Senin, 09 September 2013

Perlu Pengetatan Moneter

Perlu Pengetatan Moneter
Sabaruddin Siagian ;   Dosen Perbanas Jakarta
KORAN JAKARTA, 09 September 2013



Gejolak rupiah saat ini sudah dimulai tahun 2012. Rupiah mengalami depresiasi 6,3 persen tahun 2012 karena besarnya defisit transaksi berjalan. Gejolak rupiah 2013 penyebabnya bukan hanya defisit transaksi berjalan, tetapi juga tingginya inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, dan pelarian dana asing ke luar (capital outflow) ke negara maju.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), pada 2012, defisit transaksi berjalan 24 miliar dollar AS. Padahal, tahun 2011 masih surplus 5,69 miliar dollar AS, tahun 2010 surplus 10,63 miliar dollar AS, dan tahun 2009 surplus 10,63 miliar dollar AS.

Yang mengenaskan, defisit transaksi berjalan masih berlanjut pada 2013 dan kecenderungannya makin membesar. Hal itu tecermin pada kuartal I-2013, ketika defisit transaksi berjalan sudah mencapai 5,3 miliar dollar AS dan kuartal II-2013 meningkat menjadi 9,8 miliar dollar AS. 

Badan Pusat Stastistik (BPS) merilis defisit perdagangan Juli 2013 lebih mengenaskan, 2,31 miliar dollar AS. Secara kumulatif, defisit perdagangan Januari–Juli 2013 mencapai 5,65 miliar dollar AS. Defisit perdagangan tersebut terjadi karena besarnya defisit migas dari Januari–Juli, 7,63 miliar dollar AS, transaksi perdagangan nonmigas masih surplus, 1,98 miliar dollar AS. 

Sangat besarnya defisit migas, sangat besarnya pelarian dana asing ke luar, dan suramnya indikator ekonomi saat ini membuat rupiah sangat mudah bergejolak, sempat menyentuh 12.000 rupiah. 

Berdasarkan data yang dikeluarkan BI menyangkut necara pembayaran Indonesia dan rilis data BPS baru-baru ini, ditemukan masalah struktural perekonomian, antara lain rendahnya daya saing ekspor, kronisnya defisit migas, dan pelarian dana asing dari Indonesia. 

Tahun 2012, ekspor nonmigas 152 miliar dollar AS dan impor nonmigas 139 miliar dollar AS. Maka, masih surplus 13 miliar dollar AS. Secara kumulatif, Januari–Juli 2013, ekspor migas 87,56 miliar dollar AS, sementara migas impor 85,58 miliar dollar AS. Maka, surplus makin rendah, 1,98 miliar dollar AS. Memperhitungkan sisa lima bulan tahun ini, surplus seharusnya sudah minimal 8 miliar dollar AS.

Data ekspor dan impor tersebut menjelaskan pemerintah kurang mampu menggenjot pertumbuhan ekspor dan mengurangi impor. Maka, rupiah terus konsisten mengalami tekanan sangat besar.

Untuk menggenjot ekspor dan mengurangi impor, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi pertengahan Agustus lalu. Lagi-lagi pemerintah kurang mampu mengeluarkan kebijakan ekonomi yang memberi harapan perbaikan mendasar masalah ekspor dan impor. 

Untuk meningkatkan ekspor dan menurunkan impor dalam jangka pendek ini, sejatinya, tidak banyak diharapkan memperbaiki defisit transaksi berjalan. Tetapi, bila pemerintah serius memperbaiki ekspor dan investasi, pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan ekonomi "menghentakkan" pasar dan serius mengimplementasikan. Maka, pasar akan mengapresiasi dan meningkatkan kepercayaan pada rupiah.

Defisit migas penyebab utama kejatuhan rupiah saat ini sejatinya diakibatkan peningkatan konsumsi minyak bersubsidi sangat besar sehingga menyedot anggaran negara dan cadangan devisa untuk mengimpor minyak tersebut.

Tahun 2012, sebagai penghasil minyak, pemerintah mengekspor minyak mentah 17,89 miliar dollar AS. Tetapi pemerintah mengimpor minyak mentah dan BBM 38,21 miliar dollar AS. Indonesia mengalami defisit minyak 20,68 miliar dollar AS. Untuk menutup defisit, pemerintah mengimpor minyak menggunakan cadangan devisa. Impor minyak ini secara konsisten memperlemah rupiah.

"Kutukan"

Cadangan devisa tersedot untuk mengimpor minyak merupakan sebuah ironi bagi bangsa. Sebab, kemampuan memproduksi minyak sudah menurun drastis, lifting hanya 840 ribu barel per hari (bph). Padahal negara membutuhkan minyak 1,4 juta–1,5 juta bph saat ini. Bangsa ini sudah menerima "kutukan" minyak karena lalai mengembangkan ketahanan dan diversifikasi energi pada saat masih surplus minyak.

Gejolak rupiah juga dipicu penarikan dana asing akibat rencana pengurangan stimulus perekonomian AS dengan kebijakan Quantitative Easing (QE). Sejak 2008, The Fed mengeluarkan kebijakan QE dengan mengguyurkan dana 2.000 triliun dollar AS. Dana tersebut masuk ke Indonesia sangat besar. Potensi dana asing masuk diperkirakan 192 miliar dollar AS. Data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat dana investasi asing 164 miliar dollar AS. Dana asing tersebut juga ditempatkan di Surat Berharga Negara (SBN) yang diperkirakan mencapai 28 miliar dollar AS.

Tiga bulan terakhir, 23,5 miliar dollar AS sudah ke luar dari Indonesia. Inilah salah satu sumber utama rupiah terkapar. Besar kemungkinan The Fed akan mulai mengurangi kebijakan QE pertengahan September. Jika tidak ada langkah segera pemerintah yang substansial untuk menenangkan pasar, rupiah dapat terjun bebas dan terulang krisis rupiah September ini.

Untuk meredam gejolak rupiah, perlu segera mengurangi defisit migas secara masif. Karena, besarnya defisit migas ini membuat cadangan devisa dan anggaran negara tersedot sangat besar, maka pemerintah harus mengambil kebijakan mengurangi penggunaan minyak tersebut.

Harus ada konversi energi secara masif dari minyak ke gas dan batu bara dan mempercepat program penggunaan terbarukan seperti pemanfaatan energi matahari, air, dan angin berlimpah di negeri. Indonesia pernah sukses mengonversi minyak tanah ke gas, tetapi "malas" dan tidak mau belajar menerapkan itu pada pengurangan penggunaan minyak.

Selain itu, perlu segera menaikkan suku acuan, BI Rate, mendekati inflasi sebelum The Fed bersidang memutuskan pengurangan kebijakan QE. Dengan inflasi Agustus secara tahunan 8,79 persen dan ekspektasi inflasi 9,2-9,8 persen, apakah layak mempertahankan BI Rate sebesar 7 persen?

Masalah memang krusial karena banyak dana asing lari, utang swasta yang jatuh tempo September ini sangat besar. Belum lagi ditambah sangat besarnya defisit transaksi berjalan dan menurunnya cadangan devisa secara drastis. Saat ini, cadangan devisa tinggal 92 miliar dollar AS. Maka, BI Rate harus dinaikkan minimal 50 basis poin menjadi BI Rate 7,5 persen September ini.

Kebijakan moneter harus diperketat untuk menyelamatkan perekonomian. Lebih baik pertumbuhan ekonomi menurun sedikit daripada memaksakan bertumbuh tinggi tetapi dapat menciptakan krisis rupiah. Pertumbuhan tinggi dapat dicapai lagi bila badai perekonomian sudah berlalu. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar