Selasa, 10 September 2013

Sandera Perppu JPSK

Sandera Perppu JPSK
Deni Ridwan ;   Pegawai Kementerian Keuangan,
Sedang Menempuh Pendidikan Doktor di Melbourne, Australia
REPUBLIKA, 09 September 2013


Goncangan pasar finansial serta anjloknya nilai tukar rupiah membuat ancaman krisis keuangan kembali menghantui Indonesia. Untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, pemerintah dan Bank Indonesia kembali mendesak DPR untuk segera merampungkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). 

RUU ini sangat penting sebagai landasan hukum serta protokol pencegahan dan penanganan krisis. Dengan protokol tersebut, akan terlihat jelas pembagian tugas, wewenang, serta tanggung jawab setiap lembaga terkait. Namun demikian, beberapa anggota parlemen, misalnya, anggota Komisi XI menolak melanjutkan pembahasan. Mereka berkutat dengan persoalan lama, yaitu mengenai pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No 4/2008 tentang JPSK. Keberadaan Perppu JPSK sekarang ini ibarat zombi. Di satu sisi, diangggap sudah tidak berlaku karena tidak mendapat persetujuan dari DPR. Tapi, di sisi lain perppu ini masih ada karena belum ada undang-undang yang mencabutnya.

Polemik tentang status perppu ini pada awalnya dipicu oleh dua hal. Pertama, fraksi-fraksi di DPR periode 2004-2009 gagal mencapai titik temu untuk pengesahan Perppu JPSK. Ini terjadi karena mayoritas fraksi menyuarakan penolakan. Kedua, surat resmi dari ketua DPR kepada Presiden pada 24 Desember 2008 anehnya sama sekali tidak terdapat kata ataupun yang secara tegas menyatakan penolakan DPR. 

Surat tersebut hanya menjelaskan bahwa rapat paripurna DPR pada 18 Desember 2008 menyepakati untuk meminta pemerintah segera mengajukan RUU JPSK sebelum 19 Januari 2009. Sebagian pengamat menilai, surat tersebut menunjukkan bahwa DPR mencoba "bermain" aman. DPR pada dasarnya tidak berani secara tegas mencabut perppu. DPR tidak ingin disalahkan apabila alternatif protokol penanganan krisis belum tersedia sementara kondisi industri keuangan semakin memburuk. Beruntung, pada awal 2009 kondisi keuangan internasional dan domestik mulai membaik.

Sebagai respons dari surat yang disampaikan pimpinan DPR, Presiden pada 14 Januari 2009 mengajukan RUU JPSK untuk dibahas bersama DPR. Pemerintah memasukkan klausul pencabutan Perppu JPSK dalam Pasal 30 dan 31 RUU yang dimaksud. Cara pencabutan perppu yang diusulkan pemerintah tersebut bukan sesuatu yang baru. Rujukan yang dipakai adalah UU No 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Pada Pasal 50 UU tersebut berisi pencabutan Perppu No 1/1999 tentang Pengadilan HAM. Sebagaimana kita ketahui, perppu dimaksud sebelumnya juga ditolak untuk disahkan DPR.

Berdasarkan catatan penulis yang ikut terlibat dalam pembahasan RUU JPSK, awalnya hampir semua fraksi di Komisi XI DPR Periode 2004-2009 tidak mempersalahan adanya pasal pencabutan RUU tersebut. Hal ini bisa dilihat dari Daftar Isian Masalah (DIM) yang diajukan DPR atas RUU JPSK. Hanya Fraksi Amanat Nasional (FPAN) yang disampaikan Drajad Wibowo yang mempertanyakan urgensi pasal tersebut. Namun, seiring dengan meningkatnya politisasi Kasus Bank Century, bertambah banyak fraksi yang menentang pasal tersebut.

Menurut mantan Ketua Komisi XI DPR Ahmad Hafiz Zawawi, penolakan terhadap RUU JPSK karena terdapat beberapa klausul yang dicurigai sebagai legalisasi untuk bailout Bank Century. Khususnya, klausul yang memberikan kekebalan hukum kepada pengambil kebijakan pada saat itu. Tapi, saat pemerintah sepakat untuk menghapus pasal "kekebalan" tersebut, DPR periode 2004-2009 bersikukuh menolak disahkannya RUU JPSK hingga akhir masa sidangnya.

Dari uraian di atas, tampak bahwa aroma politis lebih kental tercium di balik penolakan pembahasan RUU JPSK. Kalau yang menjadi pangkal masalah adalah Perppu JPSK, pemerintah dan DPR justru harus segera duduk bersama membahas mekanisme pencabutan perppu tersebut. Menurut pendapat penulis, model pencabutan seperti dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM sebaiknya tidak dipakai kembali. Ketentuan yang lebih baru sudah diatur dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 52 UU tersebut dengan jelas menyatakan bahwa dalam hal perppu tidak mendapat persetujuan DPR, pemerintah atau DPR mengajukan RUU pencabutan perppu dimaksud.

Agar tidak semakin berlarut-larut, solusi yang ditawarkan adalah pertama, pemerintah selain mengajukan RUU JPSK secara bersamaan mengajukan RUU Pencabutan Perppu No 4/2008 tentang JPSK. Kedua, DPR tidak perlu meributkan masalah apakah saat ini Perppu JPSK masih berlaku atau tidak. Secara materil, perppu tersebut sudah tidak berlaku sejak tidak mendapat persetujuan DPR periode lalu. Oleh karena itu, RUU Pencabutan Perppu JPSK hanyalah masalah formalitas semata.


Dengan solusi tersebut diharapkan kedua belah pihak bisa mencapai titik temu. Kita berharap, semoga RUU JPSK bisa segara dituntaskan. Jangan sampai kekisruhan penanganan krisis pada 1997 dan 2008 terulang kembali. Tanpa protokol manajemen krisis yang memadai dan berkekuatan hukum yang kuat, kebijakan penanganan krisis bisa melahirkan kontroversi baru dengan ongkos yang besar bagi rakyat Indonesia. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar