|
Ketika itu saya hendak berlibur
bersama teman saya di sebuah desa di India yang bernama Ahmednagar. Ahmednagar
adalah sebuah desa yang asri dimana tempatnya sangat cocok bagi orang yang
ingin melepas lelah sembari menikmati keindahan alam.
Oleh karena saya mengetahui bahwa bapak ibu teman saya itu dokter, dibenak saya rumah mewah, mobil mewah, pokoknya paling menonjol di antara rumah-rumah lain di desa itu.
Sesampainya di depan pintu gerbang, saya menunjuk kearah rumah mewah yang ada di depan mata saya. " waah, ini rumahmu ya? Besar sekali… bagus bagus…" namun ternyata teman saya membalas "Bukan yang itu tetapi yang sebelahnya".
Beliau menunjuk rumah yang sangat sederhana, bahkan tidak dicat! Hanya olesan semen kering dan sebuah kursi dari anyaman bambu yang tampak dari luar. Saya kaget bukan main, orang tua dua-duanya dokter.
Fenomena seperti ini hampir tak pernah ditemukan di Indonesia. Begitu masuk, ibunya menyambut kedatangan saya dengan hangat. Tak disangka, penampilannya pun sangat sederhana, dengan pakaian khas santai India yang terlihat seperti sudah lama tak diganti.
Tak lama kemudian saya diajak masuk ke dalam, sama sekali tidak ada kesan mewah di rumah itu. Bahkan tidak ada satu pun AC. Kamar mandinya pun berlantaikan semen seperti orang yang tak mampu membeli kramik. Keesokan harinya saya diajak keliling-keliling kampung.
Oleh karena saya ingin mengamati pertanian di daerah sana, maka saya berpesan kepada teman saya untuk mengajak saya ke tempat perkebunan dan areal persawahan. Kebetulan daerah itu terkenal dengan pertaniannya. Ayahnya sengaja menyewa supir khusus untuk saya dan teman saya sehingga dapat keliling-keliling sawah dan perkebunan sesuka hati.
Oleh karena saya mengetahui bahwa bapak ibu teman saya itu dokter, dibenak saya rumah mewah, mobil mewah, pokoknya paling menonjol di antara rumah-rumah lain di desa itu.
Sesampainya di depan pintu gerbang, saya menunjuk kearah rumah mewah yang ada di depan mata saya. " waah, ini rumahmu ya? Besar sekali… bagus bagus…" namun ternyata teman saya membalas "Bukan yang itu tetapi yang sebelahnya".
Beliau menunjuk rumah yang sangat sederhana, bahkan tidak dicat! Hanya olesan semen kering dan sebuah kursi dari anyaman bambu yang tampak dari luar. Saya kaget bukan main, orang tua dua-duanya dokter.
Fenomena seperti ini hampir tak pernah ditemukan di Indonesia. Begitu masuk, ibunya menyambut kedatangan saya dengan hangat. Tak disangka, penampilannya pun sangat sederhana, dengan pakaian khas santai India yang terlihat seperti sudah lama tak diganti.
Tak lama kemudian saya diajak masuk ke dalam, sama sekali tidak ada kesan mewah di rumah itu. Bahkan tidak ada satu pun AC. Kamar mandinya pun berlantaikan semen seperti orang yang tak mampu membeli kramik. Keesokan harinya saya diajak keliling-keliling kampung.
Oleh karena saya ingin mengamati pertanian di daerah sana, maka saya berpesan kepada teman saya untuk mengajak saya ke tempat perkebunan dan areal persawahan. Kebetulan daerah itu terkenal dengan pertaniannya. Ayahnya sengaja menyewa supir khusus untuk saya dan teman saya sehingga dapat keliling-keliling sawah dan perkebunan sesuka hati.
Ternyata kebun dan sawah yang
luas yang kami hampiri itu milik ayahnya. Setelah berkeliling sambil
mendengarkan paparan ilmu teknologi pertanian dari kawan saya itu, kami
melanjutkan perjalanan ke sebuah sekolah Dasar. Disana anak-anaknya sangat
bersemangat dan sekolahnya pun terbilang bagus.
Lagi-lagi sekolah itu milik ayahnya. Sekolah itu bernama "IZAK English Medium School" yang diambil dari nama keluarganya yaitu "KAZI" Sekolah itu berpengantar dua bahasa yaitu bahasa Inggris dan Hindi (bahasa India).
Sekolah itu berdampingan dengan pemukiman kumuh lagi menyedihkan. Ternyata anak-anak yang bersekolah disana berasal dari keluarga kurang mampu. Semua biaya sekolah ditanggung oleh ayah teman saya itu. Kala itu, waktunya makan siang. Anak-anak dengan semangatnya berlari untuk mengambil makanan.
"Nasi yang mereka makan berasal dari nasi pungutan sehingga harganya sangat murah" tutur teman saya itu. Mereka makan dengan sangat lahap dan dengan muka yang sumringah. Lauknya terlihat lezat. Yaitu kari kentang dan kacang panjang. Oleh karena di daerah pertanian, maka sayurannya pun bisa dibeli dengan harga murah.
Sebagian besar orangtua mereka adalah buruh tani, penggembala, atau buruh lainnya. "orang tua penggembala itu pulang setiap 6 tahun sekali karena harus mengembara dari lahan yang kering ke lahan yang subur selama bertahun-tahun. Makanya anak-anak ini perlu diperhatikan khusus" kata teman saya itu. Betapa kerasnya kehidupan disana, anak-anaknya pun dituntut untuk hidup mandiri.
Tidak sampai disitu, setelah itu saya diajak ke sekolah lainnya yang lebih besar lagi. Kali ini sekolah berpaket, mulai dari SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi. Dugaan saya benar, lagi-lagi sekolah tersebut milik ayahnya. "jika mereka lulus dari sini mereka akan mendapat sertifikat perguruan tinggi sehingga mereka dapat bekerja dengan layak nantinya" tutur teman saya itu.
Lagi-lagi sekolah itu milik ayahnya. Sekolah itu bernama "IZAK English Medium School" yang diambil dari nama keluarganya yaitu "KAZI" Sekolah itu berpengantar dua bahasa yaitu bahasa Inggris dan Hindi (bahasa India).
Sekolah itu berdampingan dengan pemukiman kumuh lagi menyedihkan. Ternyata anak-anak yang bersekolah disana berasal dari keluarga kurang mampu. Semua biaya sekolah ditanggung oleh ayah teman saya itu. Kala itu, waktunya makan siang. Anak-anak dengan semangatnya berlari untuk mengambil makanan.
"Nasi yang mereka makan berasal dari nasi pungutan sehingga harganya sangat murah" tutur teman saya itu. Mereka makan dengan sangat lahap dan dengan muka yang sumringah. Lauknya terlihat lezat. Yaitu kari kentang dan kacang panjang. Oleh karena di daerah pertanian, maka sayurannya pun bisa dibeli dengan harga murah.
Sebagian besar orangtua mereka adalah buruh tani, penggembala, atau buruh lainnya. "orang tua penggembala itu pulang setiap 6 tahun sekali karena harus mengembara dari lahan yang kering ke lahan yang subur selama bertahun-tahun. Makanya anak-anak ini perlu diperhatikan khusus" kata teman saya itu. Betapa kerasnya kehidupan disana, anak-anaknya pun dituntut untuk hidup mandiri.
Tidak sampai disitu, setelah itu saya diajak ke sekolah lainnya yang lebih besar lagi. Kali ini sekolah berpaket, mulai dari SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi. Dugaan saya benar, lagi-lagi sekolah tersebut milik ayahnya. "jika mereka lulus dari sini mereka akan mendapat sertifikat perguruan tinggi sehingga mereka dapat bekerja dengan layak nantinya" tutur teman saya itu.
Semua sekolah yang dimiliki ayahnya tidak untuk
mencari keuntungan namun sekolah tersebut dibangun untuk anak-anak yang kurang
mampu. Sekitar 2000 siswa-siswi bersekolah dengan Cuma-Cuma.
"Ayah saya selalu menyisihkan 80% penghasilannya untuk kegiatan sosial, sisanya 20% untuk hidup". Ia menambahkan "Setiap kali kami meminta uang untuk membeli buku saja, selalu ditanya berapa harganya dan tidak pernah diberi uang lebih".
Hal ini membuat teman saya tidak pernah berfoya-foya dengan uang karena sangat sulit untuk mendapatkannya. "Ayah percaya bahwa anak-anaknya akan mendapatkan uang bagaimana pun caranya" tuturnya lagi.
Pemikiran seperti ini sangat jarang kita temui di zaman sekarang. Menurut informasi yang saya dengar, dahulu ayahnya berasal dari keluarga kurang mampu. Dengan kecerdasan yang ia miliki, ia lulus kedokteran dengan bantuan dana dari pemerintah.
"Ia memulai karir di bawah pohon dengan menggelar tikar. Membuka pengobatan dengan cara tradisional. Karena keahliannya, banyak pasien yang datang dan beliau mulai membangun rumah sakit".
Lantas apa yang menjadi kontroversial? Banyak orang yang menertawakan beliau, karena beliau mendirikan sekolah untuk semua agama. Ia membangun rumah sakit untuk semua agama. Menurut cerita yang saya dapat, kalangan yang terlalu ekstrem atau fanatik yang mengenal beliau berkata "ia tidak akan mendapat apa-apa karena membantu agama lain".
Namun beliau tetap percaya dengan apa yang ia lakukan. Menurut beliau, jika kita membantu sesama manusia, sang pencipta pun akan mengasihi kita dan bahkan orang-orang akan mencontoh agama kita.
Demikianlah orang-orang yang mudah-mudahan akan mendapatkan balasan yang baik di akhirat kelak. Amin. ●
"Ayah saya selalu menyisihkan 80% penghasilannya untuk kegiatan sosial, sisanya 20% untuk hidup". Ia menambahkan "Setiap kali kami meminta uang untuk membeli buku saja, selalu ditanya berapa harganya dan tidak pernah diberi uang lebih".
Hal ini membuat teman saya tidak pernah berfoya-foya dengan uang karena sangat sulit untuk mendapatkannya. "Ayah percaya bahwa anak-anaknya akan mendapatkan uang bagaimana pun caranya" tuturnya lagi.
Pemikiran seperti ini sangat jarang kita temui di zaman sekarang. Menurut informasi yang saya dengar, dahulu ayahnya berasal dari keluarga kurang mampu. Dengan kecerdasan yang ia miliki, ia lulus kedokteran dengan bantuan dana dari pemerintah.
"Ia memulai karir di bawah pohon dengan menggelar tikar. Membuka pengobatan dengan cara tradisional. Karena keahliannya, banyak pasien yang datang dan beliau mulai membangun rumah sakit".
Lantas apa yang menjadi kontroversial? Banyak orang yang menertawakan beliau, karena beliau mendirikan sekolah untuk semua agama. Ia membangun rumah sakit untuk semua agama. Menurut cerita yang saya dapat, kalangan yang terlalu ekstrem atau fanatik yang mengenal beliau berkata "ia tidak akan mendapat apa-apa karena membantu agama lain".
Namun beliau tetap percaya dengan apa yang ia lakukan. Menurut beliau, jika kita membantu sesama manusia, sang pencipta pun akan mengasihi kita dan bahkan orang-orang akan mencontoh agama kita.
Demikianlah orang-orang yang mudah-mudahan akan mendapatkan balasan yang baik di akhirat kelak. Amin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar