Senin, 02 September 2013

Penguatan Pendidikan Karakter Sejak Dini

Penguatan Pendidikan Karakter Sejak Dini
Khoiruddin Bashori ;   Psikolog Pendidikan, Tinggal di Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 02 September 2013


REFORMASI dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi bangsa yang waktu itu terasa begitu sarat KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Setelah berlangsung sekian lama, orang kembali menagih janji reformasi. Mengapa semua upaya perbaikan yang sudah dilakukan sepertinya tidak begitu menunjukkan hasil yang menggembirakan? Perbaikan sistem memang sangat diperlukan. Akan tetapi, tidak kalah penting ialah memberikan fondasi pendidikan karakter yang lebih kuat sejak dini.

Usia dini merupakan masa kritis dalam rentang perkembangan kehidupan individu. Untuk itu diperlukan berbagai stimulasi dari orangtua dan lingkungan guna menyiapkan kondisi yang kondusif demi tercapainya optimalisasi perkembangan anak. Tujuan umum pendidikan usia dini yaitu membantu mengembangkan seluruh potensi dan kemampuan fisik, intelektual, emosional, moral, dan agama secara optimal dalam lingkungan pendidikan yang kondusif, demokratis, dan kompetitif (Puskur Balitbang Depdiknas, 2002).

Perkembangan anak

Bagi pendidik, anak usia dini berada pada rentang usia lahir sampai delapan tahun dan merupakan masa emas perkembangan. Di sinilah cetak biru perkembangan seseorang ditentukan, baik motorik, intelektual, bahasa, sosial, maupun emosional. Agar pertumbuhan dan perkembangan anak optimal, diperlukan kondisi dan stimulasi yang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan kehidupan anak ke depan. Oleh karena usia anak yang masih dini, pendidik karakter perlu memperhatikan beberapa keterbatasan kemampuan kognitifnya.

Dalam pandangan Papalia (2002), anak-anak usia prasekolah sebenarnya sudah mulai dapat mengenali berbagai macam emosi. Pemahaman emosi yang dirasakan anak dapat membantunya membicara kan perasaan. Pada usia tiga tahun anak mulai mengenal wajah senang, marah, gembira, sedih, atau takut. Kemampuan itu membantu anak dalam pergaulan sosial dan menjelaskan apa yang dirasakannya. Anak-anak dapat mengekspresikan emosi dengan tepat dan menjadi lebih sensitif terhadap perasaan orang lain. Mereka perlu dibantu agar dalam pergaulan dengan lingkungan secara emosional dapat menyesuaikan diri dengan baik dan menemukan kepuasan dalam hidup.

Dalam perkembangan sosial, kemampuan yang penting ialah social cognition, kemampuan anak untuk dapat memahami dan memberi penilaian terhadap kondisi mental ataupun perasaan dan tujuan orang lain. Kemampuan tersebut merupakan dasar dalam memelihara hubungan sosial. Anak belajar mengetahui standar dari perasaan dan tujuan orang lain. Hal itu memungkinkan individu berfungsi sebagai anggota keluarga dan dalam lingkungan sosialnya dengan baik (Papalia, 2002). Meskipun demikian, egocentrism pada anak dapat mengganggu perkembangan empati, yaitu kemampuan untuk membayangkan diri berada pada posisi orang lain. Oleh karena itu, diperlukan bimbingan pendidik agar empati anak dapat tetap tumbuh dengan subur.

Dalam teori psikososial Erikson, anak usia dini berada pada tahap initiative versus guilt. Anak punya keinginan untuk mandiri, tetapi merasa takut berpisah dengan orangtuanya. Pada masa tersebut anak punya keinginan me lakukan tugas-tugas baru, bergabung dengan teman sebaya, dan menemukan apa yang dapat mereka lakukan untuk membantu orang lain (Arthur dkk, 1998). Karena itu, bimbingan orangtua dan guru dalam mendorong kemandirian anak dilakukan dengan porsi dan proporsi yang tepat, jangan terlalu dipaksakan.

Proses pembelajaran

Hurlock (1980) mengatakan perkembangan moral pada awal masa kanak-kanak masih dalam tingkat yang rendah. Hal itu disebabkan perkembangan intelektualnya yang belum mencapai titik ketika ia da pat mempelajari atau menerapkan prinsipprinsip ab strak tentang benar dan salah. Anak juga belum punya dorongan untuk mengikuti peraturan-peraturan karena tidak mengerti manfaatnya sebagai anggota kelompok sosial. Karena itu, anak usia dini hanya belajar bagaimana bertindak tanpa mengetahui mengapa.

Oleh karena ingatan anak-anak cenderung kurang baik, belajar bagaimana berperilaku sosial yang baik merupakan proses panjang dan tidak mu dah. Dalam banyak kasus, apa yang di anggap orang dewasa sebagai tindakan tidak patuh sering kali hanya merupakan persoalan lupa bagi anak.
Awal masa kanak-kanak ditandai dengan apa yang oleh Piaget disebut `moralitas melalui paksaan' (Stewart & Koch, 1983). Pada tahap perkembangan moral itu, anak secara otomatis mengikuti peraturan tanpa berpikir atau menilai. Anak menganggap orang dewasa yang berkuasa sebagai mahakuasa. Dengan kata lain, anak menilai perbuatan sebagai benar atau salah berd dasarkan akibat-akibatnya d dan bukan berdasarkan pada motivasi yang mendasarinya.
Menurut sudut pandang anakanak, perbuatan yang `salah' ialah yang mengakibatkan hukuman dari orang lain ataupun alam. Dengan demikian, penerapan pemberian hadiah dan hukuman untuk penguatan perilaku moral yang tepat menjadi sangat penting.

Kohlber merinci dan meluaskan tahap-tahap perkembangan moral Piaget dengan memasukkan dua tahapan dari tingkat perkembangan pertama itu yang disebutnya sebagai `moralitas prakonvensional' (Hurlock, 1980; Stewart & Koch, 1983). Pada tahap pertama, anak-anak berorientasi patuh dan hukuman dalam arti ia menilai benar-salahnya perbuatan berdasarkan akibatakibat fisik dari perbuatan itu.

Dalam tahap kedua, anakanak menyesuaikan diri dengan harapan sosial agar memperoleh pujian. 
Dengan berakhirnya masa kanak-kanak, kebiasaan untuk patuh harus dibentuk agar anak-anak punya disiplin yang konsisten. Meskipun demikian, anakanak belum mengembangkan hati nurani sehingga ia tidak merasa bersalah atau malu apabila melakukan sesuatu yang salah. Dalam beberapa kasus, anak malah lebih takut dihukum atau berusaha membenarkan perbuatannya untuk menghindari hukuman.

Secara lebih teknis, Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas (2002) menggariskan proses pembelajaran pada anak usia dini hendaknya dilakukan dengan cara tertentu. Proses interaksi antara anak, sumber belajar, dan pendidik dalam lingkungan belajar tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sesuai dengan karakteristik anak usia dini yang bersifat aktif melakukan berbagai eksplorasi dalam kegiatan bermain, proses pembelajarannya ditekankan pada aktivitas anak dalam bentuk belajar sambil bermain.

Belajar sambil bermain ditekankan pada pengembangan potensi di bidang fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), intelegensi (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual), sosialemosional (sikap, perilaku, dan agama), bahasa, dan komunikasi menjadi kompetensi/ kemampuan secara aktual yang dimiliki anak.

Penyelenggaraan pembelajaran bagi anak usia dini perlu memberikan rasa aman bagi anak usia tersebut. Sesuai dengan sifat perkembangan anak usia dini, proses pembelajarannya dilakukan secara terpadu. Anak secara aktif berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur pendidik. Program belajar mengajar dirancang dan dilaksanakan sebagai suatu sistem yang dapat menciptakan kondisi menggugah dan memberi kemudahan bagi anak usia dini untuk belajar sambil bermain melalui berbagai aktivitas yang bersifat konkret sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan serta kehidupannya.

Keberhasilan proses pembelajarannya ditandai dengan pencapaian pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal dan dengan hasil pembelajaran yang mampu menjadi jembatan bagi anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan perkembangan selanjutnya (Puskur Balitbang Depdiknas, 2002).


Oleh karena itu, diperlukan pendekatan holistis dalam pendidikan karakter agar dapat mengembangkan keseluruhan aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar