Minggu, 22 September 2013

“A Nation at Risk”

“A Nation at Risk”
Amril Aman  ;   Kepala Bagian Operations Research pada Departemen Matematika, FMIPA IPB, Anggota Dewan Riset Daerah Provinsi DKI Jakarta
KOMPAS, 21 September 2013


TAHUN 1981, pada masa pemerintahan Presiden Ronald Reagan, Menteri Pendidikan Amerika Serikat membentuk Commission on Excellence in Education. Hal ini merupakan respons pemerintah terhadap kekhawatiran publik tentang masalah serius dalam sistem pendidikan yang menyebabkan keunggulan AS dalam industri, perdagangan, ilmu pengetahuan, dan inovasi teknologi terancam negara-negara lain.
Komisi beranggotakan 18 orang dari berbagai pemangku kepentingan, mulai dari guru SMA, kepala sekolah, perguruan tinggi, kalangan industri, hingga lembaga penelitian. Beberapa di antaranya pemenang Nobel. Komisi diminta untuk mengidentifikasi permasalahan pendidikan serta memberikan rekomendasi solusinya.
Komisi bekerja selama 18 bulan dan hasil kerjanya dituangkan dalam satu laporan yang disampaikan tidak hanya ke Menteri Pendidikan AS, tetapi juga kepada publik Amerika. Laporan yang berjudul ”A Nation at Risk: The Imperative for Educational Reform” telah membuka mata publik tentang dampaknya apabila masalah tidak ditanggulangi.
Kita baru saja merayakan ulang tahun ke-68 kemerdekaan. Saat proklamasi kemerdekaan, para pendiri negara telah merumuskan tujuan pendirian negara, seperti tertuang pada alinea ke-4 UUD 1945, antara lain memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Ternyata kita masih jauh.
Keberhasilan pembangunan
Indikator untuk mengukur kesejahteraan masyarakat adalah angka harapan hidup (life expectancy). Semakin panjang usia, semakin sejahtera rakyat.
Dengan ukuran ini, tingkat kesejahteraan kita masih lebih rendah dibandingkan negara tetangga kita. Tahun 2009, angka harapan hidup kita adalah 70,8 tahun (peringkat ke-141), Malaysia 73,3 tahun (peringkat ke-112), dan Singapura 82 tahun (peringkat ke-4).
Capaian pendidikan kita juga tergolong rendah. Inilah hasil tes Trends in International Mathematics and Science Study (TIMMS) tahun 2011. Siswa kelas VIII untuk matematika ada pada urutan ke-38 dari 42 negara; bidang sains urutan ke-40 dari 42 negara.
Masyarakat kita memang masih jauh dari cerdas, terlihat dari berbagai kebodohan dalam kehidupan bernegara.
Era Reformasi telah membawa kita melaksanakan demokrasi prosedural, dikenal dengan pesta demokrasi, yang menghabiskan biaya demikian besar. Ironisnya, 70 persen kepala daerah di Indonesia yang terpilih melalui mekanisme itu terjerat kasus korupsi. Di samping itu, ada 69,7 persen laporan transaksi mencurigakan ke PPATK terkait anggota DPR hasil pesta demokrasi itu.
Demokrasi prosedural yang diterapkan ternyata gagal memilih pemimpin yang amanah, tetapi tahun depan kita akan mengulang ritual yang sama. Bak keledai yang tersungkur ke lubang yang sama berkali-kali.
Pentingnya pendidikan
Belajar dari Singapura, pendidikan adalah salah satu hal terpenting untuk mencapai kesejahteraan. Singapura yang merdeka tahun 1965 adalah negara miskin tanpa sumber daya alam. Air, makanan, dan energi semua diimpor.
Namun, kini angka harapan hidup dan pendapatan kotor domestik (GDP) per kapita Singapura melebihi Amerika Serikat karena sistem pendidikannya yang menurut kajian McKinsey&Co tahun 2007 merupakan sistem pendidikan terbaik di dunia.
Kembali ke Indonesia dengan rencana Kurikulum 2013. Kajian akademis yang komprehensif mencakup evaluasi kurikulum sekarang dan justifikasi akan perlunya perubahan kurikulum menjadi Kurikulum 2013 tidak pernah disampaikan ke publik.
Karena itulah, muncul berbagai pertanyaan akan rasionalitas kurikulum tersebut dan feasibilitas implementasinya dalam waktu amat singkat. Tidak ada jawaban yang memuaskan.
Konsep Kurikulum 2013 didetailkan dengan perumusan kompetensi untuk setiap topik pada setiap mata pelajaran, tetapi ternyata rumusannya tidak masuk diakal. Sebagai contoh, salah satu kompetensi untuk bidang Aljabar pada kelas X adalah sebagai berikut: ”menunjukkan kesadaran hak dan kewajiban serta toleransi terhadap berbagai perbedaan di dalam masyarakat majemuk sebagai gambaran menerapkan nilai-nilai matematis sebagai hasil mempelajari persamaan dan pertidaksamaan linier”.
Tanpa belajar Aljabar pun, kita tahu bahwa tidak ada kaitan sama sekali antara konsep persamaan dan pertidaksamaan linier dengan pengembangan perilaku akan kesadaran hak dan kewajiban serta sikap toleransi. Padahal, perumusan kompetensi untuk setiap mata ajaran merupakan hal yang amat strategis dan amat penting.
Beberapa minggu lalu, saya berjumpa dengan sejumlah guru Matematika di Kendari, sebagian di antaranya baru saja mengikuti pelatihan Kurikulum 2013. Ternyata, pelatihan hanya diberikan untuk guru tiga mata pelajaran, untuk mata pelajaran lain dipersilakan mengajar tanpa pelatihan.
Ketika saya tanyakan pandangan mereka akan Kurikulum 2013, jawabannya adalah ”amat bagus karena Kurikulum 2013 lebih menekankan pada aspek karakter”. Saya tanya lebih lanjut: apa perbedaan utama dalam mengajarkan Matematika dengan Kurikulum 2013 dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Tidak ada yang bisa menjawab.
Melihat kenyataan itu, makin kuatlah anggapan bahwa pelaksanaan Kurikulum 2013 dipaksakan dan tergesa-gesa. Sekadar proyek yang menggunakan pendidikan sebagai obyek. Orientasi proyek adalah pelaksanaan, bukan kualitas. Perancangan dan implementasi Kurikulum 2013 semacam ini jelas akan memperlemah kualitas pendidikan kita.
Kurikulum 2013 yang telah memakan dana amat besar akan melemahkan kualitas pendidikan. Dalam kaitan ini layak untuk dikutip alinea kedua dari laporan Commission on Excellence in Education yang intinya sebagai berikut: usaha pihak lain yang mencoba memperlemah kualitas pendidikan harus dipandang sebagai pernyataan perang. Ironisnya, justru pemerintahlah, lewat Kurikulum 2013, akan memperlemah kualitas pendidikan.
Kita mengahadapi masalah besar dalam bidang pendidikan. Kita adalah a nation at risk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar