|
Karena
saya dosen ilmu hukum dan mantan hakim konstitusi, banyak yang mengira saya
bisa memberi solusi tentang masalah hukum yang mereka hadapi.
Mereka datang kepada saya untuk meminta saya menjadi kuasa hukum, menjadi saksi ahli, atau sekadar meminta nasihat hukum untuk kasus konkret yang mereka hadapi. Tetapi, saya selalu menolak untuk menjadi kuasa hukum, menjadi saksi ahli, atau melayani konsultasi untuk memberi pendapat hukum. Bukan karena pelit berbagi ilmu, melainkan karena saya khawatir bisa mengecewakan orang.
Kerapkali pendapat atau nasihat hukum yang menurut saya benar dan sesuai public common sense ternyata berbalikan dengan pandangan hakim atau jaksa dan pengacara di pengadilan. Sebenarnya tidakapa-apadan biasa saja kalau pendapat hukum atau nasihat seseorang tidak terpakai oleh hakim di pengadilan. Vonis yang dijatuhkan oleh hakim boleh saja tidak sejalan dengan pendapat dan kesaksian seorang ahli di persidangan.
Perbedaan seperti itu di mana pun di dunia ini biasa saja sebab bisa saja informasi kasus yang diterima dari yang meminta pendapat tidaklah utuh dan hanya sepihak sehingga pemberian pendapat atau kesaksian juga tidak tepat. Perbedaan antara isi kesaksian seorang ahli dan penasihat dengan vonis pengadilan bisa juga disebabkan karena perbedaan perspektif yang dipakai antara saksi ahli dan hakim sehingga kesimpulannya pun menjadi berbeda.
Ketentuan hukum bahwa hakim berwenang memutus sesuai keyakinannya sendiri juga bisa dijadikan alasan mengapa kita harus menganggap biasa jika ada vonis hakim berbeda dengan pandangan saksi ahli. Pokoknya, ”hukmul haakim yarfa’ul khilaaf, putusan hakim itu mengakhiri perbedaan, harus diterima, dan harus dilaksanakan”, demikian bunyi kaidah hukum yang berlaku universal.
Tidak ada yang harus dipersoalkan atau harus dijadikan penyebab sakit hati atau malu jika pendapat kita sebagai saksi ahli atau penasihat hukum itu tidak diterima sebagai solusi bagi kasus yang ditangani oleh hakim. Itu hal biasa saja. Maka itu, jika saya menolak menjadi kuasa hukum atau memberi pendapat hukum atau nasihat atas kasus konkret bukan karena takut menjadi malu dan kehilangan muka seandainya pendapat saya itu ”tidak laku”.
Saya lebih khawatir pendapat saya itu hanya mubazir atau tidak ada gunanya karena di negara ini proses peradilan dan putusannya banyak yang dibuat berdasar kolusi. Ada kolusi antara hakim dan pengacara, ada kolusi antara pengacara dan jaksa, serta ada kolusi antara pengacara, jaksa, dan hakim. Kalau peradilan dan vonis sudah direkayasa melalui kolusi dan mafia, pendapat apa pun yang diajukan di pengadilan akan dipatahkan dengan dalil-dalil yang dicari-cari.
Kasus Gayus Tambunan tentang restitusi pajak bisa disebut sebagai contoh yang sempurna betapa semua penegak hukum terlibat dalam kolusi yang telanjang. Hakimnya (Ibrahim), jaksanya (Cirus Sinaga), pengacanya (Haposan), dan dua polisi penyidiknya dijatuhi hukuman penjara karena ternyata berkolusi. Setiap hakim dalam menghadapi perkara sebenarnya bisa mencari dalil untuk ”memenangkan” atau ”mengalahkan” dan bisa mencari dalil untuk ”menghukum” atau ”membebaskan” orang meskipun dengan fakta hukum yang sama.
Kalau akan menghukum, bisa memakai dalil dan pasal UU tertentu. Kalau akan membebaskan, bisa memakai dalil atau pasal UU tertentu yang lain lagi. Terbukanya pilihan itulah yang membuka kemungkinan jual beli putusan. Kalau mau menang, bisa pakai dalil dan pasal ini asal mau membayar sejumlah uang tertentu; kalau tak mau membayar, ya dijual kepada lawannya yang mau membayar.
Jadi vonis itu banyak yang ditentukan berdasar lelang atau tawar-menawar, sinten yang mau membayar pinten, siapa yang bisa membayar berapa. Jadinya keyakinan hakim yang sejatinya dimaksudkan agar hakim bisa memutus dengan kejujuran dan kearifan sesuai kemuliaan nurani ternyata diperjualbelikan. Kewenangan menentukan dengan keyakinan itu dipergunakan untuk mengalahkan atau memenangkan orang yang beperkara.
Ungkapan yang tepat untuk ini adalah menipu hukum dengan hukum. Jadi saya sering menolak untuk menjadi kuasa hukum atau penasihat hukum dalam kasus konkret di pengadilan karena saya tahu logika hakim sering bertentangan dengan akal sehat publik (public common sense).
Kalau pertentangan antara vonis dan logika publik itu dipersoalkan, biasanya hakim dan para kolutornya mengatakan, ”Itu keyakinan hakim, tak bisa diganggu gugat dan ini dalil-dalil dan pasalnya.” Contoh mutakhir tentang perbenturan logika ini adalah kasus pengabulan peninjauan kembali (PK) atas Sudjiono Timan, terhukum kasus korupsi oleh kasasi MA yang buron.
Bagaimana orang yang secara hukum buron dan tak pernah menampakkan batang hidungnya bisa diterima pengajuan PKnya? Bagaimana orang yang belum meninggal bisa mengajukan permohonan PK melalui ahli warisnya? Bukankah ahli waris itu baru bisa menggunakan hak keahliwarisannya kalau pewarisnya sudah meninggal?
Mengapa ketentuan MA bahwa dalam kasus Sudjiono Timan itu seharusnya hakim kariernya dua orang dan hakim ad hoc-nya tiga orang dilanggar? ●
Mereka datang kepada saya untuk meminta saya menjadi kuasa hukum, menjadi saksi ahli, atau sekadar meminta nasihat hukum untuk kasus konkret yang mereka hadapi. Tetapi, saya selalu menolak untuk menjadi kuasa hukum, menjadi saksi ahli, atau melayani konsultasi untuk memberi pendapat hukum. Bukan karena pelit berbagi ilmu, melainkan karena saya khawatir bisa mengecewakan orang.
Kerapkali pendapat atau nasihat hukum yang menurut saya benar dan sesuai public common sense ternyata berbalikan dengan pandangan hakim atau jaksa dan pengacara di pengadilan. Sebenarnya tidakapa-apadan biasa saja kalau pendapat hukum atau nasihat seseorang tidak terpakai oleh hakim di pengadilan. Vonis yang dijatuhkan oleh hakim boleh saja tidak sejalan dengan pendapat dan kesaksian seorang ahli di persidangan.
Perbedaan seperti itu di mana pun di dunia ini biasa saja sebab bisa saja informasi kasus yang diterima dari yang meminta pendapat tidaklah utuh dan hanya sepihak sehingga pemberian pendapat atau kesaksian juga tidak tepat. Perbedaan antara isi kesaksian seorang ahli dan penasihat dengan vonis pengadilan bisa juga disebabkan karena perbedaan perspektif yang dipakai antara saksi ahli dan hakim sehingga kesimpulannya pun menjadi berbeda.
Ketentuan hukum bahwa hakim berwenang memutus sesuai keyakinannya sendiri juga bisa dijadikan alasan mengapa kita harus menganggap biasa jika ada vonis hakim berbeda dengan pandangan saksi ahli. Pokoknya, ”hukmul haakim yarfa’ul khilaaf, putusan hakim itu mengakhiri perbedaan, harus diterima, dan harus dilaksanakan”, demikian bunyi kaidah hukum yang berlaku universal.
Tidak ada yang harus dipersoalkan atau harus dijadikan penyebab sakit hati atau malu jika pendapat kita sebagai saksi ahli atau penasihat hukum itu tidak diterima sebagai solusi bagi kasus yang ditangani oleh hakim. Itu hal biasa saja. Maka itu, jika saya menolak menjadi kuasa hukum atau memberi pendapat hukum atau nasihat atas kasus konkret bukan karena takut menjadi malu dan kehilangan muka seandainya pendapat saya itu ”tidak laku”.
Saya lebih khawatir pendapat saya itu hanya mubazir atau tidak ada gunanya karena di negara ini proses peradilan dan putusannya banyak yang dibuat berdasar kolusi. Ada kolusi antara hakim dan pengacara, ada kolusi antara pengacara dan jaksa, serta ada kolusi antara pengacara, jaksa, dan hakim. Kalau peradilan dan vonis sudah direkayasa melalui kolusi dan mafia, pendapat apa pun yang diajukan di pengadilan akan dipatahkan dengan dalil-dalil yang dicari-cari.
Kasus Gayus Tambunan tentang restitusi pajak bisa disebut sebagai contoh yang sempurna betapa semua penegak hukum terlibat dalam kolusi yang telanjang. Hakimnya (Ibrahim), jaksanya (Cirus Sinaga), pengacanya (Haposan), dan dua polisi penyidiknya dijatuhi hukuman penjara karena ternyata berkolusi. Setiap hakim dalam menghadapi perkara sebenarnya bisa mencari dalil untuk ”memenangkan” atau ”mengalahkan” dan bisa mencari dalil untuk ”menghukum” atau ”membebaskan” orang meskipun dengan fakta hukum yang sama.
Kalau akan menghukum, bisa memakai dalil dan pasal UU tertentu. Kalau akan membebaskan, bisa memakai dalil atau pasal UU tertentu yang lain lagi. Terbukanya pilihan itulah yang membuka kemungkinan jual beli putusan. Kalau mau menang, bisa pakai dalil dan pasal ini asal mau membayar sejumlah uang tertentu; kalau tak mau membayar, ya dijual kepada lawannya yang mau membayar.
Jadi vonis itu banyak yang ditentukan berdasar lelang atau tawar-menawar, sinten yang mau membayar pinten, siapa yang bisa membayar berapa. Jadinya keyakinan hakim yang sejatinya dimaksudkan agar hakim bisa memutus dengan kejujuran dan kearifan sesuai kemuliaan nurani ternyata diperjualbelikan. Kewenangan menentukan dengan keyakinan itu dipergunakan untuk mengalahkan atau memenangkan orang yang beperkara.
Ungkapan yang tepat untuk ini adalah menipu hukum dengan hukum. Jadi saya sering menolak untuk menjadi kuasa hukum atau penasihat hukum dalam kasus konkret di pengadilan karena saya tahu logika hakim sering bertentangan dengan akal sehat publik (public common sense).
Kalau pertentangan antara vonis dan logika publik itu dipersoalkan, biasanya hakim dan para kolutornya mengatakan, ”Itu keyakinan hakim, tak bisa diganggu gugat dan ini dalil-dalil dan pasalnya.” Contoh mutakhir tentang perbenturan logika ini adalah kasus pengabulan peninjauan kembali (PK) atas Sudjiono Timan, terhukum kasus korupsi oleh kasasi MA yang buron.
Bagaimana orang yang secara hukum buron dan tak pernah menampakkan batang hidungnya bisa diterima pengajuan PKnya? Bagaimana orang yang belum meninggal bisa mengajukan permohonan PK melalui ahli warisnya? Bukankah ahli waris itu baru bisa menggunakan hak keahliwarisannya kalau pewarisnya sudah meninggal?
Mengapa ketentuan MA bahwa dalam kasus Sudjiono Timan itu seharusnya hakim kariernya dua orang dan hakim ad hoc-nya tiga orang dilanggar? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar