|
Barry AJ Fisher dalam Techniques of Crime Scene Investigation
(2003) menyatakan bahwa sistem penegakan hukum pidana yang hanya mengandalkan
pada alat bukti saksi makin lama makin tidak andal.
Selain rawan
penyelewengan, alat bukti saksi tak dapat mengungkapkan suatu kejahatan yang
dilakukan secara sistematis, terstruktur, atau dengan menggunakan sarana
modern. Menurut Fisher, physical
evidence sebagai bukti lepas secara bebas yang diperoleh dari penyidikan
profesional lebih obyektif dalam hal membuktikan suatu kejahatan.
Dalam
persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, 29 Agustus 2013, terkait suap kuota
impor daging sapi, Ridwan Hakim berbelit-belit saat memberi keterangan,
terkesan menutupi keterlibatan orang tertentu dalam kasus itu. Bahkan, saat
diperdengarkan rekaman pembicaraannya dengan Ahmad Fathanah (terdakwa kasus
itu), Ridwan berkelit dengan senjata pamungkas: lupa atau tidak
tahu. Hakim telah berupaya mengingatkan saksi terkait sumpah di bawah Al Quran.
Ridwan bergeming.
Dalam konteks
hukum acara pidana, keterangan yang diberikan di depan sidang pengadilan oleh
saksi berkonsekuensi hukum. Selain di bawah sumpah, keterangan itu punya nilai
sebagai alat bukti keterangan saksi. Jadi, keterangan yang diberikan adalah
sungguh-sungguh terjadi, dialami, didengar, dan dilihat sendiri sebagaimana
lafal sumpah sebelum memberi kesaksian: ”menyatakan yang sebenarnya tidak lain
dari yang sebenarnya”. Saksi yang memberi keterangan yang tak benar diancam
dengan pidana penjara tentang sumpah palsu dan keterangan palsu.
Alasan penting
Tiga alasan
penting mengapa mereka yang memberi keterangan palsu di atas sumpah dalam
sidang pengadilan diancam dengan pidana. Pertama, keterangan palsu di atas
sumpah adalah wujud nyata ketakjujuran kepada Tuhan. Kedua, keterangan palsu di
atas sumpah adalah wujud perlawanan terhadap hakim yang senantiasa mencari
kebenaran material untuk menyelesaikan suatu perkara dan memutus perkara atas
nama Tuhan. Ketiga, keterangan palsu di atas sumpah dapat merugikan orang lain.
Terlebih-lebih dalam perkara pidana, keterangan palsu di atas sumpah dapat
berakibat: perampasan kemerdekaan terdakwa.
Ini tegas
diatur dalam Pasal 242 Ayat (2) KUHP yang menyatakan, ”Jika keterangan palsu di
atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau
tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun”. Ancaman maksimum pidana terhadap keterangan palsu di atas sumpah dalam
perkara pidana lebih berat dibandingkan dengan ancaman maksimum pidana terhadap
keterangan palsu di atas sumpah dalam perkara lainnya yang hanya tujuh tahun.
Dalam UU
Pemberantasan Tipikor, mengenai keterangan palsu seorang saksi diatur dalam
Pasal 22 a quodengan ancaman pidana yang lebih berat daripada KUHP. Pasal a
quo pada intinya menyatakan, setiap orang yang dengan sengaja tak memberi
keterangan atau memberi keterangan yang tak benar dalam perkara korupsi diancam
dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun, paling lama 12 tahun atau denda
paling sedikit Rp 150 juta, paling banyak Rp 600 juta.
Kembali kepada
kasus suap kuota impor daging sapi. Jawaban saksi Ridwan yang berbelit-belit
(dan ketika dibujuk hakim agar berkata jujur, tetapi sering menjawab tidak
tahu atau lupa) dapat dikualifikasikan telah dengan sengaja tak
memberi keterangan atau memberi keterangan yang tak benar. Rekaman pembicaraan
saksi Ridwan dan Fathanah dapat dikategorikan sebagai physical evidence yang,
menurut Fisher, adalah bukti lepas secara bebas dan lebih obyektif untuk
membuktikan keterlibatan seseorang dalam suatu kejahatan. Itu sudah dapat
dijadikan bukti permulaan yang cukup menjerat Ridwan. KPK tak boleh ragu segera
memproses Ridwan dengan instrumen dimaksud. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar