Rabu, 18 September 2013

Kejahatan atas Kemanusiaan di Suriah

Kejahatan atas Kemanusiaan di Suriah
Mimin Dwi Hartono  ;    Penyelidik di Komnas HAM
MEDIA INDONESIA, 18 September 2013


ATAS dugaan bahwa pemerintah Suriah di bawah rezim Bashar al-Assad mempergunakan senjata kimia dalam membasmi gerakan oposisi, pemerintah Amerika Serikat berencana untuk melancarkan serangan militer ke Suriah. Sebanyak kurang lebih 1.470 orang meninggal akibat serangan tersebut, termasuk punahnya ekosistem setempat. Korban tersebut menambah daftar panjang ratusan ribu orang yang telah kehilangan nyawa akibat perang saudara yang telah berlangsung selama beberapa tahun.

Penyelidik dan peneliti dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah merampungkan investigasinya dan diharapkan akan keluar hasilnya pekan ini. Jika terjadi serangan terhadap pemerintahan Suriah tanpa ada legitimasi dari PBB, dikhawatirkan akan berkembang menjadi perang regional. Untuk itu, Dewan Keamanan PBB harus segera mengeluarkan resolusi untuk melegitimasi tanggung jawab internasional untuk melindungi rakyat Suriah (responsibility to protect).

Selain korban tewas, jutaan warga Suriah menjadi pengungsi yang menyebar di beberapa negara sekitarnya. Selain korban nyawa dan luka-luka, perang saudara di Suriah telah menghancurkan simbol-simbol pembangunan menjadi puingpuing, termasuk di antaranya bangunan bersejarah yang berusia ribuan tahun. Patut diduga kuat telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat, yaitu kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).
Untuk itu, PBB harus menegakkan prinsip ‘Tanggung Jawab untuk Melindungi’.

Prinsip ini menegaskan bahwa komunitas internasional. di antaranya PBB, bertanggung jawab untuk menghentikan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) jika pemerintah setempat tidak mampu (unable) dan/ atau tidak mau (unwilling) melindungi rakyatnya sendiri. Alasan untuk melakukan intervensi semakin kuat jika pemerintah menjadi pelaku atau terlibat dalam kejahatan itu (crime complicity).

Prinsip dasar ‘Tanggung Jawab untuk Melindungi’ menegaskan bahwa pemerintah setempat adalah penanggung jawab utama untuk melindungi masyarakat dari tindak kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti genosida dan kejahatan perang. Pemerintah Suriah adalah pihak yang terlibat dalam peperangan dan diduga menjadi pelaku pelanggaran HAM yang berat terhadap rakyatnya sendiri. PBB melalui mekanisme di Dewan Keamanan atau penyidik dari Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court) harus segera bertindak.

Prinsip ‘Tanggung Jawab untuk Melindungi’ dilandasi oleh semangat untuk menciptakan perdamaian dunia dan menegakkan HAM. Prinsip kedaulatan negara dan nonintervensi yang masih menjadi alasan enggan dan ragu-ragunya komunitas internasional untuk bertindak sebenarnya bersifat limitatif atau tidak mutlak. Namun, dengan dibatasi oleh prinsip HAM yang bersifat universal, nondiskriminatif, dan melekat pada setiap insane manusia. Hak asasi manusia harus berdiri di atas segala bangsa, dan berdasarkan nilainilai kemanusiaan yang melintasi batas nasional, politik, dan kewarganegaraan. PBB berwenang dan bertanggung jawab untuk campur tangan menghentikan peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan dan membawa pelakunya ke pengadilan.

Lahirnya konsep ‘Tanggung Jawab untuk Melindungi’ dilatarbelakangi oleh peristiwa pembersihan etnis atau genosida di Rwanda yang terjadi pada tahun 1994 yang memakan korban satu juta orang etnis Tutsi. PBB gagal menghentikan genosida di Rwanda karena tidak memiliki kemauan politik dengan alasan untuk menghormati kedaulatan suatu negara, menganggap sebagai urusan domestik, dan ‘berskala kecil’. PBB, pada saat itu, yang hanya berwenang untuk menjaga perdamaian, tak berdaya karena tidak dilengkapi dengan personel, anggaran, dan peralatan yang cukup.

Padahal indikasi akan terjadinya genosida sudah diketahui beberapa bulan sebelumnya. Pemerintah Amerika Serikat yang sudah mengetahui sejak awal adanya indikasi akan terjadinya genosida tidak melakukan tindakan yang memadai karena Rwanda diduga dianggap sebagai negara yang tidak strategis. Beberapa bulan kemudian, Presiden Bill Clinton meminta maaf kepada rakyat Rwanda.

Di Suriah, PBB seakan tak berdaya menyaksikan pembantaian manusia yang terjadi setiap hari karena terhalang oleh sikap pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB, yaitu Rusia, yang masih melindungi Suriah sebagai sekutu setia nya. Rusia selalu menolak setiap resolusi Dewan Keamanan PBB untuk melakukan intervensi militer. Hal ini dikritik oleh banyak pihak karena ‘jalan buntu’ di dalam mekanisme DK PBB mengorbankan ratusan orang setiap harinya. Khususnya warga sipil yang tidak terlibat dalam perang (non-combatant) dan anak-anak yang tidak berdosa.

Hambatan utama dalam menerapkan prinsip ‘Tanggung Jawab untuk Melindungi’ adalah mekanisme pengambilan keputusan di Dewan Keamanan PBB yang hanya didominasi oleh pemegang hak veto yang rentan terhadap motif-motif politik dan kepentingan ekonomi. Mekanisme yang tidak demokratis ini menyebabkan PBB selalu gagal dan terlambat dalam melaksanakan misinya menyelamatkan perdamaian dunia.

Oleh karena itu, harus ada reformasi di tubuh DK PBB sehingga menjadi lebih demokratis, tidak hanya dikontrol oleh lima negara pemegang hak veto. Reformasi PBB sebenarnya telah diupayakan sejak 2005, termasuk untuk menghapus hak veto karena telah membuat PBB sebagai organisasi yang tidak demokratis dan tumpul. Namun, sampai sekarang hal itu belum berhasil.

Palang Merah Internasional telah menyatakan bahwa hukum humaniter internasional telah berlaku di 
Suriah sehingga tiap-tiap pihak, baik pasukan pemerintah maupun oposisi harus mematuhi hukum kemanusiaan (humanitarian law) sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa. Pihak yang bertikai dilarang menyerang warga sipil, menarget fasilitas umum, atau mempergunakan senjata pemusnah massal.

Kejahatan terhadap kemanusiaan di Suriah menuntut PBB untuk konsisten dalam menciptakan perdamaian di seluruh dunia. Jika PBB terus membisu tanpa tindakan yang berarti, PBB bisa dianggap sebagai pihak yang melakukan pembiaran (by omission) dalam tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang diduga dilakukan oleh pemerintahan Bashar al-Assad ataupun pasukan oposisi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar