|
Walau bukan penggemar musik Barat, berita
Kompas (26/8/2013) tentang konser kelompok Metallica saya baca juga.
Menggunakan perspektif mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, sajian
musik Barat itu termasuk konsumsi kelas menengah.
Kepada The Jakarta Post (26 Agustus), ia
menyatakan, pertumbuhan pesat kelas ini selama 10 tahun terakhir. ”Sekarang,”
ujarnya, ”konsumsi kelas menengah telah menjadi tekanan nyata atas neraca
pembayaran kita ketika lebih banyak impor harus diadakan karena peningkatan
kebutuhan.”
Meski absurd,
hubungan Metallica dan neraca pembayaran menggambarkan jalinan kinerja ekonomi.
Dalam buku terbarunya, The Great
Degeneration: How Institutions Decay and Economies Die (2013), Niall
Ferguson mengutip ekonom heterodoks W Brian Arthur bahwa kompleksitas ekonomi
ditandai interaksi beragam agen, kontrol tidak memusat, organisasi
bertingkat-tingkat, penyesuaian yang berlangsung secara terus-menerus,
penciptaan ceruk pasar tanpa henti, dan absennya keseimbangan.
Metallica bukan
agen ekonomi. Namun, konsernya adalah konsumsi impor kelas menengah yang
dibayar dengan mata uang asing. Karena rupiah terdepresiasi, event ini
menekan neraca pembayaran. Dalam teori ekonomi, transaksi ini
bersifat non-tradable karena tiket konser itu dibayar dengan rupiah.
Aktivitas ini tidak saja tak menambah devisa, penyelenggara harus menumpuk
rupiah lebih tebal untuk membayar kelompok musik tersebut.
Metallica
hanyalah sekomponen gabungan barang dan jasa impor lainnya. Secara kumulatif,
aktivitas ini melahirkan imported
inflation. Berbeda dengan ”inflasi inti” (core inflation) dan inflasi musiman (seasonal inflation), yang pertama ditandai dengan kenaikan harga
barang dan jasa akibat merosotnya nilai rupiah. Jadi, di samping ”kompleksitas
kinerja ekonomi” versi ekonom heterodoks W Brian Arthur di atas, struktur
kejadian semacam ini disebut Saral Sarkar sebagai the inner laws of capitalism.
Pasang surut
nilai mata uang mendorong posisi dilematis negara. Ketika secara struktural
transnasionalisasi transaksi barang dan jasa tak terelakkan, dinamika mata uang
berpotensi ”subversif”. Dalam The
Geography of Money, Benyamin Cohen melihat gejala ini sebagai displacement of conception (perubahan
kesadaran) aktor-aktor domestik terhadap batas negara-bangsa. Kata dia,
”Semakin kerap menggunakan mata uang asing sebagai pengganti mata uang
nasional, kian berkurang anak negeri terikat dengan negara atau bagian kesatuan
sosial yang sama.” Dalam logika pasar, migrasi kesadaran ini kian akut
memengaruhi anak negeri ketika rupiah mengalami depresiasi. Di sini, ”kaki kedaulatan
politik” negara tergerogoti oleh ketidakseimbangan nilai tukar mata uang
domestik dan asing.
Kekuatan tersembunyi
Dalam konteks
kontestasi kekuasaan, depresiasi mata uang domestik adalah kekuatan politik
tersembunyi yang secara ”menyakitkan” pernah memukul kekuasaan rezim Orde Baru
(1967-98). Melalui displacement of
conception Cohen, kelas konglomerat kapitalis memiliki preferensi
mata uang asing (dengan membeli [kerap dengan menggunakan bantuan likuidasi
Bank Indonesia], menyimpan, atau menanamkan modal di luar negeri) daripada
penyelamatan rezim yang justru telah mereproduksikannya.
Kelangkaan mata
uang asing akibat pelarian modal aktor-aktor luar telah diperparah oleh
”kecintaan” kelas kapitalis domestik terhadap alat tukar yang sama. Kombinasi
inflasi (inti, musiman, dan impor) yang diakibatkannya inilah faktor keruntuhan
kekuasaan rezim, yang senantiasa bangga dengan hasil pembangunan ekonomi—ini.
Walau sedikit
berkaitan dengan ekonomi domestik (terutama dalam kaitan dengan defisit transaksi
berjalan yang mencapai 9,8 miliar dollar AS), ”pusat gempa” depresiasi rupiah
kali ini terletak di Washington, ketika Federal Reserve (bank sentral AS)
berencana pada September ini mengendurkan kebijakan quantitative easing (penambahan jumlah uang di tengah masyarakat).
Dengan nada datar, International
Herald Tribune (26 Agustus) memberikan catatan bahwa kondisi finansial
kian mengetat sejak The Fed, Juli lalu, mengadakan rapat, yang mendongkrak
nilai hipotek (mortgage) lebih tinggi dengan naiknya keuntungan obligasi.
Respons dunia
justru bergelombang. Kekhawatiran kelangkaan likuiditas dollar AS—sebelumnya
mendongkrak nilai mata uang domestik, menghidupkan pasar-pasar modal wilayah
perekonomian sedang berkembang (emerging
markets)—telah merontokkan kepercayaan investor saham dan melemahkan nilai
mata uang domestik, termasuk Indonesia.
Namun,
komposisi kekuatan politik-ekonomi Indonesia tidak lagi sama dengan masa Orde
Baru. Kelas kapitalis memang berbeda paham dengan negara atas posisi pendapatan
kelas buruh.
Demi kelanjutan
pembelanjaan domestik yang mendorong pertumbuhan ekonomi, negara berkepentingan
menyokong ”kesejahteraan” kelas buruh atas ”kerugian” kaum kapitalis. Namun,
pada saat yang sama, kelas kapitalis—sebagian besar berbasis pendapatan rupiah—berbagi
kepentingan dengan negara atas nasib ekonomi makro. Dalam arti, depresiasi
rupiah yang menciptakan imported inflation berpotensi mengancam
kepentingan keduanya. Itulah sebabnya, sebagaimana diberitakan sejumlah media
massa, para pengusaha mendukung paket kebijakan ekonomi pemerintah yang
dilancarkan baru-baru ini.
Jadi,
depresiasi rupiah kali ini bukan ancaman politik serius bagi negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar