Sabtu, 21 September 2013

Mencegah Malapetaka Negeri Agraris

Mencegah Malapetaka Negeri Agraris
Galih Andreanto  ;   Kepala Departemen Kampanye dan Kajian Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
SINAR HARAPAN, 20 September 2013


Negeri agraris ini, sekarang banyak mengimpor produk pertanian dari luar negeri.

“Barangsiapa mengurangi penghasilan makanan, misalnya dengan mempersempit sawah atau membiarkannya terbengkalai apa yang dapat dijadikan makanan, atau melalaikan binatang piaraan apa pun, kemudian hal itu diketahui oleh orang banyak, orang yang demikian itu diperlakukan sebagai pencuri dan dikenakan pidana mati. Demikianlah ajaran sastra” (perundang-undangan Agama, Kerajaan Majapahit Pasal 261).

Pasal dari kerajaan Majapahit di atas dapat diambil sebagai warisan prinsip kebesaran Nusantara di tengah kondisi pertanian yang karut-marut ini.

Kebesaran era Nusantara seakan mendesakkan urgensi pelaksanaan prinsip kedaulatan pangan bagi sektor pertanian. Kini, setelah melewati tujuh abad kebesaran Nusantara, kondisi pertanian Indonesia morat-marit, kecemasan demi kecemasan menghinggapi dunia pertanian kita.

Demi ketersediaan pangan jangka pendek, pemerintah sibuk memainkan peran impor. Mungkin saat ini julukan negeri agraris harus dipertanyakan ulang kepada bangsa kita. Pada 2013 ini, krisis kedelai lokal masih ditanggapi pemerintah secara reaksioner jangka pendek, dengan terus-menerus mengimpor hingga 1,1 juta ton.

Sejumlah kebutuhan atas bahan pangan seperti daging sapi, beras bahkan bawang dan cabai harus dilalui lewat mekanisme impor. Hal ini sungguh menyesakkan dada kita di mana kedaulatan di bidang pangan ternyata masih jauh dari harapan.

Persoalan pangan harus dilihat dari akar persoalan dengan tidak mengabaikan faktor utama aktor pertanian yaitu petani. Akses petani terhadap tanah semakin timpang, laju guremisasi semakin tak terhindarkan.

Sensus pertanian tahun 1993 mencatat, jumlah petani gurem (penguasaan kurang dari 0,5 ha) 52 persen dari total petani. Pada sensus pertanian tahun 2003, jumlahnya naik menjadi 53,5 persen. Pada pendataan usaha tani pada 2009, jumlahnya naik lagi menjadi 54,2 persen.

Arus konversi lahan semakin sulit untuk dihindari. Dalam konteks Pulau Jawa, karena skema dalam MP3EI menuntut Pulau Jawa menjadi kavling atau koridor bidang jasa dan industri. Program yang jauh dari penyelesaian akar persoalan ini, bukan saja tak bisa mengobati kekhawatiran akan tercerabutnya karakter agraria (sumber kekayaan alam), namun akan melahirkan beragam persoalan baru.

Namun, dampak negatif paling nyata adalah konflik agraria yang merebak di seluruh penjuru Tanah Air. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan mulai 2004 hingga akhir 2012 telah terjadi 618 konflik agraria di seluruh wilayah Republik Indonesia, dengan areal konflik seluas 2.399.314,49 hektare, di mana ada lebih dari 731.342 keluarga harus menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan.

Ketidakberpihakan pemerintah kepada petani yang tengah berkonflik ditunjukkan melalui tindakan intimidasi dan kriminalisasi, serta pemilihan cara-cara represif oleh aparat kepolisian dan militer dalam penanganan konflik dan sengketa agraria mengakibatkan 941 orang ditahan, 396 mengalami luka-luka, 63 orang di antaranya mengalami luka serius akibat peluru aparat, serta meninggalnya 44 orang di wilayah-wilayah konflik tersebut.

Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini melansir data sementara bahwa jumlah rumah tangga petani menurun hingga 5,04 juta dibandingkan dengan tahun 2003. Pada 2003 jumlah petani sebesar 31,17 juta rumah tangga, sedangkan kini (2013) jumlahnya hanya tinggal 26,13 juta, atau turun 16 persen per 10 tahun.

Data BPS sebenarnya bukan fakta mengejutkan, profesi petani tak lagi menjadi profesi yang menjanjikan kesejahteraan, bahkan identik dengan kemelaratan, kemiskinan dan penuh ketidakpastian.
Jika rata-rata laju penurunan rumah tangga petani 1,75 persen per tahun (tetap) maka dalam jangka waktu 57 tahun ke depan jumlah rumah tangga petani sama dengan nol. Namun, jika laju penurunan jumlah rumah tangga petani meningkat tiap tahun maka kurang dari 57 tahun lagi petani Indonesia punah.

Pada sisi lain terjadi pertumbuhan pesat perusahaan pertanian hingga 36,77 persen dibandingkan dari 2003. Korporasi pertanian berkembang pesat hingga 5.486 perusahaan pada 2013 atau bertambah 1.475 perusahaan dibandingkan 2003. Pembacaan atas data BPS tersebut harus ditempatkan pada sudut baca yang tepat.

Hal ini terkait dengan arah program kebijakan nasional ke depan. Namun, data itu sulit membuat kita mengelak bahwa arah transformasi pertanian kita bukan lagi berorientasi pada pemberdayaan rumah tangga petani, tapi ke arah industrialisasi pertanian berwarna korporasi. Transformasi yang sangat mungkin terjadi adalah petani bertanah ke arah buruh tani (hanya menjual tenaga) yang siap diserap sektor industri.

Kita lagi-lagi tak boleh lupa bahwa pembangunan pertanian tak akan berhasil bila melalaikan faktor petani. Berdasarkan data yang dilansir FAO, investasi di negara berkembang dan sedang disumbangkan oleh investor dalam negeri yaitu petani dengan investasi pada aspek on farm investment capital mencapai US$ 140 miliar atau sekitar 71 persen dari keseluruhan investasi pertanian. Oleh karena itu, kebijakan pertanian harus menempatkan petani sebagai faktor sentral dan tentu berpihak pada petani.

Pengabaian faktor petani karena mengejar faktor produktivitas dan efisiensi harga, potensial mendorong lahirnya kebijakan yang mendorong kemusnahan petani Indonesia. Praktik-praktik perampasan tanah karena pola pembangunan yang tidak berdasarkan keadilan sosial, konflik agraria, kekerasan terhadap petani penggarap adalah buah dari lahirnya kebijakan nasional yang jauh dari semangat pemberdayaan petani.

Sulit untuk mengelak bahwa politik agraria nasional saat ini justru berjalan menyimpang dari semangat UUPA 1960 dan TAP MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Turunnya angka rumah tangga petani dapat diartikan sebagai hilangnya produsen pangan yang sekaligus berubah peran menjadi konsumen. Hal ini patut dikhawatirkan karena kemampuan rakyat dalam melakukan kerja produksi pertanian hilang.

Jika kemampuan suatu negara dalam memproduksi pangan hilang maka ke depan Indonesia akan dilanda krisis pangan. Dalil-dalil yang membenarkan impor tak lagi bisa ditoleransi karena Indonesia akan benar-benar menyerahkan leher kedaulatannya pada asing.

Niatan pemerintah untuk membangun industrialisasi pangan skala luas dengan pintu terbuka pada pihak asing dapat dideteksi lewat rencana investasi China dan Malaysia membangun areal sawah di Subang. Dengan dana investasi US$ 2 miliar (Rp 20,3 triliun) bahkan bisa berkembang mencapai US$ 5 miliar (Rp 50,8 triliun), perusahaan China berharap bisa memasuki pasar berkembang di Tanah Air sekaligus memenuhi pasokan beras domestik.

Pembukaan areal pangan skala luas berbasis korporasi dapat dievaluasi dari pelaksanaan MIFEE (Merauke Integrated Food Estate and Energy), pada praktiknya MIFEE gagal menyejahterakan petani lokal, bahkan memperluas penderitaan masyarakat adat dan kelestarian lingkungan.
Industrialisasi pangan dengan pembukaan areal pangan skala luas, bukanlah opsi yang bijak bagi melimpahnya tenaga kerja pertanian Indonesia. Setidaknya ada 26,13 juta rumah tangga petani (2013) yang masih konsisten mau dan mampu mengelola lahan pertanian dengan membudidayakan tanaman.

Mengundang korporasi bisnis untuk membangun sektor pertanian akan membuat tenaga kerja pertanian Indonesia terserap rendah. Malapetaka justru diprediksi akan terjadi. Jika tenaga kerja pertanian tidak terserap penuh maka petani yang jumlahnya masih 26,13 juta akan semakin berkurang. Ini karena pertanian berbasis industri hanya memerlukan 1 orang/ha dengan bantuan mekanisasi pertanian yang modern.

Efek domino yang akan dihadapi selanjutnya adalah petani yang tadinya mampu menghasilkan pangan untuk keluarga sendiri (subsisten) akan beralih menjadi konsumen dan artinya lebih banyak lagi “mulut” yang harus disediakan kebutuhan pangannya.

Persoalan ini bukanlah sepele karena dapat mendorong percepatan terjadinya krisis pangan di Indonesia. Khawatirnya, Indonesia akan dibentuk hanya benar-benar menjadi negara konsumen pangan, konsumen pangan di tanah airnya sendiri.

Masa krisis di bidang pangan ini harus menjadi perhatian khusus seluruh elemen bangsa. Di tengah hiruk-pikuk tahun politik menjelang Pemilu 2014, agenda pembaruan agraria sebagai jalan satu-satunya menyelesaikan krisis pangan dan marginalisasi petani harus menjadi agenda nasional yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.

Indonesia harus segera menjalankan pembaruan agraria sejati demi mengatasi ketimpangan penguasaan sumber kekayaan alam, upaya penyelesaian konflik agraria, melindungi petani marginal dan melestarikan kemampuan rakyat membudidayakan tanaman.

Tepat kiranya momentum politik 2013 yang bebarengan dengan 53 tahun UUPA para calon pemimpin nasional menyadari bahwa agenda nasional yang harus dituntaskan segera adalah agenda pembaruan agraria yang mampu menjadi jalan menuju kedaulatan dan kemerdekaan sejati.

Kita tak boleh meninggalkan sejarah yang diwariskan para pendiri bangsa yang mewariskan pada kita UUPA 1960 sebagai dasar penataan struktur penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria (terutama tanah) agar memberikan rasa adil bagi rakyat melalui program land reform. Tak bisa mengulur-ulur waktu lagi, pembalikan krisis haruslah dimulai.

Geertz berujar bahwa Indonesia pernah mempunyai kondisi yang memadai untuk tinggal landas, tetapi momentum itu tidak dimanfaatkan. Jika suatu momentum terlewatkan maka dibutuhkan beberapa generasi untuk dapat memperoleh momentum serupa (Higgins, 1963: hal.ix).


Jika momentum krisis dan tekanan berat terhadap persoalan pangan tidak diatasi dengan kemauan politik tinggal landas, bukan tidak mungkin kita tidak akan pernah mendapatkan kesempatan tinggal landas karena laju kepunahan petani semakin dekat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar