|
DI tengah
apati masyarakat yang se makin meluas, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) dalam Rapat Kerja Nasional III di Ancol, Jakarta, 6-8 September 2013,
berupaya keras meyakinkan masyarakat bahwa masih ada harapan bagi negeri ini.
Rakernas III PDIP tersebut bukan saja berupaya mematangkan konsep pemerintahan
ke depan jika PDIP memenangi pemilu legislatif dan Pemilu Presiden 2014,
termasuk program penyelamatan bangsa, melainkan juga membicarakan transisi
kepemimpinan nasional dan masalah internasional.
Konsep pemerintahan sepatutnya
dipadukan dengan konsep mengenai Indonesia masa depan. Kita dulu pernah
memiliki Rencana Pembangunan Semesta Berencana delapan tahunan, Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita), dan juga Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN). Sesuatu yang baik harus dipertahankan. Karena itu, tidak ada salahnya
jika kita kembali memiliki repelita dan GBHN.
Untuk mematangkan konsep
pemerintahan dan pembangunan yang baik itu, PDIP mengundang tiga pembicara
kunci, yaitu Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Manik, Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, dan Gubernur Lembaga Ketahanan
Nasional (Lemhannas) Budi Susilo Supandji. Paparan ketiga pembicara kunci
tersebut mendapatkan perhatian besar dari seluruh peserta rakernas, termasuk
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Diharapkan, ketiga pembicara tersebut
dapat memberikan wa wasan yang luas kepada para peserta rakernas PDIP.
Meski pada rakernas PDIP tersebut
tidak ada deklarasi politik mengenai siapa calon presiden dan wakil presiden
yang diusung partai banteng gemuk itu, tampak nyata sudah ada sinyal dari Ketua
Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kepada Joko Widodo (Jokowi) bahwa Jokowi ialah
generasi baru PDIP yang akan memegang tampuk kepemimpinan nasional.
Sinyal itu tampak dari ditunjuknya
Jokowi sebagai pembaca Dedication of Live
yang berisi ungkapan hati Bung Karno yang mengakui adanya kelemahan pada
dirinya dan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk Tuhan, Tanah Air, dan bangsa.
Jokowi bukanlah seorang yang piawai dalam membaca puisi atau sajak.
Ia juga bukan orang yang bisa membacakan monolog dengan baik seperti Butet
Kertarajasa. Karena itu, ditunjuknya Jokowi tersebut merupakan sinyal positif
bahwa Megawati mendukung Jokowi untuk menjadi capres dari PDIP pada 2014.
Sinyal berikutnya ialah saat Megawati pada pidato politiknya menyatakan Jokowi
memiliki getaran Bung Karno. Pernyataan itu tentunya semakin menegaskan Jokowi
ialah keturunan ideologis Soekarno.
Siap berkuasa?
Bila kita simak pernyataan-pernyataan
politik generasi muda pemimpin di PDIP, tampak jelas betapa PDIP siap untuk
menjadi partai penguasa. PDIP yakin akan memenangi pemilu legislatif dan Pemilu
Presiden 2014 ka rena partai itu memiliki generasi muda yang amat menonjol
dalam percaturan politik di Tanah Air.
Dengan kata lain, dalam sepuluh tahun terakhir ini PDIP mampu menghasilkan
kader-kader partai yang kapabel dan brilian.
Sebagian kader muda itu menduduki
jabatan sebagai gubernur, bupati, anggota DPR, dan jabatan-jabatan publik
lainnya. Jika dibandingkan dengan partaipartai politik lainnya, PDIP harus
diakui berhasil melakukan rekrutmen dan kaderisasi politik secara apik.
Sepuluh tahun terakhir ini pula
partai itu begitu solid dan tidak mengalami perpecahan internal yang besar
seperti yang pernah dialami menjelang Pemilu 2004. Namun, para kader PDIP
jangan menepuk dada dahulu karena pertarungan politik baru saja dimulai dan
belum usai. Karena itu, PDIP tidak boleh terbuai oleh berbagai hasil survei
yang menyatakan partai itu akan menjadi pemenang pemilu legislatif nomor satu
atau nomor dua. Sejalan itu pula PDIP jangan terlalu jumawa akan memenangi
Pilpres 2014.
Ketamakan, keyakinan diri, atau kepercayaan diri yang begitu kuat
dapat menjadi bumerang bagi PDIP.
Partai itu harus terus
menggerakkan mesin partai agar masyarakat akar rumput tidak beralih ke partai
lain atau terkesima oleh sosok calon pemimpin lainnya. Tanpa itu, mereka yang
dulu menjadi konstituen PDIP bisa saja mendukung caleg atau capres dari partai
lain.
Fenomena Jokowi
Dalam dua tahun terakhir ini
situasi menunjukkan betapa Jokowi muncul sebagai pemimpin yang diidolakan
banyak orang. Sepak terjangnya sebagai Wali Kota Surakarta dan Gubernur DKI
Jakarta berani dan tegas demi perbaikan nasib wong cilik, penampilannya yang sederhana, serta sikapnya yang
santun menyebabkan dia dipandang sebagai pemimpin bangsa yang paling pas untuk
negeri ini.
Jokowi lebih banyak bekerja
ketimbang berbicara. Jokowi juga dipandang sebagai tokoh sipil yang tak kalah
berani dan tegasnya jika dibandingkan dengan tokoh bangsa yang berasal dari
kalangan militer atau polisi.
Fenomena Jokowi itu mengulang
fenomena Megawati pada akhir 1990-an. Jokowi dapat mendongkrak elektabilitas
PDIP pada 2014 mendatang jika Jokowi dideklarasikan sebagai capres PDIP sebelum
pemilu legislatif. Bila Megawati dapat mendongkrak suara PDIP sampai 33% pada
Pemilu Legislatif 1999, Jokowi diharapkan dapat mendongkrak suara PDIP sampai
26% atau lebih.
Namun, tampaknya pengurus teras
PDIP begitu khawatir Jokowi akan menjadi sasaran tembak kritik atau pembunuhan
karakter jika dideklarasikan lebih awal.
Sebenarnya, cepat atau lambatnya Jokowi dideklarasikan sebagai capres bukanlah
penyebab ia menjadi sasaran tembak karena sejak menjadi cagub DKI Jakarta pun
Jokowi sudah menjadi sasaran tembak dari orang atau kelompok yang tidak
menyukai Jakarta berubah ke arah yang lebih baik.
Masa depan PDIP
PDIP, suka atau tidak suka, harus
diakui sebagai partai yang konsisten untuk tetap berada di oposisi selama
hampir 10 tahun terakhir ini. Partai itu tidak pernah tertarik pada iming-iming
jabatan di kabinet Susilo Bambang Yudhoyono. Masa 10 tahun tampaknya merupakan
masa untuk menempa diri bagi kader-kader PDIP. Tidaklah mengherankan jika PDIP
kini percaya diri untuk siap berkuasa.
PDIP dapat membangun tonggak
sejarah bangsa bila mampu mengembalikan kepercayaan rakyat kepada sistem
demokrasi, partai politik, dan politisi.
Hal itu hanya bisa dilakukannya
bila PDIP mengajukan Jokowi sebagai capres dan menang pada Pilpres 2014. Partai
itu harus berkaca pada kegagalan-kegagalan mereka dalam percaturan politik di
masa lalu, baik dalam pilpres ataupun pemilu kada.
PDIP jangan sampai salah
menentukan strategi seperti yang terjadi dalam pilgub Bali atau pilgub Jatim.
Tahun 2014 ialah tahun tantangan, tahun penentuan, dan juga tahun kesempatan
bagi PDIP. Melalui strategi yang jitu dan berani, PDIP dapat menjadi pemenang
pemilu legislatif dan juga pilpres. Di tengah harapan masyarakat untuk memiliki
pemimpin yang tulus, jujur, visioner dan dedikatif, PDIP harus mendengarkan
suara rakyat.
Bila para pemimpin PDIP tak mau
mendengar suara hati rakyat, bukan mustahil partai ini akan menambah kekalahan
baru pada Pilpres 2014. Karena itu, pilihan pada Jokowi sebagai capres
merupakan suatu keniscayaan. Sekarang atau tidak selamanya! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar