Senin, 09 September 2013

Negara dan Politik Mata Uang

Negara dan Politik Mata Uang
Fachry Ali ;   Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha Indonesia
KOMPAS, 09 September 2013


Walau bukan penggemar musik Barat, berita Kompas (26/8/2013) tentang konser kelompok Metallica saya baca juga. Menggunakan perspektif mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, sajian musik Barat itu termasuk konsumsi kelas menengah.
Kepada The Jakarta Post (26 Agustus), ia menyatakan, pertumbuhan pesat kelas ini selama 10 tahun terakhir. ”Sekarang,” ujarnya, ”konsumsi kelas menengah telah menjadi tekanan nyata atas neraca pembayaran kita ketika lebih banyak impor harus diadakan karena peningkatan kebutuhan.”
Meski absurd, hubungan Metallica dan neraca pembayaran menggambarkan jalinan kinerja ekonomi. Dalam buku terbarunya, The Great Degeneration: How Institutions Decay and Economies Die (2013), Niall Ferguson mengutip ekonom heterodoks W Brian Arthur bahwa kompleksitas ekonomi ditandai interaksi beragam agen, kontrol tidak memusat, organisasi bertingkat-tingkat, penyesuaian yang berlangsung secara terus-menerus, penciptaan ceruk pasar tanpa henti, dan absennya keseimbangan.
Metallica bukan agen ekonomi. Namun, konsernya adalah konsumsi impor kelas menengah yang dibayar dengan mata uang asing. Karena rupiah terdepresiasi,  event ini menekan neraca pembayaran. Dalam teori ekonomi, transaksi ini bersifat non-tradable karena tiket konser itu dibayar dengan rupiah. Aktivitas ini tidak saja tak menambah devisa, penyelenggara harus menumpuk rupiah lebih tebal untuk membayar kelompok musik tersebut.
Metallica hanyalah sekomponen gabungan barang dan jasa impor lainnya. Secara kumulatif, aktivitas ini melahirkan imported inflation. Berbeda dengan ”inflasi inti” (core inflation) dan inflasi musiman (seasonal inflation), yang pertama ditandai dengan kenaikan harga barang dan jasa akibat merosotnya nilai rupiah. Jadi, di samping ”kompleksitas kinerja ekonomi” versi ekonom heterodoks W Brian Arthur di atas, struktur kejadian semacam ini disebut Saral Sarkar sebagai the inner laws of capitalism.
Pasang surut nilai mata uang mendorong posisi dilematis negara. Ketika secara struktural transnasionalisasi transaksi barang dan jasa tak terelakkan, dinamika mata uang berpotensi ”subversif”. Dalam The Geography of Money, Benyamin Cohen melihat gejala ini sebagai displacement of conception (perubahan kesadaran) aktor-aktor domestik terhadap batas negara-bangsa. Kata dia, ”Semakin kerap menggunakan mata uang asing sebagai pengganti mata uang nasional, kian berkurang anak negeri terikat dengan negara atau bagian kesatuan sosial yang sama.” Dalam logika pasar, migrasi kesadaran ini kian akut memengaruhi anak negeri ketika rupiah mengalami depresiasi. Di sini, ”kaki kedaulatan politik” negara tergerogoti oleh ketidakseimbangan nilai tukar mata uang domestik dan asing.
Kekuatan tersembunyi
Dalam konteks kontestasi kekuasaan, depresiasi mata uang domestik adalah kekuatan politik tersembunyi yang secara ”menyakitkan” pernah memukul kekuasaan rezim Orde Baru (1967-98). Melalui displacement of conception  Cohen, kelas konglomerat kapitalis memiliki preferensi mata uang asing (dengan membeli [kerap dengan menggunakan bantuan likuidasi Bank Indonesia], menyimpan, atau menanamkan modal di luar negeri) daripada penyelamatan rezim yang justru telah mereproduksikannya.
Kelangkaan mata uang asing akibat pelarian modal aktor-aktor luar telah diperparah oleh ”kecintaan” kelas kapitalis domestik terhadap alat tukar yang sama. Kombinasi inflasi (inti, musiman, dan impor) yang diakibatkannya inilah faktor keruntuhan kekuasaan rezim, yang senantiasa bangga dengan hasil pembangunan ekonomi—ini.
Walau sedikit berkaitan dengan ekonomi domestik (terutama dalam kaitan dengan defisit transaksi berjalan yang mencapai 9,8 miliar dollar AS), ”pusat gempa” depresiasi rupiah kali ini terletak di Washington, ketika Federal Reserve (bank sentral AS) berencana pada September ini mengendurkan kebijakan  quantitative easing (penambahan jumlah uang di tengah masyarakat). Dengan nada datar, International Herald Tribune (26 Agustus) memberikan catatan bahwa kondisi finansial kian mengetat sejak The Fed, Juli lalu, mengadakan rapat, yang mendongkrak nilai hipotek (mortgage) lebih tinggi dengan naiknya keuntungan obligasi.
Respons dunia justru bergelombang. Kekhawatiran kelangkaan likuiditas dollar AS—sebelumnya mendongkrak nilai mata uang domestik, menghidupkan pasar-pasar modal wilayah perekonomian sedang berkembang (emerging markets)—telah merontokkan kepercayaan investor saham dan melemahkan nilai mata uang domestik, termasuk Indonesia.
Namun, komposisi kekuatan politik-ekonomi Indonesia tidak lagi sama dengan masa Orde Baru. Kelas kapitalis memang berbeda paham dengan negara atas posisi pendapatan kelas buruh.
Demi kelanjutan pembelanjaan domestik yang mendorong pertumbuhan ekonomi, negara berkepentingan menyokong ”kesejahteraan” kelas buruh atas ”kerugian” kaum kapitalis. Namun, pada saat yang sama, kelas kapitalis—sebagian besar berbasis pendapatan rupiah—berbagi kepentingan dengan negara atas nasib ekonomi makro. Dalam arti, depresiasi rupiah yang menciptakan imported inflation berpotensi mengancam kepentingan keduanya. Itulah sebabnya, sebagaimana diberitakan sejumlah media massa, para pengusaha mendukung paket kebijakan ekonomi pemerintah yang dilancarkan baru-baru ini.

Jadi, depresiasi rupiah kali ini bukan ancaman politik serius bagi negara. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar