|
Setiap jalan punya nama, dan nama itu memiliki makna. Kalau
nama jalan itu berupa nama bunga atau pohon, tidak akan dipertengkarkan. Namun,
bila menyangkut nama tokoh yang banyak pendukung dan musuhnya, maka akan muncul
polemik di tengah masyarakat. Itulah yang terjadi beberapa hari belakangan
ketika nama Jalan Medan Merdeka diusulkan menjadi nama jalan Sukarno, Hatta,
Soeharto, dan Ali Sadikin. Dari seorang tokoh Islam, Lukman Hakiem, saya
dikirimi SMS tentang usulan nama Sjafruddin Prawiranegara dan M. Natsir, bukan
kedua nama yang terakhir di atas.
Perubahan nama jalan itu sebetulnya bagian dari
rehabilitasi Bung Karno. TAP MPRS/XXXIII/1967 yang konsiderannya menyudutkan
Sukarno dicoba diselesaikan dengan pengangkatan Sukarno sebagai pahlawan
nasional tahun lalu, meskipun ia sudah dianugerahi pahlawan proklamator pada
1986. Nama pahlawan nasional selama ini dijadikan nama jalan penting di
berbagai kota. Ternyata tidak ada nama jalan Sukarno selama pemerintahan Orde
Baru.
Sempat terpikir untuk mengganti Jalan Panjang yang menuju
tol Kebon Jeruk sebagai jalan Sukarno. Tapi jalan tersebut dinilai terletak di
pinggiran, kurang strategis, dan macet lagi. Karena itu muncul wacana, antara
lain dari almarhum Taufik Kiemas, untuk mengganti Jalan Medan Merdeka sebagai
nama jalan Soekarno dan juga M. Hatta. Kiranya tidak akan ada penolakan publik
terhadap kebijakan tersebut.
Pro dan kontra mencuat, ketika selain dari Sukarno dan
Hatta, muncul dua nama lain, yakni Soeharto dan Ali Sadikin. Tidak ada yang
mempersoalkan Bang Ali, mantan Gubernur DKI yang kesohor itu. Agus Dermawan T. mengusulkan
agar Jalan Gunung Sahari yang diganti menjadi jalan Ali Sadikin. Polemik sangat
keras terjadi antara pendukung dan penentang Soeharto. Ini tampak di berbagai
media, termasuk saluran televisi, ada yang memuji, tetapi ada pula yang
mencaci. Solusinya, menurut saya, selama masih terjadi kontroversi, tidak perlu
ada nama jalan Soeharto. Juga pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional
akan menyulut perdebatan di tengah masyarakat.
Namun polemik yang timbul belakangan ini jangan pula sampai
menunda rencana semula dalam rangka merehabilitasi Bung Karno dengan
mengabadikan namanya sebagai nama jalan di jantung Ibu Kota. Bisa saja keempat
ruas Jalan Medan Merdeka yang tidak terlalu panjang itu menjadi jalan Sukarno
(atau dipecah menjadi Sukarno Utara, Sukarno Selatan, Sukarno Barat, dan
Sukarno Timur). Dapat pula keempat ruas jalan itu menjadi nama jalan Sukarno
(Medan Merdeka Utara-Barat) dan jalan M. Hatta (Medan Merdeka Selatan-Timur).
Pada tahun berikutnya, sebaiknya jalan-jalan yang ada di
sekitar Istana, artinya jalan-jalan di pusat pemerintahan, diberikan kepada
beberapa tokoh yang sudah diangkat sebagai pahlawan nasional. Nama Sjafruddin
Prawiranegara dapat dijadikan pengganti Jalan Budi Kemuliaan, karena pada kedua
sisi jalan sudah terdapat dua nama gedung sesuai dengan nama tokoh tersebut,
yakni pada Bank Indonesia dan Kementerian Pertahanan.
Di antara Masjid dan Gereja Katedral terdapat nama
jalan-jalan yang dapat diganti menjadi jalan yang melambangkan kerukunan agama
dan kebhinnekaan, seperti jalan M. Natsir (Islam), I.J. Kasimo (Katolik),
Johannes Leimena (Protestan), serta Ketut Puja (Hindu). Jalan Pejambon di depan
Kementerian Luar Negeri dapat diubah menjadi Jalan Ahmad Soebardjo, yang
merupakan Menteri Luar Negeri RI yang pertama.
Demikian pula Jalan Kalibata dapat diberikan kepada Tan
Malaka, yang memang pernah suatu ketika tinggal di daerah itu. Saat ini di
kawasan tersebut hanya terdapat Gang Tan Malaka 1 dan Gang Tan Malaka 2, yang
prakarsa pembuatan plang papan nama gang itu pun berasal dari seorang Belanda,
Harry Poeze.
Saya memperoleh informasi dari A.M. Fatwa bahwa sudah ada
usul yang diajukan kepada DPRD DKI untuk mengganti nama Jalan Kramat Raya
menjadi jalan M. Natsir, karena di situ terdapat Gedung Dewan Dakwah yang
didirikan oleh tokoh Masyumi tersebut. Sebetulnya usul itu terlambat, sudah ada
yang mengajukan nama lain sebelumnya. Sebuah tim yang dibentuk oleh Mr.
Sunario, mantan Menteri Luar Negeri yang sekaligus penasihat panitia Kongres
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, pada 1970-an pernah mengajukan penggantian nama
jalan tersebut menjadi jalan Sumpah Pemuda. Namun tidak ada kelanjutan dari
usul itu.
Sejak awal Orde Baru, jalan-jalan strategis di Ibu Kota
telah dikuasai para jenderal. Kini tokoh sipil yang namanya baru direhabilitasi
sejarah memperebutkan yang tersisa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar