Senin, 09 September 2013

Politik Jalan

Politik Jalan
Asvi Warman Adam ;   Sejarawan LIPI
KORAN TEMPO, 09 September 2013


Setiap jalan punya nama, dan nama itu memiliki makna. Kalau nama jalan itu berupa nama bunga atau pohon, tidak akan dipertengkarkan. Namun, bila menyangkut nama tokoh yang banyak pendukung dan musuhnya, maka akan muncul polemik di tengah masyarakat. Itulah yang terjadi beberapa hari belakangan ketika nama Jalan Medan Merdeka diusulkan menjadi nama jalan Sukarno, Hatta, Soeharto, dan Ali Sadikin. Dari seorang tokoh Islam, Lukman Hakiem, saya dikirimi SMS tentang usulan nama Sjafruddin Prawiranegara dan M. Natsir, bukan kedua nama yang terakhir di atas.
Perubahan nama jalan itu sebetulnya bagian dari rehabilitasi Bung Karno. TAP MPRS/XXXIII/1967 yang konsiderannya menyudutkan Sukarno dicoba diselesaikan dengan pengangkatan Sukarno sebagai pahlawan nasional tahun lalu, meskipun ia sudah dianugerahi pahlawan proklamator pada 1986. Nama pahlawan nasional selama ini dijadikan nama jalan penting di berbagai kota. Ternyata tidak ada nama jalan Sukarno selama pemerintahan Orde Baru.
Sempat terpikir untuk mengganti Jalan Panjang yang menuju tol Kebon Jeruk sebagai jalan Sukarno. Tapi jalan tersebut dinilai terletak di pinggiran, kurang strategis, dan macet lagi. Karena itu muncul wacana, antara lain dari almarhum Taufik Kiemas, untuk mengganti Jalan Medan Merdeka sebagai nama jalan Soekarno dan juga M. Hatta. Kiranya tidak akan ada penolakan publik terhadap kebijakan tersebut.
Pro dan kontra mencuat, ketika selain dari Sukarno dan Hatta, muncul dua nama lain, yakni Soeharto dan Ali Sadikin. Tidak ada yang mempersoalkan Bang Ali, mantan Gubernur DKI yang kesohor itu. Agus Dermawan T. mengusulkan agar Jalan Gunung Sahari yang diganti menjadi jalan Ali Sadikin. Polemik sangat keras terjadi antara pendukung dan penentang Soeharto. Ini tampak di berbagai media, termasuk saluran televisi, ada yang memuji, tetapi ada pula yang mencaci. Solusinya, menurut saya, selama masih terjadi kontroversi, tidak perlu ada nama jalan Soeharto. Juga pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional akan menyulut perdebatan di tengah masyarakat.
Namun polemik yang timbul belakangan ini jangan pula sampai menunda rencana semula dalam rangka merehabilitasi Bung Karno dengan mengabadikan namanya sebagai nama jalan di jantung Ibu Kota. Bisa saja keempat ruas Jalan Medan Merdeka yang tidak terlalu panjang itu menjadi jalan Sukarno (atau dipecah menjadi Sukarno Utara, Sukarno Selatan, Sukarno Barat, dan Sukarno Timur). Dapat pula keempat ruas jalan itu menjadi nama jalan Sukarno (Medan Merdeka Utara-Barat) dan jalan M. Hatta (Medan Merdeka Selatan-Timur).
Pada tahun berikutnya, sebaiknya jalan-jalan yang ada di sekitar Istana, artinya jalan-jalan di pusat pemerintahan, diberikan kepada beberapa tokoh yang sudah diangkat sebagai pahlawan nasional. Nama Sjafruddin Prawiranegara dapat dijadikan pengganti Jalan Budi Kemuliaan, karena pada kedua sisi jalan sudah terdapat dua nama gedung sesuai dengan nama tokoh tersebut, yakni pada Bank Indonesia dan Kementerian Pertahanan.
Di antara Masjid dan Gereja Katedral terdapat nama jalan-jalan yang dapat diganti menjadi jalan yang melambangkan kerukunan agama dan kebhinnekaan, seperti jalan M. Natsir (Islam), I.J. Kasimo (Katolik), Johannes Leimena (Protestan), serta Ketut Puja (Hindu). Jalan Pejambon di depan Kementerian Luar Negeri dapat diubah menjadi Jalan Ahmad Soebardjo, yang merupakan Menteri Luar Negeri RI yang pertama.
Demikian pula Jalan Kalibata dapat diberikan kepada Tan Malaka, yang memang pernah suatu ketika tinggal di daerah itu. Saat ini di kawasan tersebut hanya terdapat Gang Tan Malaka 1 dan Gang Tan Malaka 2, yang prakarsa pembuatan plang papan nama gang itu pun berasal dari seorang Belanda, Harry Poeze.
Saya memperoleh informasi dari A.M. Fatwa bahwa sudah ada usul yang diajukan kepada DPRD DKI untuk mengganti nama Jalan Kramat Raya menjadi jalan M. Natsir, karena di situ terdapat Gedung Dewan Dakwah yang didirikan oleh tokoh Masyumi tersebut. Sebetulnya usul itu terlambat, sudah ada yang mengajukan nama lain sebelumnya. Sebuah tim yang dibentuk oleh Mr. Sunario, mantan Menteri Luar Negeri yang sekaligus penasihat panitia Kongres Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, pada 1970-an pernah mengajukan penggantian nama jalan tersebut menjadi jalan Sumpah Pemuda. Namun tidak ada kelanjutan dari usul itu.

Sejak awal Orde Baru, jalan-jalan strategis di Ibu Kota telah dikuasai para jenderal. Kini tokoh sipil yang namanya baru direhabilitasi sejarah memperebutkan yang tersisa. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar