Selasa, 10 September 2013

Keterangan Saksi dan Sumpah Palsu

Keterangan Saksi dan Sumpah Palsu
Eddy OS Hiariej ;   Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
KOMPAS, 10 September 2013


Barry AJ Fisher dalam Techniques of Crime Scene Investigation (2003) menyatakan bahwa sistem penegakan hukum pidana yang hanya mengandalkan pada alat bukti saksi makin lama makin tidak andal.
Selain rawan penyelewengan, alat bukti saksi tak dapat mengungkapkan suatu kejahatan yang dilakukan secara sistematis, terstruktur, atau dengan menggunakan sarana modern. Menurut Fisher, physical evidence sebagai bukti lepas secara bebas yang diperoleh dari penyidikan profesional lebih obyektif dalam hal membuktikan suatu kejahatan.
Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, 29 Agustus 2013, terkait suap kuota impor daging sapi, Ridwan Hakim berbelit-belit saat memberi keterangan, terkesan menutupi keterlibatan orang tertentu dalam kasus itu. Bahkan, saat diperdengarkan rekaman pembicaraannya dengan Ahmad Fathanah (terdakwa kasus itu), Ridwan berkelit dengan senjata pamungkas: lupa atau tidak tahu. Hakim telah berupaya mengingatkan saksi terkait sumpah di bawah Al Quran. Ridwan bergeming.
Dalam konteks hukum acara pidana, keterangan yang diberikan di depan sidang pengadilan oleh saksi berkonsekuensi hukum. Selain di bawah sumpah, keterangan itu punya nilai sebagai alat bukti keterangan saksi. Jadi, keterangan yang diberikan adalah sungguh-sungguh terjadi, dialami, didengar, dan dilihat sendiri sebagaimana lafal sumpah sebelum memberi kesaksian: ”menyatakan yang sebenarnya tidak lain dari yang sebenarnya”. Saksi yang memberi keterangan yang tak benar diancam dengan pidana penjara tentang sumpah palsu dan keterangan palsu.
Alasan penting
Tiga alasan penting mengapa mereka yang memberi keterangan palsu di atas sumpah dalam sidang pengadilan diancam dengan pidana. Pertama, keterangan palsu di atas sumpah adalah wujud nyata ketakjujuran kepada Tuhan. Kedua, keterangan palsu di atas sumpah adalah wujud perlawanan terhadap hakim yang senantiasa mencari kebenaran material untuk menyelesaikan suatu perkara dan memutus perkara atas nama Tuhan. Ketiga, keterangan palsu di atas sumpah dapat merugikan orang lain. Terlebih-lebih dalam perkara pidana, keterangan palsu di atas sumpah dapat berakibat: perampasan kemerdekaan terdakwa.
Ini tegas diatur dalam Pasal 242 Ayat (2) KUHP yang menyatakan, ”Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Ancaman maksimum pidana terhadap keterangan palsu di atas sumpah dalam perkara pidana lebih berat dibandingkan dengan ancaman maksimum pidana terhadap keterangan palsu di atas sumpah dalam perkara lainnya yang hanya tujuh tahun.
Dalam UU Pemberantasan Tipikor, mengenai keterangan palsu seorang saksi diatur dalam Pasal 22 a quodengan ancaman pidana yang lebih berat daripada KUHP. Pasal a quo pada intinya menyatakan, setiap orang yang dengan sengaja tak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tak benar dalam perkara korupsi diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun, paling lama 12 tahun atau denda paling sedikit Rp 150 juta, paling banyak Rp 600 juta.

Kembali kepada kasus suap kuota impor daging sapi. Jawaban saksi Ridwan yang berbelit-belit (dan ketika dibujuk hakim agar berkata jujur, tetapi sering menjawab tidak tahu atau lupa) dapat dikualifikasikan telah dengan sengaja tak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tak benar. Rekaman pembicaraan saksi Ridwan dan Fathanah dapat dikategorikan sebagai physical evidence yang, menurut Fisher, adalah bukti lepas secara bebas dan lebih obyektif untuk membuktikan keterlibatan seseorang dalam suatu kejahatan. Itu sudah dapat dijadikan bukti permulaan yang cukup menjerat Ridwan. KPK tak boleh ragu segera memproses Ridwan dengan instrumen dimaksud. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar