Senin, 16 September 2013

Berkualitas “Berbeda”

Berkualitas “Berbeda”
R Valentina Sagala  ;   Aktivis Perempuan, Hukum, dan HAM;
Anggota Dewan Redaksi Sinar Harapan
SINAR HARAPAN, 16 September 2013


Akhir-akhir ini, begitu banyak pemberitaan di media membuat kita prihatin. Kasus AQJ (13) dalam tabrakan maut yang menewaskan enam orang dan sembilan orang luka-luka sungguh menyedihkan.
Bagaimana AQJ bisa mengemudikan mobil pada dini hari dengan kecepatan yang diduga sangat kencang, sementara ia belum memiliki SIM?

Sebelumnya, Polres Kota Bogor membongkar kasus perdagangan perempuan (women’s trafficking). Ditemukan 28 perempuan sebagai korban, di antaranya 11 remaja di bawah 18 tahun. Selama diperdagangkan, mereka dipaksa melayani nafsu lima-sembilan laki-laki dengan bayaran Rp 90.000 (dari Rp 360.000 yang diterima germo) per laki-laki. Jika menolak, mereka dikenai utang sebesar Rp 2 juta dan denda Rp 10 juta jika terkena keluhan (complaint).

Tak pelak, korban terlilit utang yang sampai kapan pun tak akan sanggup dilunasinya. Investigasi menemukan, trafficker berburu remaja perempuan dengan berbagai cara, termasuk mengintai mereka yang berkeliaran di mal. Dengan janji surga, mulai dari handphone, pakaian, perhiasan, hingga iming-iming menjadi terkenal, remaja perempuan mudah diperangkap.

Data menunjukkan, para trafficker juga merekrut remaja untuk menjaring teman sebayanya. Kekuatan peer-groups tampaknya disadari betul sindikat prostitusi dan trafficking, hingga pendekatan ini terbukti efektif menjerat korban.

Kepolisian Sektor Cileungsi, Kabupaten Bogor, belum lama ini menyampaikan informasi mengejutkan bahwa pembunuh VDF (15) siswa kelas VIII SMP, ternyata adalah teman sekelasnya, A (15). Sebelumnya, di Tangerang Selatan, Kus (16) merampok dan membunuh SW (14), yang adalah pacar gelapnya. Sebelum membunuh, Kus diduga memperkosa SW.

Tahun lalu, mulai ditemukan kasus di mana remaja merampok unit-unit usaha yang lebih besar. Dari dengan persiapan yang sederhana, menjadi perampokan dengan persiapan gambar situasi yang lebih detail dan rumit, bahkan dilengkapi senjata api. Dorongan seksual yang menguat, disertai hasrat memperoleh kemenangan dengan cara memiliki uang, motor, mobil, sepertinya meluap di dada para remaja.

Saya pun mendengar sebuah istilah baru, yaitu “orang tua gaul”. Istilah ini dilekatkan pada orang tua yang antara lain menuruti semua kemauan anaknya. Orang tua gaul tidak perlu mempertanyakan banyak hal, membuat peraturan, merawat nilai-nilai, mengawasi, atau menegur anak jika berbuat salah.
Karakter yang diharapkan dari orang tua gaul adalah konformis dan tidak boleh “berbeda” dengan arus utama. Seorang ibu, misalnya bisa mengatakan pada suaminya, “Kamu enggak mengerti. Orang tua teman-temannya mengizinkan, enggak mungkin kita enggak mengizinkan!”

Mengapa tidak lagi mungkin menjadi “berbeda” jika itu untuk kebenaran dan kebaikan? Di mana tanggung jawab dan kewajiban orang tua kini?

Remaja sangat mudah dipengaruhi, ingin selalu “tak berbeda” dengan sebayanya. Arus informasi kini semakin memungkinkan mereka meniru banyak hal. Oleh karena itulah, mereka memerlukan orang tua dan lingkungan dewasa (masyarakat, pemerintah, aparat penegak hukum) untuk melindungi, mencerahkan, dan mengantar mereka menjadi pribadi berdaulat yang bisa memilih dan bertindak atas dasar daya pikir kritis dan hati nurani berkualitas.

Sayangnya, tak beda dengan remaja, kini banyak orang dewasa/orang tua bangga menjadi pengikut (follower). Orang-orang ini bermental “kerumunan” tanpa nalar kritis dan hati nurani. Mereka takut tekanan dari luar dan tidak punya keberanian moral mengambil pilihan sendiri di luar arus utama.
Sebagai pengikut, mereka membenarkan yang biasa (meski buruk), dan pastinya enggan berefleksi serta membiasakan yang benar. Jika anak orang lain dibelikan mobil, anak saya juga harus. Jika anak orang lain boleh berkeliaran di mal dan menginap di rumah temannya tanpa pengawasan orang tua, anak saya juga harus.

Sebagai orang dewasa/orang tua, kita mungkin lupa indahnya menjadi manusia berkualitas meski karenanya kita “berbeda”. Kita lupa rasa bangga menjadi pribadi berkarakter mengasihi, berkekuatan mental, dan berintegritas.

Kita tak lagi ingat caranya mempertahankan prinsip, nilai-nilai kebenaran, serta keadilan sampai titik darah terakhir. Kita lupa betapa berharganya berefleksi, menjaga keutuhan martabat kemanusiaan kita sehingga bicara dan tindakan sejalan dengan keteguhan nilai yang kita pegang.


Inilah kualitas pemimpin bangsa yang tengah kita rindukan. Pertanyaannya, jika sekarang saja kita kesulitan mencari manusia berkualitas “berbeda” sejenis ini, bagaimana nanti? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar