|
Akhir-akhir ini, begitu banyak pemberitaan di media membuat
kita prihatin. Kasus AQJ (13) dalam tabrakan maut yang menewaskan enam orang
dan sembilan orang luka-luka sungguh menyedihkan.
Bagaimana AQJ bisa mengemudikan mobil pada dini hari dengan
kecepatan yang diduga sangat kencang, sementara ia belum memiliki SIM?
Sebelumnya, Polres Kota Bogor membongkar kasus perdagangan
perempuan (women’s trafficking).
Ditemukan 28 perempuan sebagai korban, di antaranya 11 remaja di bawah 18
tahun. Selama diperdagangkan, mereka dipaksa melayani nafsu lima-sembilan
laki-laki dengan bayaran Rp 90.000 (dari Rp 360.000 yang diterima germo) per
laki-laki. Jika menolak, mereka dikenai utang sebesar Rp 2 juta dan
denda Rp 10 juta jika terkena keluhan (complaint).
Tak pelak, korban terlilit utang yang sampai kapan pun tak
akan sanggup dilunasinya. Investigasi menemukan, trafficker berburu remaja perempuan dengan berbagai cara, termasuk
mengintai mereka yang berkeliaran di mal. Dengan janji surga, mulai dari
handphone, pakaian, perhiasan, hingga iming-iming menjadi terkenal, remaja
perempuan mudah diperangkap.
Data menunjukkan, para trafficker
juga merekrut remaja untuk menjaring teman sebayanya. Kekuatan peer-groups tampaknya disadari betul
sindikat prostitusi dan trafficking, hingga pendekatan ini terbukti efektif
menjerat korban.
Kepolisian Sektor Cileungsi, Kabupaten Bogor, belum lama
ini menyampaikan informasi mengejutkan bahwa pembunuh VDF (15) siswa kelas VIII
SMP, ternyata adalah teman sekelasnya, A (15). Sebelumnya, di Tangerang
Selatan, Kus (16) merampok dan membunuh SW (14), yang adalah pacar gelapnya.
Sebelum membunuh, Kus diduga memperkosa SW.
Tahun lalu, mulai ditemukan kasus di mana remaja merampok
unit-unit usaha yang lebih besar. Dari dengan persiapan yang sederhana, menjadi
perampokan dengan persiapan gambar situasi yang lebih detail dan rumit, bahkan
dilengkapi senjata api. Dorongan seksual yang menguat, disertai hasrat
memperoleh kemenangan dengan cara memiliki uang, motor, mobil, sepertinya
meluap di dada para remaja.
Saya pun mendengar sebuah istilah baru, yaitu “orang tua
gaul”. Istilah ini dilekatkan pada orang tua yang antara lain menuruti semua
kemauan anaknya. Orang tua gaul tidak perlu mempertanyakan banyak hal, membuat
peraturan, merawat nilai-nilai, mengawasi, atau menegur anak jika berbuat
salah.
Karakter yang diharapkan dari orang tua gaul adalah
konformis dan tidak boleh “berbeda” dengan arus utama. Seorang ibu, misalnya
bisa mengatakan pada suaminya, “Kamu enggak mengerti. Orang tua teman-temannya
mengizinkan, enggak mungkin kita enggak mengizinkan!”
Mengapa tidak lagi mungkin menjadi “berbeda” jika itu untuk
kebenaran dan kebaikan? Di mana tanggung jawab dan kewajiban orang tua kini?
Remaja sangat mudah dipengaruhi, ingin selalu “tak berbeda”
dengan sebayanya. Arus informasi kini semakin memungkinkan mereka meniru banyak
hal. Oleh karena itulah, mereka memerlukan orang tua dan lingkungan dewasa
(masyarakat, pemerintah, aparat penegak hukum) untuk melindungi, mencerahkan,
dan mengantar mereka menjadi pribadi berdaulat yang bisa memilih dan bertindak
atas dasar daya pikir kritis dan hati nurani berkualitas.
Sayangnya, tak beda dengan remaja, kini banyak orang
dewasa/orang tua bangga menjadi pengikut (follower).
Orang-orang ini bermental “kerumunan” tanpa nalar kritis dan hati nurani. Mereka
takut tekanan dari luar dan tidak punya keberanian moral mengambil pilihan
sendiri di luar arus utama.
Sebagai pengikut, mereka membenarkan yang biasa (meski
buruk), dan pastinya enggan berefleksi serta membiasakan yang benar. Jika anak
orang lain dibelikan mobil, anak saya juga harus. Jika anak orang lain boleh
berkeliaran di mal dan menginap di rumah temannya tanpa pengawasan orang tua,
anak saya juga harus.
Sebagai orang dewasa/orang tua, kita mungkin lupa indahnya
menjadi manusia berkualitas meski karenanya kita “berbeda”. Kita lupa rasa
bangga menjadi pribadi berkarakter mengasihi, berkekuatan mental, dan
berintegritas.
Kita tak lagi ingat caranya mempertahankan prinsip,
nilai-nilai kebenaran, serta keadilan sampai titik darah terakhir. Kita lupa betapa
berharganya berefleksi, menjaga keutuhan martabat kemanusiaan kita sehingga
bicara dan tindakan sejalan dengan keteguhan nilai yang kita pegang.
Inilah kualitas pemimpin bangsa yang tengah kita rindukan.
Pertanyaannya, jika sekarang saja kita kesulitan mencari manusia berkualitas
“berbeda” sejenis ini, bagaimana nanti? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar