Senin, 02 September 2013

Pengalaman Belajar Usia Dini dan Akibat Jangka Panjangnya

Pengalaman Belajar Usia Dini
dan Akibat Jangka Panjangnya
Ahmad Baedowi ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 02 September 2013


BANYAK bukti dari beberapa hasil riset tentang perkembangan mental dan kejiwaan yang menunjukkan secara konsisten dan kuat bahwa pendidikan usia dini berpengaruh terhadap kesuksesan masa depan seorang anak. Dalam laporan Center on the Developing Child (2007) ditunjukkan secara khusus, efek pendidikan usia dini yang benar dapat meningkatkan kapasitas arsitektur dari otak anak. Pada saatnya otak tersebut memberi pengaruh yang baik dalam membentuk perilaku sosial dan emosi anak yang cerdas. Itu artinya pengalaman belajar anak, jika terjadi secara benar, dapat membentuk jalan bagi tumbuhnya motivasi belajar secara benar.

Jika di masa depan kita menginginkan tumbuhnya karakter jujur dan kesalehan sosial yang kuat pada diri seorang anak, pendampingan terhadap proses pendidikan usia dini penting untuk dilakukan. Penelusuran secara longitudinal terhadap keberhasilan seorang anak menunjukkan jejak yang kuat bahwa pengenalan konsep ilmu dan pendampingan orang dewasa menjadi dua hal yang signifikan untuk dilakukan secara benar. Dengan demikian, program pendidikan usia dini harus ditata secara baik dan benar dalam sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan dari pendidikan dasar dan menengah (Schweinhart et al, 2005). Namun, masih banyak kita lihat kesalahan fundamental terjadi dalam proses pendidikan usia dini.

Dominan tuntutan

Beberapa kesalahan itu terlihat dalam praktik pendidikan usia dini yang lebih banyak didominasi tuntutan perkembangan kapasitas akademik anak sehingga anak tak memperoleh pengalaman belajar yang autentik berdasarkan konteks sosial dan budaya yang terjadi di tengah-tengah kehidupannya. Selain itu, tak sedikit dijumpai paradigma yang salah dari para pendidik yang memandang pengalaman belajar (learning experience) sebagai suatu kondisi yang sepenuhnya kendali pembelajaran dipegang guru.

Pengalaman belajar anak lebih banyak dideterminasi banyaknya jumlah mata ajar yang berkaitan dengan kemampuan menulis dan berhitung. Bahkan dengan sedikit pemaksaan, kemampuan membaca dan menulis merupakan bentuk kesepakatan tak tertulis bagi syarat penerimaan siswa baru pada tingkat sekolah dasar. Hal itu menunjukkan proses pendidikan di usia dini bertujuan bukan untuk memberikan pengalaman belajar yang autentik berdasarkan konteks sosial dan budaya, melainkan lebih banyak dipenuhi tujuan mengejar kemampuan akademik yang lalai terhadap sensitivitas emosional anak.

Jika kita ingat secara definitif tentang makna pengalaman belajar yang seharusnya terjadi dalam sebuah proses pendidikan, R Tyler dalam Basic Principles of Curriculum and Instruction (1926) secara konkret memberi batasan tentang makna pengalaman belajar.

“The term learning experience is not the same as the content with which a course deal nor the activities performed by the teacher. The term learning experience refers to the interaction between the learner and the external conditions of the environment to which he can react. Learning takes place through the active behavior of the student; it is what he does that he learns, not what the teacher does.”

Jelas sekali bahwa pemaknaan pengalaman belajar yang salah lebih banyak disebabkan faktor guru yang tak memiliki pengetahuan cukup tentang makna pengalaman belajar.

Pentingnya pemahaman yang benar tentang pengalaman belajar anak jelas akan memberi pengaruh terhadap kemampuan anak di masa depan. Jika anak dididik berdasarkan target perkembangan kognisi semata, kekhawatiran terhadap masa depan Indonesia akan memiliki cukup alasan. Meskipun dalam naskah akademik Kemendikbud tentang pendidikan anak usia dini menyitir paradigma filsafat pendidikan pragmatisme, dengan tegas pemerintah meminta para pendidik agar tidak memaksakan suatu ide atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik. Dari sisi tersebut, evaluasi terhadap tenaga pengajar yang tidak memahami makna pengalaman belajar dan arti pentingnya bagi masa depan pertumbuhan anak menjadi wajib untuk dilakukan.

Selain itu, para penggagas dan praktisi pendidikan usia dini juga harus menyadari mendidik anak di usia dini membutuhkan pendekatan multi dan interdisipliner yang melibatkan begitu banyak bidang ilmu keterampilan. Selain ilmu psikologi perkembangan, ilmu pendidikan, neurosains, bahasa dan seni, para pendidik harus memiliki ilmu yang cukup tentang gizi, biologi perkembangan anak, dan sebagainya. Di usia dini seorang anak, target pendidikan seyogianya ditujukan untuk mengembangkan seluruh potensi mereka (the whole child) agar kelak dapat berfungsi sebagai manusia yang utuh sesuai dengan budaya dan falsafah suatu bangsa.

Hasil evaluasi lainnya di beberapa negara tentang early childhood education juga menunjukkan hal yang sama. Linda Mitchell, Cathy Wylie, dan Margaret Carr, dalam Outcomes of Early Childhood Education: Literature Review (2008), menyimpulkan satu-satunya kelemahan dalam simpul pembelajaran usia dini ialah kepedulian tentang aspek kesehatan anak dan ibu. Konteks kesehatan itu juga penting selain konteks keterampilan sosial dan budaya karena dapat memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi perkembangan anak ke depan. Sudah saatnya pemerintah mengevaluasi komprehensif jejak pendidikan usia dini yang dilakukan, baik dari sisi substansi maupun kelembagaan.

Dengan berkaca pada hasil-hasil riset di atas, jelas sekali harus ada niat baik dari para penggagas dan praktisi pendidikan anak usia dini untuk mengubah gaya mengajar mereka. Contextual based learning harus menjadi acuan dalam proses belajar mengajar di usia dini agar anak-anak kita tumbuh dan berkembang dengan karakter yang kuat, kecerdasan yang memikat, serta kepedulian terhadap sesama yang mengikat rasa persatuan dan kesatuan sebagai anak bangsa. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar