013


Kala hendak bertamu ke rumah seseorang, dan orang tersebut adalah orang penting serta berpengaruh, pastilah kita akan melakukan persiapan yang terbaik sebelum bertamu. 

Andai punya beberapa baju, akan kita gunakan yang kelihatan paling bagus dan paling mahal. Andai tahu makanan apa yang paling disukai oleh ”sang tuan rumah”, sebisa mungkin kita akan membawakannya sebagai oleh-oleh. Semua itu di lakukan bukan dengan maksud pamer, tetapi sebagai bentuk penghormatan yang sangat tinggi. Bertamu ke rumah orang penting bukanlah hal yang mudah. 

Sebab, apa yang kita anggap paling baik dan yang hendak kita tunjukkan sebagai tanda penghormatan, bisa dipandang oleh yang punya rumah sebagai hal yang sebaliknya. Apa yang kita anggap sebagai bentuk penghormatan, bisa dipandang oleh yang punya rumah sebagai penghinaan atau penipuan. Karena itu, untuk menjadi tamu yang baik, haruslah tahu adab sopan santun dalam bertamu. 

Bukan seenaknya bertamu, tanpa peduli dengan kewajiban atau syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh tuan rumah. Sebaliknya, tamu harus menuruti semua keinginan tuan rumah, baik soal waktu bertamu, ruang yang boleh kita tempati untuk bercengkerama, atau kursi mana yang boleh kita duduki dan mana yang tidak boleh. Bahkan, andai tuan rumah tidak memberikan suguhan, walau seteguk air putih pun, kita tidak berhak untuk memprotesnya. 

Bagaimana jika kita hendak bertamu ke Baitullah? Apa saja yang harus dipersiapkan agar kita disambut dengan tangan terbuka dan segala pintu rahmat-Nya? Pertama, pakaian yang kita kenakan dalam berhaji haruslah benar-benar sesuai dengan kehendak Allah. Pakaian dalam berhaji pada hakikatnya ada 2 (dua), yaitu pakaian jasmaniah dan pakaian rohaniah. Pakaian jasmaniah yang diwajibkan oleh Allah adalah pakaian ihram, sebuah pakaian yang berwarna putih dan tidak berjahit. 

Semua manusia yang melaksanakan ritual haji, harus menggunakan pakaian ini. Siapa pun orangnya, mulai dari raja sampai rakyat jelata, pejabat sampai dengan penjahit, jenderal sampai kopral, dan seterusnya, harus memakai pakaian yang sama dan telah ditentukan ini. Pakaian rohaniah adalah sifat kehambaan yang tinggi hanya kepada-Nya (Abdul Allah). Pakaian Abdul Allah itulah, pakaian yang terbaik bagi manusia yang sempurna (QS. 7:26). 

Tidak ada pakaian di muka bumi ini yang mampu menaikkan derajat manusia ke puncak tertingginya kecuali penghambaan yang totalitas hanya kepada Allah. Karena hanya pakaian inilah yang mampu menembus batas kefanaan dan kerelativitasan. Kedua, sebagaimana layaknya bertamu, salam dan ucapan yang merajuk serta merayu kepada tuan rumah agar sudi membukakan pintu rumahnya adalah keharusan. 

Berdiam diri di depan pintu dengan tidak berucap apapun pada hakikatnya bukan bertamu. Salam dalam ibadah haji adalah dengan kalimat talbiyyah. Adapun lafaz talbiyyah bersebut memiliki arti: “Aku di sini, wahai Alláh, aku di sini di hadapan-Mu; tidak ada sekutu bagi Engkau, aku di sini; sesungguhnya segala puji dan nikmat adalah kepunyaan Engkau, dan kerajaan adalah kepunyaan Engkau; tidak ada sekutu bagi Engkau.

Apalah artinya sebuah talbiyyah jika hanya ada di bibir semata, sedangkan dalam sanubari masih bertumpuk lafaz persekutuan yang memuja kekuasaan, kekayaan, kesombongan, dan juga termasuk hal-hal yang bernuansa syirik. Apalah artinya pengakuan bahwa semua kerajaan adalah milik Allah, tapi dalam kehidupan sehari-hari kita membangun kerajaan yang absolut untuk diri kita sendiri dan membangunkan kerajaan untuk para iblis. 

Ketiga, mengunjungi Baitullah merupakan keberuntungan tersendiri. Tidak semua manusia memiliki kesempatan. Merupakan kerugian besar bagi mereka, yang mengeluarkan biaya besar, dan meninggalkan keluarga, jika kembali tidak membawa perubahan moral yang signifikan, kecuali hanya cerita bualan yang tidak ada kaitan sama sekali dengan ritus-ritus yang dilakukannya, yang hanya menambah deretan daftar dosa. 

Ada yang lebih ironis lagi, berkali-kali mengunjungi Baitullahtetapi sama sekali tidak pernah mengalami perubahan moral menjadi lebih baik secara signifikan. Entahlah, apakah ke Baitullah hanya untuk mempertegas diri sebagai makhluk “maha pembohong”, yang melafaz talbiyyah dalam bibir namun hati sekedar menipu Allah. Sehingga ketika pulang, yang dijadikan oleh-oleh hanyalah cerita-cerita yang menjelekkan jemaah lain dengan mengarang peristiwa ini dan itu. Sedangkan untuk dirinya hanyalah kebaikan-kebaikan, seakan hanya hajinya yang paling diterima Allah. 

Kalau kita amati, negeri ini merupakan penyumbang tamu terbanyak di Baitullah. Ratusan ribu orang berduyun-duyun ke tanah suci. Pergi haji sama seperti halnya ke Paris atau Hawai. Berangkat dengan penuh kebanggaan dan kemewahan. Setiap orang ditegur sapanya, dipamiti dengan senyum kebahagiaan. Kala pulang pun para tetangga diundang untuk mendengarkan cerita yang tidak pernah berubah sepanjang tahun. 

Kenikmatan-kenikmatan, yang disebutnya ibadah, di Masjidil Haram dieksploitasi dalam bentuk dongeng sehingga para orang yang tidak berharta cukup mengusap air liur. Padahal, sesungguhnya masyarakat sekitarnya lebih mengharapkan oleh-oleh berupa perubahan jati diri. Dari manusia yang sombong menjadi manusia yang santun dan dermawan. Manusia yang mampu memandang sesamanya sebagai makhluk yang sama.  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar