|
BAGI warga desa terpencil di Kabupaten Nabire, Papua dan
Wondama, Papua Barat, jadi pintar dan bekerja layak adalah bagian dari mimpi.
Tak semua orang berhasil walau kesempatan terbentang. Warga membicarakan mimpi
ini sambil mengunyah sirih dan pinang; sebagai bentuk ikatan mereka dari masa
lampau.
Sejumlah
perempuan, dengan mulut bergerak kiri kanan mengunyah pinang, dan bayi
menggelendot di gendongannya melihat sulit menuju kehidupan cerah bila pasangan
mereka bergaya barbar; mabuk, memukuli. Perempuan menyebutnya, laki-laki ringan tangan. Sebuah istilah yang tak beda dengan mulba..mulut ba air–berbicara tanpa bukti– yang
ditujukan bagi politikus. Satu perempuan sedikitnya memiliki pengalaman minimal
dipukuli 3 kali dalam hidup, baik oleh orangtua maupun oleh pasangannya.
Lainnya, sebagian warga Papua, memiliki pengalaman lebih dari dua kali memilih
pemimpin politik yang mulba.
Perempuan
dan generasi baru
Desa Bawei, salah satu desa di Kabupaten Nabire, Papua,
mengkerut di siang hari. Panas menyengat muncul dari laut. Pohon pinang tegak
di depan rumah-rumah penduduk. Di sini, dari total 200 jiwa warga, hanya
terdapat tujuh siswa tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).
‘Belum punya sarjana,’ kata Joni Mboni.
Anak muda usia 14-18 tahun terlihat duduk depan
atau samping rumah, bergerombol, mengunyah pinang. ‘Tak ada kerjaan,’ ujar
Simon Manahara, bapak dari 10 anak. ‘Mereka tak melaut atau ke kota karena tak
punya ketrampilan, kecuali berkebun,’ katanya. Anak putus sekolah umumnya
berbicara tentang olahraga sepak bola, mimpi kerja atau pasangan impiannya.
Putus sekolah terkait erat dengan pernikahan muda. Bagi
keluarga perempuan, pernikahan adalah pintu pelepasan tanggung jawab mengawasi
anak perempuannya. Sedang bagi keluarga pria, pernikahan adalah lambang penerusan
marga, keperkasaan sekaligus beban baru.
Tak perlu menunggu dua tahun untuk menyaksikan lahirnya
manusia-manusia baru dari pernikahan ini. ‘Anak ketiga,’ kata Yohana Benahero
menunjuk Begi Andoi, bayi perempuan bertubuh ceking, bermata nanap tanpa senyum.
Yohana berusia 30an tahun, berat tubuhnya tak lebih dari 35 kg. Iamengidap
penyakit yang membuat jemari jarinya mengkerut satu persatu.
Keluarga terencana—pernikahan matang, anak sehat dan
terurus—tak populer di pedalaman Papua. Ada empat perempuan muda, berusia
antara 24-30an tahun, hamil, menggendong anak, saling mengedipkan mata dan
mencubit ketika soal keluarga terencana didiskusikan. Mereka rata-rata memiliki
lebih dari 3 anak!
Saya bertemu Maria asal Desa Napan Yaur, 26 tahun, janda
muda tiga anak juga. Anak tertuanya berusia 6 tahun, berencana di sekolahkan,
meski ia sendiri tak yakin bisa menggapai mimpi itu. Dua tahun ini, Maria hidup
bergantung dari orangtuanya. ‘Suami meninggal kena tangan setan, sihir,’
ceritanya. Suaminya bekerja di kebun sawit, awalnya cuma demam dan lalu
meninggal tiga hari kemudian. Maria tak berencana menikah lagi. ‘Hidup berat
kalau menikah, capek kerja, suami suka pukul.’ Ia bergidik. Maria
memiliki kulit hitam terang dengan mata indah. Kakak Maria memiliki 8
anak. Perempuan ini bangun pukul lima subuh menyiapkan sarapan untuk suami dan
anak, lalu ke kebun untuk tokok sagu dan kembali ke rumah pada pukul
empat sore. Anak tertuanya duduk di kelas enam Sekolah Dasar (SD). Ia punya
tugas ekstra, mengawasi adik-adiknya (ia terlambat bersekolah, karena tak ada
sekolah sebelumnya). Sang Ibu sungguh perkasa, ia tak punya waktu istirahat
cukup. Ketika pulang ke rumah sehabis bekerja, ia masih harus mengurusi bayi
dan suaminya.
Hidup berjalan seperti ‘sudah seharusnya begitu’ untuk
mereka.
Terbiasa
Sekolah berlokasi tak jauh dari rumah Yohana. Bangunan
permanen tapi kelas melompong. Seluruh siswa digabung dalam satu ruang.
Pengajar sekolah adalah guru honor yang gajinya diterima tiap tiga bulan sekali
di ibukota kabupaten Nabire, Papua. Menerima honor pun bukan perkara gampang,
karena mereka melaut dan meninggalkan kewajibannya untuk mengajar. Saat guru
pergi sekolah pun macet. Peraturan-peraturan kepegawaian tak memudahkan
guru melaksanakan tugasnya.
‘Apa
maunya Pemerintah,’ kata Simon Manahara lagi. ‘Urusan administrasi bikin guru susah dan jauh dari sekolah.’
Kata Simon, meski sekolah gratis, namun sempit pilihan
untuk melanjutkan sekolah. Sarana SMP dan SMA terletak jauh di kota. Mengirim
anak ke kota berarti mengirim separuh biaya hidup. Simon mendengar bahwa
pemerintah menggelontorkan uang besar untuk memudahkan pendidikan, tapi ia tak
melihat uang diefektfikan memperbaiki kualitas pendidikan Papua. Ketakhadiran
guru, satu guru mengajari 3-4 kelas, sekolah tutup tiba-tiba atau anak
berhenti sekolah bukan hal luar biasa di pedalaman Papua.
Cita-cita
Bertanyalah pada anak-anak pelosok Papua, apa cita-cita
mereka? Jawaban umum adalah keterdiaman panjang dan mata bening malu-malu
tergeragap.
‘Tidak tahu,’ kata Akggins Alvins, si jago menggambar.
Orangtuanya tak yakin mampu menyekolahkan Akggins ke kota yang jauh.
‘Lanjut sekolah,’ kata Erni Arumsore.
‘Jadi pelaut,’ ujar Silas.
‘Menjadi suster,’ Irma Hamberi, lima tahun, menjawab. Ia
cucu dari kepala kampung Akuidiomi, Kwatisore, distrik Teluk Yaur, Nabire.
Murid yang memiliki cita-cita, dan orangtua yang bertekad menyekolahkan
anaknya, pada umumnya melihat jejak nyata pendahulu mereka setelah tamat
sekolah.
‘Ada hubungan erat antara motivasi orangtua serta contoh
nyata keberhasilan pendidikan terhadap pola pikir warga di kampung ini,’ kata
Martinus Hamberi, Kepala Kampung Akudiomi. Di Desa Akudiomi, terdapat 20
sarjana dan calon sarjana (dua diantaranya calon dokter) dari total 376 jiwa.
Desa ini berlokasi tak jauh dari Kali Lemo, pulau dimana wisatawan
menginap dan memantau hiu paus.
Meski jejak bagus itu muncul di Akudiomi, namun tetap
saja sekolah bermasalah. Hanya satu guru yang mengajar tetap di SD Akudiomi,
guru yang nasibnya berakhir tragis. Ia terusir dan selanjutnya sekolah ditutup
hanya gara-gara seekor ayam. ‘Sudah tiga bulan anak-anak tak sekolah,’ jelas
Martinus. Urusan sepele bisa mengoyakkan sistem dan komitmen pendidikan di
Papua.
Kini
di dinding bangunan sekolah ada goretan besar: guru
menumpan (tanpa g).
Baca
dan tulis
Sebagian besar pengajar SD adalah guru agama yang
mengajar mata pelajaran apapun. Minim sekali guru mata pelajaran yang nantinya
justru di ujiankan untuk siswa. Meskipun begitu, rata rata pengajar fokus
pada pelajaran membaca dan menulis.
‘Ini paling mendasar,’ kata Mirna Hanebora, guru
bantu SDN Desa Sima, yang mendapat insentif dari perusahaan sawit PT Nabire
untuk terus bertahan mengajar. Mirna menghabiskan pagi dengan mengajar kelas 2
dan 3 serta siang hari untuk kelas 4, 5, dan 6 dalam pelajaran membaca
dan menulis. ‘Setelah semua itu saya minum obat anti sakit kepala,’ katanya.
Keterbatasan guru, kurangnya fasilitas sekolah membuat
pelajaran membaca dan menulis terseok-seok. ‘Saya minta orangtua mendorong
anaknya belajar giat. Sayang banyak orangtua tak bisa baca dan sering menyuruh
anaknya kerja saat jam sekolah.’
Menurutnya,
anak yang putus sekolah biasanya memiliki banyak saudara. ‘Jadi mereka harus
jaga adiknya saat orangtua ke kebun. Anak usia enam tahun jadi pengganti
orangtua, mereka menyuapi adik-adiknya, menidurkan dan kemudian ia sendiri
kehilangan jam main dan jam sekolah.’ Atau anak diminta bekerja di kebun. Mirna
menyaksikan bagaimana desanya berkembang dalam tahun-tahun terakhir; akses dari
darat, menghubungkan Sima dan Nabire, masuknya mobil serta handphone. ‘Bagaimana nasib anak -anak ini bila mereka
tak siap dengan perubahan. Rasanya mau menangis dan berteriak. Kami telah
melihat contoh kalau mereka didukung maksimal, mereka sangat pintar, tapi..’
mata Mirna berkaca-kaca.
Menulis,
menggambar dan seni
Tes kecil dilakukan terhadap murid-murid kelas lima dan
enam SD Yaur; tuliskan pengalaman kalian bermain di kapal pendidikan. Inilah
hasilnya:
Aku tadi lihat kaka..(kurang k)
Tadi ibu guru cerita tentan (kurang g) sumberdaya alam.
Tadi kami potoh-potoh (berfoto) dan berkeker-keker.
Kaka samua sudah baik sekali kepada kami samua dan kaseh kue dan sirop.
Tadi ibu guru cerita tentan (kurang g) sumberdaya alam.
Tadi kami potoh-potoh (berfoto) dan berkeker-keker.
Kaka samua sudah baik sekali kepada kami samua dan kaseh kue dan sirop.
Sebanyak 90 persen anak menulis pengalaman harian mereka
tak lebih dari satu paragraf, dalam bahasa Indonesia beraksen Papua. Sebagian
hanya menuliskan namanya, sisanya mengembalikan kertas kosong tanpa coretan
apapun.
Murid-murid yang diminta menggambar menunjukkan kemampuan
menarik. Mereka menggambar gurano bintang, si hiu paus bertubuh besar yang
dianggap rajanya ikan. Lainnya menggambari simbol-simbol Papua; perahu, bunga,
orang. Ini seperti menyaksikan motif Papua di sebarkan dalam kertas gambar.
Indah dan unik.
Murid yang diminta menyanyi dan menari (dengan materi
pelajaran yang disisipkan dalam tarian dan lagu) menunjukkan kemampuannya
mengingat materi itu secara cepat.
Kualitas
pendidikan
Di Kabupaten Nabire, angka kelulusan Sekolah Dasar telah
mencapai 88,88 persen. ‘Boleh dikata ini lebih baik dari tahun-tahun
sebelumnya,’ kata Eddie. Namun angka itu tidak diikuti angka kelulusan SMP. Di
level ini angka kelulusan berada di angka 72 persen. Di bangku SMA, angka
penyertaan murid merosot bebas ke 55,17 persen. Dalam catatan Pemerintah
Kabupaten Nabire, Index Pembangunan Manusia (IPM)— merujuk pada indikator lama
hidup, pendidikan dan standar hidup— mengindikasikan perlunya kerja keras
Pemerintah dan semua pihak untuk memperbaiki kualitas hidup warga Papua.
Generasi putus sekolah masuk dalam kategori 66,12 persen
usia produktif 15-64 tahun di Kabupaten Nabire. Bila tahun ini mereka berusia
15 tahun, maka dua tahun lagi mereka menginjak 17an. Dalam kondisi terburuk,
hidup tanpa gaji, pekerjaan layak, tanpa jaminan hidup lebih baik, mereka
inilah generasi yang berpeluang termanfaatkan dan tersingkirkan untuk
tujuan-tujuan tak bertanggungjawab.
Meskipun begitu, terdapat masalah besar dari angka
kelulusan ini. ‘Banyak siswa tak bisa baca. Mereka lulus karena orangtua marah
bila anaknya gagal, jadi guru takut,’ kata Yunus Abowi dari Desa Yaur. Ibu Oci,
guru di desa berkata, tekanan tinggi dari orangtua muncul menjelang ujian
Ebtanas. ‘Inilah saat stres bagi guru, kami bekerja mendorong anak siap hadapi
ujian sekaligus menghadapi orangtua mereka.’
Bentuk
kedisplinan
Yonathan Wandau mengingat, suatu ketika gurunya bertanya:
‘Siapa yang mandi pagi?’ Semua murid, termasuk Yonathan, mengangkat tangan.
Sang guru lalu berjalan keliling memeriksa lubang telinga murid-murid tersebut.
‘Kau,’ ia menunjuk Yonathan. ‘Kau..kau..’ ia menunjuk
murid-murid lainnya. ‘Buka baju, pergi mandi.’ Rombongan murid pria terjengkit,
lalu berdiri menuju ke laut di belakang sekolah. Itu salah satu bentuk disiplin
yang diterapkan guru SD YPK Moor di Paniai (kini Kabupaten Nabire, Papua Barat)
di tahun 1975an. Bentuk disiplin lainnya adalah menerapkan sistem gotong royong.
‘Kami tahu bahwa kehidupan guru susah, jadi, kami, murid kelas 4, 5 atau 6
membantu mencari kayu bakar atau mengisi air. Ini agar ia tak berhenti
mengajar.’
Ia mengenang disiplin lainnya. Malam hari harus belajar
(tak boleh ada kegiatan apapun), hari minggu tak boleh memegang benda tajam,
pemeriksaan kuku, dan memastikan tiap anak tidak menyakiti anak lainnya. ‘Guru
mengajar kami menghargai orang lain.’
Yonathan adalah anak yatim piatu yang hidup
berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga lainnya. ‘Tak sekolah kalau
tetap di kampung.’ Di rumah keluarga berbeda, ia bekerja apapun: angkat barang,
memotong kayu, dan membersihkan rumah. Ia pernah menganggur setahun, berburu
buaya dan menjual kulitnya sebelum lanjut SMA. Ia melihat ada perbedaan besar
antara dulu dan sekarang. Dulu, dengan uang Rp. 1000 bisa membeli banyak
barang. Sekarang, uang Rp 100 ribu tak lagi memiliki nilai. ‘Jadi meski sekolah
gratis, namun banyak hal lain harus dibayar, tak heran banyak putus sekolah.’
Marta
Sadi, perempuan 49 tahun, mengenyam pendidikan pertamanya di tahun 1972. Marta
hanya tamat SD lalu menganggur 18 tahun. Ia bekerja di kebun dan
mengenal seorang tentara yang membuatnya jatuh cinta tak kepalang. Ia
mendatangi tukang tato dan menuliskan nama tentara itu,Yulen S, di lengan kanannya. Marta menikah dengan
pria lain yang cenderung suka memukul. Meskipun begitu, tato itu tetap ada di
lengannya untuk mengingatkannya pada dua hal: cinta dan abjad.
Merdeka
atau …
‘Kita harus merdeka dari Indonesia,’ kata Simon.
‘Mengapa?’ tanya saya.
‘Karena
hidup kitorang tidak pernah bagus dari dulu sampai
sekarang.’
Simon pria berapi-api. Ia melihat bebas dari Indonesia
adalah jalan keluar dari kebuntuan hidup Papua. Otonomi khusus, menurutnya,
berefek hanya pada orang yang memiliki kekuasaan. Komentar Simon ditanggapi
ringan teman-teman pria lainnya. Simon hanya satu dari sejumlah orang yang
berbicara tentang isu peka, kemerdekaan. Warga lainnya berbicara tentang hak
mendasar mereka; makanan, ekonomi, kesehatan, pekerjaan dan perintah-perintah
dari gereja untuk jadi Kristen yang baik.
Atau,
berkasak-kusuk tentang pemimpin A, B, atau C, yang duduk di Pemerintahan atau
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), namun tak memberi contoh tentang sikap
baik. Pemimpinlemon, banyak bicara dan kecut, demikian mereka
menjulukinya. Para pejabat—dalam kasak-kusuk warga—ditertawai karena memiliki
dua atau tiga istri, terlibat narkoba, banyak janji tanpa bukti, atau isu
krusial lainnya; tak adil pada suku-suku lain Papua. Tapi pemerintah Papua selalu
diberi keberuntungan karena ditolong oleh sifat kekeluargaan warganya. Meski
beberapa dari mereka dituding lemon, namun
pendukungnya (terutama dari suku atau marga yang sama) memberikan dukungan
mutlak, tak dipertanyakan. ‘Ini kita su dua kali
pilih pemimpin lemon yang tidak melihat ke
warganya,’ celetuk pria lain.’ ‘Tapi yah itulah, mereka kaka kaka kita, jadi mau apa lagi,’ tambah Yunus
Abowi.
‘Ini
kebiasaan orang Papua. Hidup komunal dan berbagi. Kami diikat oleh banyak hal;
darah, marga,pinang sirih, tanah ulayat dan uang. Uang basudara di sini,’ kata Mathius. Karena uangbasudara, maka pada umumnya sulit menolak membantu
keluarga lain.
‘Koperasi bisa gagal karena tak bisa tolak saudara pinjam
uang,’ kata Yunus lagi. Program pembangunan pun gagal karena kurangnya kontrol
dan evaluasi dari warga. ‘Itu sudah,’ katanya lagi.
Bahasa
Indonesia Papua
Istilah lemon, hanyalah satu dari istilah yang lazim di
Wondama. Rata-rata warga memiliki kemampuan untuk melabelkan ‘sesuatu’ dengan
perumpamaan.
‘Hei..kam tahu penyu? Penyu…penyu..? Kam itu WWF (World
Wildlife Fund) seperti penyu..itu suka datang dan pergi bagitu saja.’
Herman Sawesamariai, tokoh masyarakat kampung Vietnam, Distrik Rumberpon
berseru marah. Suaranya memenuhi ruang pertemuan kelas sekolah SD YPK Yomakan.
Perempuan yang diteriaki sebagai penyu, Sandra Rumbiak, terduduk tenang. Ia
diapit staf balai taman nasional Teluk Cendrawasih.
‘Ko kasi tahu ko pe bos itu
eh,’ Herman melanjutkan.
‘Ya Bapa, saya nanti bilang,’ ujar Sandra yang dipanggil
penyu, sambil menelan ludah.
Istilah penyu bisa juga diberikan kepada politikus, yang
berjanji lama tanpa bukti sehingga ia tak lagi datang ke kampung.
Perempuan teteruga, kura-kura– perempuan banyak anak, dan
menitipkan anak pada orangtuanya. Beranak dan pergi saja.
Pria ringan tangan, patinju—suka memukul.
Orang babongkar tikus—mengobrak-abrik seperti tikus.
Mulut bakompor-kompor–mulut provokator.
Kaka bagus–mereka yang memiliki uang atau penampilan cantik.
Kaka ini ba isi penuh—pintar, masuk akal. ‘Oooiii kaka ini trada kosong ehh—kakak ini tidak bodoh eh.’
Orang babongkar tikus—mengobrak-abrik seperti tikus.
Mulut bakompor-kompor–mulut provokator.
Kaka bagus–mereka yang memiliki uang atau penampilan cantik.
Kaka ini ba isi penuh—pintar, masuk akal. ‘Oooiii kaka ini trada kosong ehh—kakak ini tidak bodoh eh.’
Mulba, mulut ba air atau mulut ba ombak-ombak–janji tanpa bukti nyata.
Jangan
pernah mengatakan ‘tawar’ pada pedagang emperan
di pasar Sorong. Tawar bukan berarti menurunkan, namun sebaliknya, menaikkan
harga. Pengalaman menawar berasal dari suku Ayammaruk, Sorong. Dalam tradisi
pernikahan mereka, mahar kawin yang telah diputuskan tak bisa diganggu gugat.
Calon mempelai pria yang berniat menawar biasanya mendapat balasan dua kali
kenaikan mahar kawin. Pola ini kemudian merembeti cara berdagang mereka di
pasar.
‘Kangkung berapa mama?’ tanya Feronika Manohas.
‘Enam ribu,’ kata pedagang di depannya.
‘Tawar mama.’
‘Mau
sepuluh ribu? Ko pergi ke pedagang lain
saja.’ Ia diusir.
Selain
memberikan perandaian pada kalimat, ada juga kebiasaan memendekkan
kalimat: Lepuh(leher putus, capek), kopimana (kamu pergi kemana), sapi main bola (saya pergi main bola), tara tahu (tidak tahu)..trada (tidak
ada). Kekayaan bahasa muncul dari bahasa tradisional yang jumlahnya ratusan.
Pinang,
budaya dan komunikasi
Sebagian
masalah di Papua bisa terselesaikan dengan kakes. Makan
pinang. Sirih, pinang, dan kapur, dalam dua versi bahasa lokal Papua, yakni
Roon disebut; bereng (pinang), nyang dan aver (kapur),
dan dalam bahasa Wondama disebut habu (pinang), rema (sirih) dan kiru (kapur),
merupakan buah yang dikunyah di mulut, menghasilkan cairan merah,
bergetah, panas, dan berbau khas.
Pinang
buah berbentuk lonjong, berwarna hijau dengan buah rasa sepat pekat. Buah ini
diperkirakan berasal dari Malaysia. Sirih, tanaman tropis yang tumbuh di
Madagaskar, Timur Afrika dan Hindia Barat dan kini bertebaran di Papua. Buahnya
berbentuk panjang, berbau tajam dengan rasa alaminyess—campuran
antara pedís di ujung lidah dan sepat—sebagian warga juga mengunyah daun sirih.
Bila pinang dan dan sirih di campur dalam mulut, maka rasa sepat, pedís muncul
namun ini tak menghasilkan warna merah. Jumputan dalam jumlah sedikit kapurlah
yang menghasilkan zat merah dan menimbulkan rasa hangat di kepala hingga ke
telinga. Cairah merah harus diludahkan.
Pinang dan sirih memiliki kandungan antiseptik. ‘Nenek
moyang kami tidak mengenal sikat gigi, namun mereka tahu ini bisa menghilangkan
bau mulut. Orang Papua jarang sakit gigi,’ kata Yulianus Awujabi, warga Papua Barat
yang tinggal di pedalaman Sima.
Mengunyah
pinang membawa efek positif dalam berkomunikasi. Kakes bisa menurunkan kemarahan warga. Anggota
DPRD yang berkunjung ke kampung bisa mengumpulkan massa sebanyak mungkin dengan
pinang, kapur dan sirih ini. Pinang dan sirih membuat urusan perkebunan kelapa
sawit mulus terbuka, progam konservasi bergulir ke desa-desa, dan pemilihan
kepala distrik lancar.
Saya berbicara dengan kepala suku yang mengunyah pinang
dan berbisik. ‘Ana.. cari investor—investor– sawit atau emas eh, bapa punya
tanah itu. Nanti ana dapat insentif–insentif.’ Sambil bergurau saya mengatakan
akan dipenjara dan sudah pasti menyeret namanya bila kami bersekongkol membuka
tambang emas di lahan ulayat. Pembicaraan ini berakhir riang diiringi pinang.
Betapa buah ini membuat segalanya riang di Papua!
Pria
modern Papua, berpenampilan gaya, rambut cukur model William Smith, kaus
berwarna terang, berkalung, handphone di
kantung, berjalan dengan tas noken—tas rajut khas Papua—yang berisi pinang,
sirih kapur. Pelajar dan mahasiswa menyelipkan sirih di antara buku pelajaran.
Pegawai kantor membawa sirih dalam tas kantor.
‘Upacara, pertemuan—kecuali yang digereja—di buka dengan
pinang sirih, lalu minum, lalu makan besar, lalu pinang sirih lagi,’ kata
Yulianus. Satu warga Papua bisa mengunyah 20 biji dalam sehari. Tak ada yang
peduli dengan gigi merah atau hitam. Sebagian besar memulai mengunyah pinang
sejak usia dini. ‘Anak saya masih balita, tapi karena sering melihat ibunya
mengunyah pinang, ia ikut makan daun sirih,’ katanya lagi.
Tapi mengunyah pinang sirih juga merupakan masalah
stabilitas, ini karena cipratan ludah pinang dimana-mana. Di kampus, sekolah,
mobil, tanah, toilet, bandara, pasar, rumah sakit, supermarket dan kantor
pemerintah. Pertemuan sepenting apapun tak bisa menahan orang untuk keluar
ruangan guna mengunyah pinang. Sebagian kantor menempelkan kertas ‘jangan
meludah pinang di sini.’ Tembok itupun berwarna merah terciprat ludah pinang.
Meregulasi buangan ludah seperti memantik api di zona nyaman warga Papua. Bila
nenek moyang mereka bisa meludah kapan dan dimana saja, karena ini adalah tanah
ulayat mereka, mengapa kini harus dilarang? Mungkin perlu duduk bersama,
dengan pinang dan sirih untuk membahas bagaimana tata cara meludah pinang.
Dampak
pendidikan
Orang-orang Papua berpendidikan, berbaur, berpikiran
terbuka yang saya temui, pada umumnya adalah sosok sopan, humoris dan
meludahkan sirih di tempat-tempat tertentu. ‘Zaman berubah,’ kata Eddie,
pejabat di badan perencanaan pembangunan daerah (Bappeda) Nabire.
‘Kami sudah melihat bahwa pendidikan tak hanya membawa
anak-anak respek pada diri, orang lain dan lingkungan, tapi sekaligus menaikkan
nilai budaya dan pertahanan orang itu sendiri. Pendidikan membuka mata untuk
melihat ke dalam dan di sekelilingnya,’ kata Martinus Amberi, kepala kampung
Akudiomi.
Yunus Aboni berpendapat sama. Ia terlibat dalam
perencanaan desa karena bisa membaca dan menulis. Di tahun 1990, ia memulai
tugas di Koramil, lalu menjadi Babinsa Kampung Yaur. Selama 39 tahun ia
membangun kecamatan, polsek, puskesmas di Sima. Cerita hidupnya memperlihatkan
bahwa sukses tak datang begitu saja. ‘Ada keinginan dari dalam, dorongan orang
sekitar dan kesempatan,’ ujarnya. Sejak itu, ia menyemangati anak-anak muda
Yaur bersekolah. ‘Tapi entah mengapa banyak anak-anak bersikap masa bodoh saat
ini,’ ujarnya. Sepanjang tahun 2000-2006 baru tiga sarjana yang
ditetaskan desa ini. ‘Kami ingin mereka pulang membangun desa.’
Tapi ada hal tertentu yang menakutkan. ‘Karena mereka tak
tersentuh pendidikan dan pekerjaan layak yang membuatnya menghargai dirinya dan
orang lain,’ kata Fitryanti Pakding, dosen Universitas Negeri Papua (Unipa).
‘Ada istilah, bila membeli tanah dari warga sini, plus
pohon buahnya, lalu suatu ketika salah seorang kerabat mereka datang dan
memanjati buah dari pohon tanpa izin dari pemilik tanah yang baru, lalu si
pemanjat jatuh, maka pemilik tanah kena denda,’ ujarnya. Atau misalnya, membeli
tanah dan kemudian separoh keluarga dari marga yang sama menyatakan memiliki hak
atas tanah tersebut, maka pembeli baru berkewajiban terus memberikan uang.
‘Entah solusinya apa,’ tambahnya. Tak mudah berinvestasi bila berurusan
dengan tanah ulayat.
Suatu malam dalam perjalanan pulang, motor Fitry di cegat
dua pria mabuk. Pria itu meminta uang dan mengancam memukul. ‘Saya berteriak
kencang-kencang tapi tak ada yang menolong.’ Ia melihat jendela tersibak dan
mata-mata mengintip. ‘Mereka mengira saya istri yang dipukuli suaminya.’ Jamak
melihat pria (bapak, suami, saudara) memukuli perempuan (anak, istri, saudara).
Jangan melerai, bila itu dilakukan si penolong berpeluang jadi korban pemukulan
berikutnya.
‘Bila terjadi kecelakaan juga begitu, berpikir dua kali
sebelum menolong. Kita bisa saja dituduh sebagai penabrak dan dipukuli ramai-ramai,’
lanjutnya.
Terhadap peristiwa pencegatan orang mabuk itu, Fitry
mengingat ia berteriak menangis.
‘Tuhan Yesus..tolong..tolong kasihani saya.. jangan
pukul.’
Salah satu pria mabuk itu tertegun saat mendengar nama
Yesus. Ia lalu bersungut-sungut melepaskan Fitry. ‘Saya tancap gas dengan
gemetar, sejak itu tak mau lagi keluar malam di jalan-jalan sepi.’
Kapasitas
pemerintah
Pada tahun 2005 tim Unipa dan United Nation Development Program (sebuah lembaga di bawah
Perserikatan Bangsa-Bangsa) melakukan penilaian terhadap kapasitas pemerintah
daerah Kabupaten Manokwari (yang menaungi Nabire dan Wondama). Hasil
kajian menunjukkan bahwa pemerintah memiliki tekad kuat untuk meningkatkan
kapasitas dan mutu pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Ada upaya keras
untuk ini. Sayangnya, upaya tersebut tak diiringi monitoring dan evaluasi yang
selanjutnya digunakan untuk memperbaiki situasi pendidikan dan kualitas manusia
Papua.
Pada umumnya, keberhasilan peningkatan kapasitas dan mutu
pendidikan diukur dari bangunan fisik sekolah. Sebuah sekolah berlantai licin,
mengkilat dianggap berhasil. Meskipun faktanya, sekolah itu dibangun tanpa
perhitungan matang di desa bersuhu dingin dan anak sekolah yang tak memakai
sepatu. ‘Murid menggigil lalu memilih belajar di luar kelas,’ kata Nico
P, kontributor stasiun televisi SCTV di Manokwari.
‘Tanda jempol untuk fisik bangunannya,’ kata Sri Wahyuni, koordinator
Pendidikan Lingkungan Hidup yang berkeliling dengan kapal pendidikan ke
desa-desa tersebut. ‘Dilengkapi taman baca tanpa buku, gedung tanpa keaktifan
guru.’
Guru-guru memiliki persoalan tersendiri tinggal di desa
terpencil Papua, meski mereka warga asli desa tersebut. Sejumlah guru tak tahan
dengan urusan administrasi yang harus dilakukan di Nabire atau
Wondama–mengambil gaji misalnya, atau urusan sertifikasi—menyebabkan mereka
kehilangan separuh gaji untuk membayar sewa kapal. Dinas Pendidikan tak peka
untuk mengefisienkan dan mengefektifkan urusan administrasi.
Pertemuan-pertemuan guru juga tak dirancang berdasarkan jadwal libur sekolah,
sehingga menyebabkan kekosongan kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Urusan
politik tak kalah ribetnya. Domain politik Papua merembet ke pembagian strata
orang gunung dan orang pesisir. Bila pemimpin
orang gunung, maka kabinetnya berasal dari keturunan orang gunung, begitu pula
sebaliknya. Saya bertemu kepala dinas tamatan SMA, turunan pesisir yang
memimpin instansi penting. Stafnya kebanyakan memiliki golongan lebih tinggi.
Penempatannya bagian eksklusif dari otonomi khusus. Kini, siapa memimpin siapa?
‘Semoga Tuhan Yesus memberkati Papua,’ ujar Fitry. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar