Minggu, 22 September 2013

Rupiah, antara Kepercayaan dan Rayuan

Rupiah, antara Kepercayaan dan Rayuan
Holden Makmur A ;   Pengamat masalah ekonomi dan sosial
MEDIA INDONESIA, 21 September 2013


KEHADIRAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan G-20 di Rusia memberikan banyak pengalaman dan informasi untuk menjadi acuan Indonesia dalam menghadapi masalahmasalah dalam negeri, khususnya ekonomi dan tingginya utang luar negeri.

Negara ini memiliki sejumlah keunggulan seperti jumlah penduduk yang nomor empat terbesar di dunia (sekitar 250 juta jiwa), sumber daya alam, hingga suburnya lahan. Namun, itu belum dikelola dengan maksimal demi kemaslahatan rakyat Indonesia. Kita lebih menghargai dan menghormati bangsa asing yang menaruh investasi mereka di Indonesia melalui berbagai kemudahan, jika dibandingkan dengan pengusaha-pengusaha lokal kita. Itu ditambah tidak adanya kepastian hukum yang jelas dan tumpang-tindihnya peraturan satu sama lain.

Ada tujuh langkah yang bisa dilakukan pemerintah dalam menghadapi kondisi perekonomian saat ini, terutama upaya menstabilkan nilai kurs, yakni, pertama, menaikkan suku bunga. Usaha Bank Indonesia (BI) dengan menaikkan suku bunga acuan menjadi 7,25% dari sebelumnya 7% ialah langkah yang tepat walaupun harus disikapi hati-hati. Saya berpendapat mestinya kenaikan suku bunga 9%-10%. Hal itu bertujuan merangsang para pemilik modal menjual dolar mereka guna men dapatkan bunga deposito yang lebih menarik. Di samping itu, para spekulan akan berpikir dua kali untuk menyimpan dolar mereka.

Saat ini banyak orang Indonesia tidak percaya dengan rupiah. Kenaikan suku bunga ini akan berdampak langsung maupun tidak langsung dengan perbankan yang akan menaik kan suku bunga kredit mereka untuk menutupi biaya operasional, selain untuk memperoleh keun tungan dari memberikan kredit kepada para nasa bah. Nah, pemerintah harus mengeluarkan peraturan yang wajib dipatuhi industri perbankan.

Kedua, mengpack kurs rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dolar Amerika Serikat. Ketika krisis 1998 saat US$1 diperdagangkan Rp17 ribu, kita semua panik. Malaysia berani mengpack ringgit sehingga para spekulan dan juga investor di dalam negeri dibuat tidak berkutik. Indonesia? Kita dihadapkan pada kepentingan-kepentingan penguasa dan segelintir orang pada waktu itu, ditambah cadangan devisa juga tidak sebesar sekarang yang telah mencapai US$97,7 miliar. Alangkah baiknya pemerintah mengpack kurs dolar dihargai sebesar Rp6.500-Rp7.500 per US$1 dan harus menggunakan mata uang rupiah bila bertransaksi apa pun di seluruh Indonesia tanpa terkecuali. Saya yakin hal itu akan berdampak positif walaupun para eksportir kita mengatakan tidak bisa bersaing di pasaran luar negeri.

Rule of the game

Ketiga, insentif bagi para eksportir. Sebagai regulator, BI beberapa waktu lalu telah mengeluarkan kebijakan agar para eksportir tidak memarkir uang hasil ekspor mereka di luar negeri, terutama di negara yang memberikan insentif dan kemudahan di dalam bertransaksi. BI bisa memberikan insentif berupa bunga dalam mata uang dolar lebih tinggi bila memasukkan kembali hasil uang ekspor mereka. 

Walaupun peraturan ini ada efeknya, tidak terlalu signifikan karena para pengusaha tidak percaya dengan sistem yang ada saat ini. Mestinya regulator membuat peraturan yang menarik dan rule of the game-nya juga harus dibuat, misalnya mereka yang tidak membawa uang kembali ke dalam negeri akan diberi sanksi yang tegas atau dikenai denda tinggi. Jadi, para eksportir kita jangan hanya menikmati naiknya kurs rupiah, sedangkan para importir justru banyak yang kewalahan. Dengan adanya rule of the game yang jelas, saya yakin para eksportir tidak akan memarkir uang hasil ekspor mereka di luar negeri.

Keempat, surplus di sektor migas. Hasil migas kita harus diekspor dengan harga yang murah untuk selanjutnya diolah negara-negara lain, yang ironisnya kita kemudian membeli kembali dengan harga yang tinggi.

Kita membelinya dengan kurs dolar dan karena itulah, kebutuhan akan dolar dalam transaksi migas terus membengkak. Pemerintah harus memberikan insentif yang berkesinambungan atau para pengusaha kita difasilitasi untuk bisa bersaing dengan negara lain dalam sektor migas.

Kelima, insentif untuk daerah-daerah. Negara kita akan mengalami pergantian kepemimpinan nasional 2014 dan ini berdampak pada semua aspek, terutama politik dan ekonomi. Para pengusaha sudah pasti makin berjaga-jaga karena khawatir pemimpin nasional yang terpilih tidak bisa diterima pasar. Terlebih kalau pemimpin yang terpilih mengandalkan popularitas semata, dan tidak memikirkan soal ekonomi kerakyatan.

Kalau kita cermati, porsi pemberitaan menjadi tidak berimbang karena fokusnya hanya pada pemerintahan pusat. Padahal gubernur, bupati, dan walikota juga banyak yang bekerja keras, tetapi karena bukan media darling, kurang mendapat sorotan. Calon kepemimpinan nasional kita seolah-olah hanya bergantung pada satu orang. Hal itu justru tidak proporsional dan mengundang potensi kegaduhan. Harusnya yang diciptakan ialah suasana kondusif dengan fokus utama pada menstabilkan perekonomian nasional dengan mengembalikan nilai tukar rupiah.

Jangan cuma Jakarta

Mengapa hanya DKI Jakarta yang terus disorot? Surabaya atau kota-kota lain di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan kawasan Indonesia timur kurang mendapat per hatian. Harusnya kita dapat mengarahkan para investor untuk tidak masuk hanya ke Jakarta dan sekitarnya, tetapi juga ke provinsi-provinsi lain. Sebagai contoh, di China apa bila ada investor yang ingin berbisnis di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai, mereka diharuskan membuka bisnis di daerah atau provinsi yang lebih kecil dahulu. Setelah beberapa waktu, baru investor diberi kesempatan masuk ke kota-kota besar. Kalau kebijakan tersebut juga kita jalankan, pemerataan pembangunan hingga ke seluruh pelosok Indonesia dapat tercapai. 
Daerah yang karena kreativitasnya mampu mendatangkan investor, baik dalam maupun luar negeri, harus mendapat insentif seperti kenaikan APBD yang lebih besar atau insentif lainnya.

Keenam, menggalakkan usaha kerakyatan. Kita mengetahui bersama bahwa banyak potensi di daerah yang belum tergarap dengan baik dan hal ini menjadi modal bagi kita untuk mengembangkan mereka. Di Bali banyak kerajinan yang kurang diperhatikan sampaisampai orang asing banyak membimbing mereka. Mereka dimodali dan hasil pekerjaan mereka diekspor serta memberikan keuntungan bagi si penanam modal karena orang-orang tersebut jeli dan menyadari potensi kerajinan tersebut di pasar internasional.

Ketujuh, menggalakkan cinta rupiah. Ketika krisis moneter 1998 ada gerakan menggalakkan sumbangan emas atau apa pun untuk ditukarkan atau dijual ke dalam bentuk rupiah. Hal itu harus kita galakkan lagi sekarang. Mulai Presiden, anggota DPR, pejabat negara, pengusaha, hingga ke rakyat banyak hendaknya menukarkan dolar simpanan mereka ke mata uang rupiah. Di samping itu perlu aturan yang jelas kenapa orang membeli dolar, apakah untuk berbisnis, pendidikan, atau hanya spekulasi yang memanfaatkan momen sehingga menimbulkan gejolak rupiah yang harusnya tidak perlu.

Ketujuh langkah yang telah disebutkan itu bisa dilakukan apabila rakyat dan pemerintahan mempunyai kemauan untuk memajukan Indonesia. Dengan demikian, Indonesia akan menjadi negara besar dan disegani bangsa-bangsa lain bila rakyatnya bersatu dan bangga menjadi bagian dari Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar