Sabtu, 21 September 2013

Pilkada, Kekerasan, Selanjutnya Apa?

Pilkada, Kekerasan, Selanjutnya Apa?
Tom Saptaatmaja  ;   Alumnus STFT Widya Sasana Malang
dan Seminari St Vincent de Paul
SINAR HARAPAN, 20 September 2013


Mendiang Pramoedya Ananta Toer dalam sebuah diskusi di Surabaya pasca-Reformasi 1998, pernah melontarkan pendapat bahwa sejak zaman Empu Gandring atau Singosari hingga Indonesia modern, kekerasan akan selalu melekat setiap menjelang pergantian kekuasaan. Sejak zaman pembunuhan para raja Singasari, Tragedi 1965, hingga Tragedi 1998, selalu ada kekerasan, kerusuhan, bahkan pertumpahan darah saat terjadinya pergantian kekuasaan atau kepemimpinan.

Di level kepemimpinan di daerah, kita bisa menyaksikan ternyata banyak kekerasan yang muncul akibat pilkada. Misalnya, dalam debat tiga kandidat Pilkada Kabaupaten Luwu, Sulsel, sudah terjadi bentrok antarpendukung. Bentrokan baru dapat dikendalikan setelah petugas Brimob dan TNI AD masuk ke tengah massa, Sabtu (14/9).

Pascaputusan Mahkamah Konstitusi, Sabtu (29/8), yang meneguhkan keputusan KPUD Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), terjadi kerusuhan di NTT yang menewaskan tiga orang dan merusak 20 rumah.

Uskup Weetebula, Kabupaten SBD Mgr Edmund Woga CSsR sampai mengimbau masyarakat di daerah itu untuk lebih proaktif membangun ketenangan bersama, Selasa (2/9).

Lalu, akibat ketidakpuasan atas hasil rekapitulasi KPUD dalam Pilkada Probolinggo juga terjadi bentrokan antara massa dengan polisi sehingga situasi kota sempat mencekam pada Jumat (30/8).
Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Djohermansyah Djohan, kekerasan pilkada justru cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Berdasarkan data Ditjen Otda Kemdagri, rekapitulasi kerugian pascakonflik pilkada di provinsi maupun kabupaten dan kota menyebutkan, jumlah korban meninggal dunia 59 orang, korban luka 230 orang, kerusakan rumah tinggal 279 unit, kerusakan kantor pemda 30 unit, kantor polisi enam unit, dan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah 10 unit (situs Kemendagri).

Rekor korban jiwa akibat pilkada pernah tertoreh di Papua. Sebanyak 57 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka akibat bentrok antarwarga pendukung kandidat dalam Pilkada di Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya, Papua (Sinar Harapan, 16/2/2013).

Penyumbang Konflik Terbesar

Malah pernah ada penelitian yang menyebutkan, pilkada merupakan penyumbang konflik politik terbesar di Indonesia. Berdasarkan data kekerasan yang dikeluarkan Institute Titian Perdamaian Jakarta, terdapat 74 insiden atau 12 persen selama tahun 2009.

Hingga bulan Juni 2010, terdapat 117 insiden atau 16 persen akibat pilkada. Titian juga memaparkan, sampai semester pertama tahun 2010 terjadi peningkatan jumlah insiden konflik dan kekerasan yang cukup signifikan dibandingkan dengan jumlah total insiden tahun 2009. Total insiden tahun 2009 terjadi 600 insiden, sementara sampai pertengahan tahun 2010 telah terjadi 752 insiden.

Semua kekerasan itu menunjukkan dengan jelas pilkada belum dipahami dan dimaknai sebagai sarana untuk membangun demokrasi lokal. Pilkada lebih dimaknai sebagai ajang perebutan jabatan kepala daerah, entah gubernur, bupati, dan wali kota. Pilkada yang notabene pesta demokrasi justru menjadi ajang anarki dan kekerasan.

Tentu saja potret semacam itu patut kita sesali. Masalahnya sekarang adalah bagaimana kita mengantisipasi agar ke depan hal itu tak terulang lagi. Ini tentu saja bukan hanya tugas aparat keamanan.
Kita semua harus mencari solusi mendasar agar pilkada tak sekadar menjadi ajang perebutan kekuasaan. Artinya, perlu upaya konkret meletakkan pilkada dalam konteks pemberdayaan masyarakat daerah (melalui pendidikan politik) agar dampaknya terhadap demokratisasi lokal sungguh lebih signifikan.

Ajang pilkada langsung memang mengandung risiko atau tantangan. Tantangan yang paling mencolok sebelum pilkada digelar, yakni berkaitan dengan mobilisasi politik atas nama etnik, daerah (asli-pendatang), darah (bangsawan-orang biasa), dan agama yang berdampak negatif terhadap munculnya konflik horizontal.

Selain itu, masih kerap terjadi politik uang yang sebagian memanfaatkan APBD serta maraknya kampanye negatif antarpasangan sebelum pilkada digelar.

Pascapilkada, kecurangan dan manipulasi dalam penghitungan suara karena komisioner KPUD tidak netral atau pemaksaan kehendak dan premanisme politik (termasuk di dalamnya tidak siap kalah) kerap memicu terjadinya kekerasan.

Apalagi bila calon kepala daerah telah mengeluarkan dana yang besar selama masa kampanye pilkada. Para pendukung calon kepala daerah yang kalah tidak bisa menerima kekalahannya. Kekecewaan mereka semakin besar bila dikaitkan dengan munculnya isu kecurangan dari pihak yang memenangkan pemilihan sehingga kerusuhan pun tak terhindarkan lagi.

Fenomena pilkada dengan segala implikasi negatifnya, seperti dideskripsikan di atas jelas memberikan petunjuk konkret bagi kita. Pilkada langsung memang perlu dievaluasi.

Paling tidak jangan sampai pilkada hanya sekadar menjadi rutinitas hajatan politik, tapi kualitasnya rendah karena dilaksanakan secara terburu-buru. Jelas perlu kesiapan mental yang cukup, tak hanya bagi KPUD dan pemerintah daerah, tetapi juga bagi masyarakat, partai politik, dan DPRD.

Diperlukan pula sosialisasi yang cukup baik di tataran pemerintah lokal maupun masyarakatnya yang notabene adalah pelaksana pilkada. Tanpa sosialisasi yang cukup, sulit diharapkan pilkada mencapai hasil yang maksimal.

Dengan sosialisasi yang cukup baik di tataran masyarakat maupun tataran pemerintah lokal, pemahaman yang memadai tentang pilkada diharapkan dapat mengurangi bias dan penyalahgunaan selama pelaksanaan pilkada.

Artinya, massa atau masyarakat lokal jangan hanya dimobilisasi untuk pemenangan pasangan calon tertentu saja. Namun, lebih penting dari itu partai politik dan elite politik ikut bertanggung jawab dalam kegiatan pendidikan politik.

Tak kalah pentingnya juga adalah sosialisasi di tubuh KPUD, disertai sikap objektif para komisioner, 
mengingat sudah 81 komisioner KPUD dipecat DKPP. Dengan cara itu, kita berharap mendapatkan manfaat melalui pilkada langsung dan yang penting kekerasan bisa dicegah.

Pasalnya, kekerasan dalam bentuk apa pun, dilakukan siapa pun, jelas mendegradasi proses demokratisasi yang tengah kita bangun. Tentu setiap bentuk kekerasan juga melecehkan martabat luhur manusia akibat berahi politik berlebihan tanpa disertai akal sehat. Jabatan kepala daerah bukanlah tujuan yang harus diraih dengan menghalalkan segala cara.

Mekanisme Lama dan Evaluasi

Kalau tak ada manfaatnya, mungkin ada baiknya kembali ke mekanisme lama, yakni pemilihan tak langsung, ketika kepala daerah dipilih secara tidak langsung lewat DPRD. Menurut Prof HM Noorsanie Darlan dari Universitas Palangkaraya, jika dikalkulasi, pilkada langsung ternyata lebih banyak mudarat daripada manfaatnya karena pilkada langsung mungkin tak cocok dengan nilai budaya kita.

Lewat pilkada tak langsung, biayanya juga bisa murah. Tidak semahal pilkada langsung di negeri ini. Menurut Mantan Menkeu Agus Martowardoyo yang kini jadi Gubernur BI, total biaya pilkada di negeri ini sekitar Rp 20 triliun atau rata-rata per pilkada Rp 5 Miliar. Untuk Pilgub Jatim 29 Agustus saja, biayanya hampir Rp 1 triliun. Politik biaya tinggi inilah yang konon menjadi salah satu pemicu kekerasan dalam pilkada.

Yang mengecewakan meski biayanya mahal, belum tentu pilkada menghasilkan kepala daerah yang memenuhi ekspektasi publik. Malah sebaliknya, kini kian banyak kasus kepala daerah yang terjerat
hukum. Pada 2011, kepala daerah yang terjerat hukum berjumlah 173 orang, pada 2012 naik menjadi 235, sedangkan pada 2013 sampai pertengahan September sudah 304 orang.


Nah, jika pilkada langsung hanya menghasilkan kekerasan dan kepala daerah yang tidak bermutu, jelas pemerintah dan DPR perlu segera melakukan evaluasi total. Harus ada langkah konkret menyikapi hal ini.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar