Kamis, 12 September 2013

Orang-Orang Jujur

Orang-Orang Jujur
Mohamad Sobary  ;    Budayawan
SINAR HARAPAN, 11 September 2013


“Pemimpin kita hanya membuat kesan tapi tak pernah mencetak kenyataan.”

Dalam sejarah Islam ada satu babak yang disebut Periode Madinah. Rasul yang membawa risalah kebenaran “langit”, kebenaran ilahiah, yang mutlak dan tak terbantah, dimusuhi kekuatan-kekuatan mapan—terutama penduduk Mekah yang tak ingin tradisi lamanya digoyang-goyang, tetapi padahal sudah goyah, dan tak mungkin lagi dipertahankan.

Memerangi Rasulullah artinya memerangi kebenaran yang tak terbantah tadi, dianggap satu-satunya jalan mempertahankan tradisi mereka.

Dalam kisah, ada dua musafir yang kedapatan oleh Abu Sofyan, tokoh paling gigih dalam usaha mempertahankan kekafiran yang sudah mapan dalam tradisi tadi. Keduanya ditangkap dan diinterogasi.

“Mau ke mana kalian?”

Keduanya ragu-ragu.

“Kalau kalian berniat membantu Muhammad, kalian kutangkap dan kubunuh. Tapi kalau sekadar lewat, dan tak ada hubungannya dengan Muhammad, kalian bebas. Tapi, awas, jangan bohong. Kalau kalian kedapatan bohong, kalian juga kubunuh.”

“Tidak. Kami hanya mau ke Madinah.”

“Apa urusan kalian? Membantu orang yang mengaku dirinya nabi itu?”

“Tidak. Kami tidak ikut-ikut urusan perang. Tapi kami ingin ke Madinah.”

Mereka dibebaskan. Ketika tiba di Madinah, keduanya memang menemui Rasulullah saw untuk bergabung dalam pasukan beliau. Keduanya menceritakan apa yang terjadi dalam perjalanan dan apa janji yang diucapkan kepada Abu Sofyan.

Nabi tidak suka mendengar cerita itu. Keduanya disuruh tetap di Madinah, seperti yang dikatakan sebelumnya, dan tidak boleh bergabung dengan tentara Rasulullah.

“Penuhi janjimu. Tunjukkan pada mereka bahwa kalian orang-orang jujur. Aku suka kalian ingin membantuku tapi aku tidak suka kalian berbohong.”

Kedua pemuda itu terpana. Bagi mereka ini hanya sebuah kebohongan kecil, bohong sebagai cara dan bukan tujuan. Bagaimana bisa membantu Rasulullah kalau tidak bohong? Mereka tidak mengerti.
Rasulullah  memanggul kebenaran “langit”, kebenaran suci, yang tak bisa dinodai. Sedikit noda bisa membahayakan. Di sini tak ada tawar-menawar.

Bohong

Di sekitar kita banyak rohaniwan. Mereka diketahui publik, atau umat yang mereka pimpin, sebagai orang-orang yang berjuang di jalan rohani. Mereka membela urusan-urusan rohani. Mereka hidup dengan panduan rohani, mengutamakan rohani, menjunjung tinggi rohani.

Di negeri ini ada banyak agama. Berarti ada banyak panduan rohani yang berbeda. Mengapa panduan yang berbeda warnanya, berbeda motif, dan coraknya, tetap menghasilkan hal yang sama? Mengapa di sekitar kita, orang yang hidup di bawah panduan rohani, dan para pengikut mereka yang juga nampak mengutamakan rohani, tapi dalam hidup sehari-hari yang mereka utamakan bukan rohani melainkan benda-benda duniawi?

Orang baik-baik, berpakaian baik, berkedudukan baik, dan berkata baik, ternyata hanya kelihatannya baik. Rohaniwan, yang hidup dalam kebenaran rohaniah, berkhotbah mengenai urusan-urusan rohani, siap ke sana ke mari menyebarkan rohani, tapi hidup mereka tak dipandu rohani.

Mereka juga mengutamakan kemewahan, dan demi kemewahan itu mereka siap memperjual-belikan apa yang berbau rohani. Mereka yang menjaga kantornya, memelihara asetnya, tetapi mereka juga mencuri aset-aset itu. Mereka juga mempertaruhkan rohani untuk kepentingan jasmani dan berbohong.

Para lawyer yang bersumpah menegakkan kebenaran walaupun langit runtuh menimpa jidat mereka, jarang betul yang hidupnya dipandu hukum dan keadilan. Mereka memahami hukum tapi mereka yang merusak hukum, ditukar dengan rumah mewah, mobil mahal, atau duit yang jumlahnya tak terhitung.

Hakim, orang yang “benar”, yang gigih membela semua yang “hak” dan yang adil, merusak keadilan di lembaga bernama pengadilan. Jaksa yang menuntut orang demi keadilan, tidak lagi bicara keadilan. Jaksa bicara tentang duit dan duit, dalam penyimpangan demi penyimpangan yang merusak hukum, keadilan, dan masyarakat.

Politikus yang bicara lembut, berpakaian bersih, dan penuh lambang-lambang agama, peci, dan jubah, hidupnya tak berurusan dengan semua lambang itu. Lambang hanya lambang. Apakah sikap sopan, halus, lembut mengesankan sikap jujur?

Itu hanya kesan. Pemimpin kita hanya membuat kesan tapi tak pernah mencetak kenyataan. Kesan dianggap penting. Tapi di balik kesan, semua hanya kepalsuan.

Kita marah karena polusi udara. Polusi air telah mengancam kehidupan kita. Tapi para penggede yang mengatur kebijakan perdagangan, membuka seluas mungkin investasi asing yang jelas membuat hancur lingkungan.

Gunung kita dihancurkan. Laut kita dihancurkan. Sungai, telaga, pepohonan, semua dihancurkan. Ini hasil sebuah kebijakan yang dibuat para pemimpin yang menguasai dunia hukum, perdagangan, pengamanan hak-hak rakyat, tapi hak itu tak diamankan.

Kita mencari orang-orang jujur, tapi hampir tak ada lagi stok yang tersisa. Di mana mereka sekarang? Hanya dalam sejarah agama? Dalam kisah-kisah orang istimewa, yang kini tinggal nama?


Media mungkin tahu jawabnya. Media mengungkap semua keculasan, hingga kita merasa tak ada lagi orang jujur di sekitar kita. Tapi media tahu sisanya, orang-orang jujur mereka sembunyikan di balik berita. Mereka ada, tapi tunggu, media akan mengungkapnya. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar