|
“Pemanfaatan media
untuk pribadi tapi mengatasnamakan pelayanan masyarakat, tetap tidak bisa
dibenarkan”
KEBIJAKAN Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang pejabat
publik yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) tampil
dalam iklan layanan masyarakat yang dibiayai dana APBN dan APBD (MetroTV, 23/8/13) patut diapresiasi.
Larangan KPU yang diharapkan segera dituangkan dalam format
peraturan diharapkan dapat mencegah gejala pencurian start kampanye yang
akhir-akhir ini banyak kita saksikan pada berbagai media, khususnya televisi.
Dari catatan KPU, setidak-tidaknya di pusat ada 10 menteri
yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Belum lagi sejumlah
pejabat publik di daerah yang tentu tak terhitung jumlahnya, yang bisa saja
mengekor pejabat publik di pusat, bila tidak segera ada pencegahan.
Menindaklanjuti kebijakannya, KPU perlu mengajak
setidak-tidaknya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, dan lembaga lain
yang terkait, agar pejabat publik yang mencalonkan diri sebagai caleg tidak
menyalahgunakan kekuatan media massa dan media lainnya.
Pemanfaatan media massa untuk kepentingan pribadi tapi
mengatasnamakan pelayanan masyarakat, apalagi memanfaatkan dana APBN/APBD,
jelas tidak bisa dibenarkan. Akankah kebijakan KPU bisa berlaku efektif? Apa
yang sebaiknya dilakukan penyelenggarakan pemilu bersama lembaga terkait agar
pencurian start kampanye dengan dalih apa pun bisa dicegah?
Simplifikasi
Masalah
Bila kita cermati, modus pencurian start kampanye melalui
berbagai cara terselubung tidak lepas dari kurang jelasnya kriteria kampanye
berdasarkan UU dan peraturan yang ada. Salah satu kriteria kampanye menyebut
”keharusan mengajak orang lain memilih dia”, dari sisi komunikasi berkesan
sangat menyederhanakan atau simplifikasi masalah.
Bila kita melihat dari hakikat komunikasi berbagi atau
bertukar informasi (sharing or change of
information) maka ketika seseorang menampilkan diri dan mengomunikasikan
sesuatu, minimal apa yang disampaikannya akan diperhatikan oleh pihak lain,
termasuk orang yang menyampaikannya. Terlebih bila penyampaiannya
berkali-kali dan lewat berbagai media maka popularitas yang bersangkutan akan
meningkat.
Itulah sebenarnya kampanye (to campaign), yaitu usaha memperkenalkan diri. Demikian juga mulai
merebaknya berbagai gambar dalam berbagai bentuk, termasuk melakukan kegiatan
sosial dengan memanfaatkan berbagai momentum, bisa juga kita artikan sebagai
kampanye.
Mengingat perpolitikan di Indonesia dengan demokrasi
langsung ini sesuatu yang baru maka sebagian besar politikus belum mengakar
karena sebagian besar politikus instan. Hal itu berbeda dari di negara maju,
politikus merintis karier dari bawah. Model demokrasi dadakan sebagaimana
di Indonesia melahirkan banyak politikus instan.
Sayang, saat ini banyak politikus instan seolah-olah ingin
membela kepentingan akar rumput walaupun kenyataannya banyak di antara mereka
berjuang demi kepentingan pribadi dan kelompok. Modus memanfaatkan kesempatan
dalam kesempitan hampir selalu mereka lakukan.
Padahal tanpa disadari ulah itu justru membuat rakyat yang
makin cerdas makin menjauh, termasuk menjauhi partai politik (parpol) tempat
politikus itu bernaung. Rendahnya ekspektasi terhadap parpol antara lain
tercermin oleh makin rendahnya kepercayaan rakyat, sebagaimana ditunjukkan
berbagai hasil survei.
Tak salah bila politikus berupaya memopulerkan diri supaya
dikenal, serta siapa tahu dipilih dalam pemilu. Persoalannya adalah sangatlah
merugikan rakyat bila mereka menggunakan uang rakyat, yang seharusnya untuk
menyejahterakannya.
Karena itu, publik berharap kebijakan KPU serta
penyempurnaan UU oleh DPR dan pemerintah terkait peraturan menyangkut kriteria
kampanye, selain menyadarkan politikus juga memberikan ruang gerak dan
kejelasan sanksi, termasuk menyangkut kewenangan lembaga yang harus menangani
seandainya terjadi pelanggaran.
Setidak-tidaknya yang dilakukan KPU dengan melarang pejabat
publik tampil dalam iklan layanan masyarakat lembaganya, mengurangi gejala
pencurian start. Atau sebaliknya dilegalkan untuk semua lewat kejelasan
regulasi dengan catatan asalkan tak menggunakan uang rakyat, dan politikus itu
bersaing secara sehat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar