Minggu, 01 September 2013

Mencuri “Start” Kampanye

Mencuri “Start” Kampanye
Gunawan Witjaksana ;   Dosen Stikom Semarang
SUARA MERDEKA, 31 Agustus 2013


“Pemanfaatan media untuk pribadi tapi mengatasnamakan pelayanan masyarakat, tetap tidak bisa dibenarkan”

KEBIJAKAN Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang pejabat publik yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) tampil dalam iklan layanan masyarakat yang dibiayai dana APBN dan APBD (MetroTV, 23/8/13) patut diapresiasi.

Larangan KPU yang diharapkan segera dituangkan dalam format peraturan diharapkan dapat mencegah gejala pencurian start kampanye yang akhir-akhir ini banyak kita saksikan pada berbagai media, khususnya televisi.

Dari catatan KPU, setidak-tidaknya di pusat ada 10 menteri yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Belum lagi sejumlah pejabat publik di daerah yang tentu tak terhitung jumlahnya, yang bisa saja mengekor pejabat publik di pusat, bila tidak segera ada pencegahan.

Menindaklanjuti kebijakannya, KPU perlu mengajak setidak-tidaknya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, dan lembaga lain yang terkait, agar pejabat publik yang mencalonkan diri sebagai caleg tidak menyalahgunakan kekuatan media massa dan media lainnya.

Pemanfaatan media massa untuk kepentingan pribadi tapi mengatasnamakan pelayanan masyarakat, apalagi memanfaatkan dana APBN/APBD, jelas tidak bisa dibenarkan. Akankah kebijakan KPU bisa berlaku efektif? Apa yang sebaiknya dilakukan penyelenggarakan pemilu bersama lembaga terkait agar pencurian start kampanye dengan dalih apa pun bisa dicegah?

Simplifikasi Masalah

Bila kita cermati, modus pencurian start kampanye melalui berbagai cara terselubung tidak lepas dari kurang jelasnya kriteria kampanye berdasarkan UU dan peraturan yang ada. Salah satu kriteria kampanye menyebut ”keharusan mengajak orang lain memilih dia”, dari sisi komunikasi berkesan sangat menyederhanakan atau simplifikasi masalah.

Bila kita melihat dari hakikat komunikasi berbagi atau bertukar informasi (sharing or change of information) maka ketika seseorang menampilkan diri dan mengomunikasikan sesuatu, minimal apa yang disampaikannya akan diperhatikan oleh pihak lain, termasuk orang yang menyampaikannya. Terlebih bila penyam­pai­annya berkali-kali dan lewat berbagai media maka popularitas yang bersangkutan akan meningkat.

Itulah sebenarnya kampanye (to campaign), yaitu usaha memperkenalkan diri. Demikian juga mulai merebaknya berbagai gambar dalam berbagai bentuk, termasuk melakukan kegiatan sosial dengan memanfaatkan berbagai momentum, bisa juga kita artikan sebagai kampanye.

Mengingat perpolitikan di Indonesia dengan demokrasi langsung ini sesuatu yang baru maka sebagian besar politikus belum mengakar karena sebagian besar politikus instan. Hal itu berbeda dari di negara maju, politikus merintis karier dari bawah. Model demokrasi dadakan sebagaimana  di Indonesia melahirkan banyak politikus instan.

Sayang, saat ini banyak politikus instan seolah-olah ingin membela kepentingan akar rumput walaupun kenyataannya banyak di antara mereka berjuang demi kepentingan pribadi dan kelompok. Modus memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan hampir selalu mereka lakukan.

Padahal tanpa disadari ulah itu justru membuat rakyat yang makin cerdas makin menjauh, termasuk menjauhi partai politik (parpol) tempat politikus itu bernaung. Rendahnya ekspektasi terhadap parpol antara lain tercermin oleh makin rendahnya kepercayaan rakyat, sebagaimana ditunjukkan berbagai hasil survei.

Tak salah bila politikus berupaya memopulerkan diri supaya dikenal, serta siapa tahu dipilih dalam pemilu. Persoalannya adalah sangatlah merugikan rakyat bila mereka menggunakan uang rakyat, yang seharusnya untuk menyejahterakannya.

Karena itu, publik berharap kebijakan KPU serta penyempurnaan UU oleh DPR dan pemerintah terkait peraturan menyangkut kriteria kampanye, selain menyadarkan politikus juga memberikan ruang gerak dan kejelasan sanksi, termasuk menyangkut kewenangan lembaga yang harus menangani seandainya terjadi pelanggaran.


Setidak-tidaknya yang dilakukan KPU dengan melarang pejabat publik tampil dalam iklan layanan masyarakat lembaganya, mengurangi gejala pencurian start. Atau sebaliknya dilegalkan untuk semua lewat kejelasan regulasi dengan catatan asalkan tak menggunakan uang rakyat, dan politikus itu bersaing secara sehat. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar