|
PERHELATAN kontestasi legislatif dan presiden dinilai sebagai
tonggak lahirnya pemimpin audisional pilihan publik. Gejala ini menjelaskan
bahwa politik Indonesia dalam proses konsolidasi demokrasi tetap mengedepankan
politik figur (preferensi) bukan politik partai. Nahasnya elit oligarkis dan
populis berupaya menyemai figur audisional publik dengan teknik kaum pesohor.
Estafet kepemimpinan nasional merupakan menu wajib proses pelembagaan politik Indonesia dalam domain demokrasi. Sehingga menjadi kewajiban bagi publik untuk dapat berpartisipasi aktif menelanjangi rekam jejak figur capres baik itu dari sisi kapasitas maupun integritas. Dengan semakin amburadulnya pelembagaan partai politik jelas berdampak menyempitnya upaya supply side pada pemilih, padahal bila aspek pemasaran berjalan dengan baik aspek demand side dapat menjadi solusi lahirnya figur alternatif audisional publik. Ini artinya parpol yang selama ini menjadi produsen dan rekrutmen capres seharusnya berani menampilkan sosok alternatif yang lebih mumpuni. Dan bukan memaksakan figur ketua umumnya dalam kandidasi Pilpres 2014.
Pilihan Audisional Publik
Survei yang digelar oleh jamak industri survei sebenarnya dapat menunjukkan gambaran pra audisional publik. Survei Kompas pada periode Desember 2012, menempatkan beberapa tokoh audisional publik, diantaranya; Joko Widodo (17,7 persen), Prabowo Subianto (13,3 persen), Megawati Soekarnoputri (9,3 persen), Jusuf Kalla (6,7 persen), dan Aburizal Bakrie (5,9 persen). Kemudian dilanjutkan pada periode Juni 2013, dengan menampilkan lonjakan yang signifikan pada sosok Joko Widodo sebesar (32,5 persen), Prabowo Subianto (15,1 persen), Megawati Soekarnoputri (8,0 persen), Jusuf Kalla (4,5 persen), dan Aburizal Bakrie (8,8 persen). Dan sisanya di bawah (5 persen) diikuti oleh Mahfud MD, Surya Paloh, Rhoma Irama, Wiranto, Dahlan Iskan, Hidayat Nur Wahid, Sultan HB X, Hatta Rajasa, Anies Baswedan, Suryadharma Ali, Ani Yudhoyono, Sri Mulyani, Muhaimin Iskandar, Yuzril Ihza dan Pramono Edhi. Survei ini sebagai bukti terdongkraknya pamor Jokowi lebih disebabkan bekerjanya relasi aspek pemasaran figur Jokowi dengan aspek demand side pemilih. Ditambah lagi dengan beberapa prestasi Jokowi yang telah mampu mengagregasi kepentingan rakyat ketimbang figur lama menjadikan publik menempatkan Jokowi sebagai pemenang figur audisional publik.
Krisis representasi publik terhadap figur stok lama semakin menggejala ini dibuktikan semakin meroketnya kedikkenakan figur Jokowi dibanding empat figur maupun sosok lainnya yang selama ini telah terlanjur populer. Jokowi’s Effect menjadi tuah bagi PDI-P sebagai pemilik sah sosok Jokowi dalam menyongsong kandidasi pilpres 2014. Namun bagi capres populer hal ini jelas menjadi batu sandungan dalam upaya memperbaiki tingkat kedikkenalan. Nahasnya beberapa capres populer telah melakukan telepolitic (baca : peran media) guna mendongkrak kedikkenalan personal yang tinggi. Bahkan saban hari figur stok lama terus berupaya melakukan persemaian popularitas seperti di dalam jagat entertainment, namun tetap saja tidak menarik perhatian publik.
Gaya kepemimpinan yang genuine dan tidak artifisial menjadikan Jokowi sebagai figur audisional pilihan publik. Inilah yang menyebabkan jamak capres populer melirik Jokowi untuk disandingan pada figur pilihan internal partai guna mendongkrak elektabilitas personal bahkan partai. Sudah menjadi rahasia umum bila beberapa capres populer akan menduetkan Jokowi dalam kandidasi pilpres 2014. Sebut saja Aburizal Bakrie yang pernah mewacanakan hal tersebut, demikan pula PAN, partai Gerindra dengan Prabowo, bahkan Jusuf Kalla pun membuka pintu lebar bagi sosok Jokowi. Gejala ini menjadikan Jokowi kemudian banyak menjadi incaran dagang politik para elit oligarkis yang jamak dikuasai figur lama.
Tubuh Jokowi pun nyaris dijadikan ajang promosi elektabilitas elit oligarkis pada publik. Tuah kedikkenalan Jokowi dirasa mampu mengubah image buruk parpol, pasca sengkarut politik yang serba licik, transaksional, rakus, dan manipulatif. Gelaran pra kandidasi pilpres (baca : konvensi partai Demokrat) tanpa rasa malu juga mengundang Jokowi dalam hajatan pilpres prematur guna memperbaiki citra partai. Demokrat berharap tuah audisional publik pada tubuh Jokowi akan mengembalikan kedigdayaan parpol ini semasa 2004 dan 2009. Untungnya Jokowi selalu menanggapi dingin ajakan ini. Anehnya lagi banyak figur yang memaksakan nalar migrasi pemilih mengikuti figur kaum pesohor dan bukan platform apalagi ideologi partai melalui iklan politik yang serba artifisial. Jadi tidak aneh bila Demokrat dengan getolnya mengundang tokoh-tokoh alternatif pilihan publik guna mempolitisasi mereka dengan cara konvensi.
Epilog
Sikap Megawati yang belum menentukan capres dari PDI Perjuangan menambah celah bagi elit oligarkis dalam memanfaatkan tubuh Jokowi. Ini terlihat dari sikap elit oligarkis maupun populis yang hanya menjadikan Jokowi sebagai alat kampanye kandidasi personal dan partai. Namun tanpa disadari upaya capres populer menerjemahkan tingkat kedikkenalan mereka ke dalam preferensi politik publik dengan memanfaatkan Jokowi justru akan melejitkan popularitas Jokowi. Walhasil upaya menjual figur Jokowi justru akan meningkatkan elektabilitas PDI Perjuangan sebab Jokowi adalah kader PDI Perjuangan dan figur audisional publik.
Perilaku elit oligarkis dan populer yang memaksakan menjadi figur audisional publik akan sia-sia sebab publik menginginkan diferensiasi pemimpin dalam melanjutkan estafet kepemimpinan nasional. Gejala ini membuktikan menguatnya kandidasi prematur dikalangan figur stok lama. Kandidasi ini menunjukkan telah terkomodifikasinya popularitas ke dalam selebritas politik artinya, kandidasi ini sebagai upaya persemaian popularitas figur yang dipaksakan seperti di dalam jagat entertainment. Kegagalan beberapa figur stok lama dalam menerjemahkan tingkat kedikkenalan mereka yang tinggi ke dalam preferensi elektoral bisa menjadi tuah insentif bagi figur alternatif bahkan figur daerah sekalipun. ●
Estafet kepemimpinan nasional merupakan menu wajib proses pelembagaan politik Indonesia dalam domain demokrasi. Sehingga menjadi kewajiban bagi publik untuk dapat berpartisipasi aktif menelanjangi rekam jejak figur capres baik itu dari sisi kapasitas maupun integritas. Dengan semakin amburadulnya pelembagaan partai politik jelas berdampak menyempitnya upaya supply side pada pemilih, padahal bila aspek pemasaran berjalan dengan baik aspek demand side dapat menjadi solusi lahirnya figur alternatif audisional publik. Ini artinya parpol yang selama ini menjadi produsen dan rekrutmen capres seharusnya berani menampilkan sosok alternatif yang lebih mumpuni. Dan bukan memaksakan figur ketua umumnya dalam kandidasi Pilpres 2014.
Pilihan Audisional Publik
Survei yang digelar oleh jamak industri survei sebenarnya dapat menunjukkan gambaran pra audisional publik. Survei Kompas pada periode Desember 2012, menempatkan beberapa tokoh audisional publik, diantaranya; Joko Widodo (17,7 persen), Prabowo Subianto (13,3 persen), Megawati Soekarnoputri (9,3 persen), Jusuf Kalla (6,7 persen), dan Aburizal Bakrie (5,9 persen). Kemudian dilanjutkan pada periode Juni 2013, dengan menampilkan lonjakan yang signifikan pada sosok Joko Widodo sebesar (32,5 persen), Prabowo Subianto (15,1 persen), Megawati Soekarnoputri (8,0 persen), Jusuf Kalla (4,5 persen), dan Aburizal Bakrie (8,8 persen). Dan sisanya di bawah (5 persen) diikuti oleh Mahfud MD, Surya Paloh, Rhoma Irama, Wiranto, Dahlan Iskan, Hidayat Nur Wahid, Sultan HB X, Hatta Rajasa, Anies Baswedan, Suryadharma Ali, Ani Yudhoyono, Sri Mulyani, Muhaimin Iskandar, Yuzril Ihza dan Pramono Edhi. Survei ini sebagai bukti terdongkraknya pamor Jokowi lebih disebabkan bekerjanya relasi aspek pemasaran figur Jokowi dengan aspek demand side pemilih. Ditambah lagi dengan beberapa prestasi Jokowi yang telah mampu mengagregasi kepentingan rakyat ketimbang figur lama menjadikan publik menempatkan Jokowi sebagai pemenang figur audisional publik.
Krisis representasi publik terhadap figur stok lama semakin menggejala ini dibuktikan semakin meroketnya kedikkenakan figur Jokowi dibanding empat figur maupun sosok lainnya yang selama ini telah terlanjur populer. Jokowi’s Effect menjadi tuah bagi PDI-P sebagai pemilik sah sosok Jokowi dalam menyongsong kandidasi pilpres 2014. Namun bagi capres populer hal ini jelas menjadi batu sandungan dalam upaya memperbaiki tingkat kedikkenalan. Nahasnya beberapa capres populer telah melakukan telepolitic (baca : peran media) guna mendongkrak kedikkenalan personal yang tinggi. Bahkan saban hari figur stok lama terus berupaya melakukan persemaian popularitas seperti di dalam jagat entertainment, namun tetap saja tidak menarik perhatian publik.
Gaya kepemimpinan yang genuine dan tidak artifisial menjadikan Jokowi sebagai figur audisional pilihan publik. Inilah yang menyebabkan jamak capres populer melirik Jokowi untuk disandingan pada figur pilihan internal partai guna mendongkrak elektabilitas personal bahkan partai. Sudah menjadi rahasia umum bila beberapa capres populer akan menduetkan Jokowi dalam kandidasi pilpres 2014. Sebut saja Aburizal Bakrie yang pernah mewacanakan hal tersebut, demikan pula PAN, partai Gerindra dengan Prabowo, bahkan Jusuf Kalla pun membuka pintu lebar bagi sosok Jokowi. Gejala ini menjadikan Jokowi kemudian banyak menjadi incaran dagang politik para elit oligarkis yang jamak dikuasai figur lama.
Tubuh Jokowi pun nyaris dijadikan ajang promosi elektabilitas elit oligarkis pada publik. Tuah kedikkenalan Jokowi dirasa mampu mengubah image buruk parpol, pasca sengkarut politik yang serba licik, transaksional, rakus, dan manipulatif. Gelaran pra kandidasi pilpres (baca : konvensi partai Demokrat) tanpa rasa malu juga mengundang Jokowi dalam hajatan pilpres prematur guna memperbaiki citra partai. Demokrat berharap tuah audisional publik pada tubuh Jokowi akan mengembalikan kedigdayaan parpol ini semasa 2004 dan 2009. Untungnya Jokowi selalu menanggapi dingin ajakan ini. Anehnya lagi banyak figur yang memaksakan nalar migrasi pemilih mengikuti figur kaum pesohor dan bukan platform apalagi ideologi partai melalui iklan politik yang serba artifisial. Jadi tidak aneh bila Demokrat dengan getolnya mengundang tokoh-tokoh alternatif pilihan publik guna mempolitisasi mereka dengan cara konvensi.
Epilog
Sikap Megawati yang belum menentukan capres dari PDI Perjuangan menambah celah bagi elit oligarkis dalam memanfaatkan tubuh Jokowi. Ini terlihat dari sikap elit oligarkis maupun populis yang hanya menjadikan Jokowi sebagai alat kampanye kandidasi personal dan partai. Namun tanpa disadari upaya capres populer menerjemahkan tingkat kedikkenalan mereka ke dalam preferensi politik publik dengan memanfaatkan Jokowi justru akan melejitkan popularitas Jokowi. Walhasil upaya menjual figur Jokowi justru akan meningkatkan elektabilitas PDI Perjuangan sebab Jokowi adalah kader PDI Perjuangan dan figur audisional publik.
Perilaku elit oligarkis dan populer yang memaksakan menjadi figur audisional publik akan sia-sia sebab publik menginginkan diferensiasi pemimpin dalam melanjutkan estafet kepemimpinan nasional. Gejala ini membuktikan menguatnya kandidasi prematur dikalangan figur stok lama. Kandidasi ini menunjukkan telah terkomodifikasinya popularitas ke dalam selebritas politik artinya, kandidasi ini sebagai upaya persemaian popularitas figur yang dipaksakan seperti di dalam jagat entertainment. Kegagalan beberapa figur stok lama dalam menerjemahkan tingkat kedikkenalan mereka yang tinggi ke dalam preferensi elektoral bisa menjadi tuah insentif bagi figur alternatif bahkan figur daerah sekalipun. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar