Jumat, 13 September 2013

Demokrasi dan Politik Islam

Demokrasi dan Politik Islam
Vedi R Hadiz  ;   Guru Besar pada Asia Research Centre,
Murdoch University, Australia
KOMPAS, 13 September 2013


Kinerja partai politik Islam di Indonesia sejak demokratisasi tahun 1998 masih mengecewakan bagi para pendukungnya. Bahkan, perbaikan pada Pemilu 2014 yang akan datang sulit untuk diharapkan. Kemungkinan besar partai politik Islam tidak bisa memajukan calon presiden dari kalangan mereka sendiri yang berpeluang untuk bisa menang.
Namun, pengalaman parpol Islam di Indonesia tidak mencerminkan pengalaman di tingkat global. Walaupun dunia Barat cenderung mengidentikkan gerakan politik Islam dengan tindak kekerasan, dalam kenyataannya beberapa di antaranya telah melahirkan parpol yang sukses bertarung di ajang demokrasi. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa politik Islam tidak harus bernuansa antidemokratis. Walaupun demikian, mempertahankan diri dalam sistem demokratis, dengan cara-cara demokratis, ternyata menjadi masalah baru tersendiri.
Sulit disamai
Ada baiknya pengalaman beberapa parpol Islam di luar negeri disimak meski prestasi yang dicapai di Turki, misalnya, oleh AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan) masih sulit disamai parpol Islam di Indonesia.
Fakta yang menonjol adalah AKP, Ennahda di Tunisia, dan FJP (Partai Keadilan dan Kebebasan) di Mesir, semua lahir dari gerakan politik Islam yang pernah mengalami represi oleh rezim-rezim otoriter. Mereka kemudian mengembangkan kepentingan untuk berjuang secara demokratis (walau bukan tanpa kritik) guna melindungi diri dari kekuatan otoriterisme lama.
Belakangan ini FJP Mesir, yang diluncurkan gerakan Ikhwanul Muslimin, ternyata tidak mampu bertahan di tengah kemerosotan ekonomi dan persaingan politik keras dengan lawan-lawan mereka, yang akhirnya melibatkan intervensi militer.
Di Indonesia pun, gerakan politik Islam sempat menjadi korban represi negara yang menahun. Namun, berbeda dengan pengalaman Turki, dan sampai derajat tertentu Mesir dan Tunisia, politik Islam di Indonesia cenderung berkutat pada lingkungan sendiri dan kurang berhasil memperluas basis sosialnya.
Adalah AKP yang paling mampu melebarkan sayapnya dengan mengembangkan basis di luar komunitas sempit yang secara tradisional mendukung gerakan politik Islam di Turki. Dibantu kebangkitan kelas pengusaha di luar Istanbul yang menjadi besar karena kebijakan ekspor yang membidik pasar Eropa dan Timur Tengah serta kelas menengah baru terdidik (dan lebih religius) hasil proses urbanisasi, AKP pun membangun dukungan di kalangan kaum miskin kota yang semakin membengkak.
Akan tetapi, keberhasilan ini ada ongkosnya: walau pimpinan AKP sering bicara soal moralitas, mereka menerima bahwa keadaan mengharuskan dilepasnya tujuan mendirikan negara Islam dan lebih sibuk dengan urusan pembangunan ekonomi. Bahkan, AKP sekarang lebih senang disebut partai ”konservatif” daripada partai Islam.
Dalam hal tertentu, strategi AKP sebetulnya meniru model lama yang diterapkan Ikhwanul Muslimin yang menarik dukungan kaum miskin lewat kegiatan karitatif. Apalagi liberalisasi ekonomi telah melebarkan jurang kaya-miskin di sana. Dalam membiayai kegiatan tersebut, AKP pun sempat terbantu oleh gerakan keagamaan Fethullah Gulen, yang sangat disiplin dan hierarkis, serta didukung banyak pengusaha besar ataupun diaspora Turki di luar negeri.
Terjebak politik uang
Bagaimana di Indonesia? Seperti AKP—juga FJP dan Ennahda—partai Islam di Indonesia sebenarnya berangsur mengurangi retorika tentang pendirian negara Islam. Bahkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sudah menyatakan diri sebagai ”partai terbuka”. Namun, skandal korupsi telah menerkamnya dan mengurangi daya tarik partai ini sebagai partai ”berintegritas”—sesuatu yang masih bisa diklaim pada derajat tertentu oleh AKP. Bahkan seperti parpol lain, beberapa parpol Islam di Indonesia sibuk dengan politik uang dan patronase sehingga perbedaan dengan parpol lain menjadi tidak jelas.
Apalagi, dibandingkan dengan AKP dan FJP (sebelum digulingkan), parpol Islam di Indonesia kurang mengalami transformasi internal. Kelompok bisnis besar di Indonesia didominasi golongan di luar mereka, beda dengan di Turki, bahkan di Mesir, dengan banyak pengusaha besar tumbuh dalam lingkungan organisasi Ikhwanul Muslimin. Banyak di antaranya yang bergerak dalam partai. Sambil mencari peluang ekonomi, mereka pun mendukung kegiatan sosial yang ditujukan terhadap rakyat miskin.
Di Indonesia, kegiatan karitatif, seperti yang dilaksanakan Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah, ternyata kurang berbobot untuk diterjemahkan menjadi basis dukungan terhadap partai Islam. Upaya partai seperti PKS untuk menarik dukungan kaum buruh cuma setengah-setengah. Jadilah partai Islam sebagai wadah para aktivis kelas menengah yang religius.
Memang belakangan ini AKP di Turki dikritik karena memakai kekerasan terhadap para pendemo di Gezi Park pada pertengahan tahun 2013. Belum lagi partai itu disinyalir berusaha menguasai media massa. Namun, AKP berhasil melindungi dirinya terhadap musuh bebuyutannya—institusi militer—lewat legitimasi demokratis yang dimiliki. Hal ini memang gagal dilakukan FJP-Ikhwanul Muslimin di Mesir, yang terlalu bernafsu meminggirkan lawan-lawannya sehingga mengalami nasib naas.
Sementara itu, parpol Islam di Indonesia masih sibuk dengan politik uang dan patronase sampai mengalami stagnasi. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar