|
BANYAK bukti dari beberapa hasil riset tentang perkembangan
mental dan kejiwaan yang menunjukkan secara konsisten dan kuat bahwa pendidikan
usia dini berpengaruh terhadap kesuksesan masa depan seorang anak. Dalam
laporan Center on the Developing Child
(2007) ditunjukkan secara khusus, efek pendidikan usia dini yang benar dapat
meningkatkan kapasitas arsitektur dari otak anak. Pada saatnya otak tersebut
memberi pengaruh yang baik dalam membentuk perilaku sosial dan emosi anak yang
cerdas. Itu artinya pengalaman belajar anak, jika terjadi secara benar, dapat
membentuk jalan bagi tumbuhnya motivasi belajar secara benar.
Jika di
masa depan kita menginginkan tumbuhnya karakter jujur dan kesalehan sosial yang
kuat pada diri seorang anak, pendampingan terhadap proses pendidikan usia dini
penting untuk dilakukan. Penelusuran secara longitudinal terhadap keberhasilan
seorang anak menunjukkan jejak yang kuat bahwa pengenalan konsep ilmu dan
pendampingan orang dewasa menjadi dua hal yang signifikan untuk dilakukan secara
benar. Dengan demikian, program pendidikan usia dini harus ditata secara baik
dan benar dalam sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan dari pendidikan dasar
dan menengah (Schweinhart et al, 2005).
Namun, masih banyak kita lihat kesalahan fundamental terjadi dalam proses
pendidikan usia dini.
Dominan tuntutan
Beberapa kesalahan itu terlihat dalam praktik pendidikan usia
dini yang lebih banyak didominasi tuntutan perkembangan kapasitas akademik
anak sehingga anak tak memperoleh pengalaman belajar yang autentik berdasarkan konteks
sosial dan budaya yang terjadi di tengah-tengah kehidupannya. Selain itu, tak
sedikit dijumpai paradigma yang salah dari para pendidik yang memandang pengalaman
belajar (learning experience) sebagai suatu kondisi yang sepenuhnya
kendali pembelajaran dipegang guru.
Pengalaman belajar anak lebih banyak dideterminasi banyaknya
jumlah mata ajar yang berkaitan dengan kemampuan menulis dan berhitung. Bahkan dengan sedikit pemaksaan, kemampuan membaca dan
menulis merupakan bentuk kesepakatan tak tertulis bagi syarat penerimaan siswa
baru pada tingkat sekolah dasar. Hal itu menunjukkan proses pendidikan di usia
dini bertujuan bukan untuk memberikan pengalaman belajar yang autentik
berdasarkan konteks sosial dan budaya, melainkan lebih banyak dipenuhi tujuan
mengejar kemampuan akademik yang lalai terhadap sensitivitas emosional anak.
Jika
kita ingat secara definitif tentang makna pengalaman belajar yang seharusnya
terjadi dalam sebuah proses pendidikan, R Tyler dalam Basic Principles of Curriculum and Instruction (1926) secara
konkret memberi batasan tentang makna pengalaman belajar.
“The term learning
experience is not the same as the content with which a course deal nor the
activities performed by the teacher. The term learning experience refers to the
interaction between the learner and the external conditions of the environment
to which he can react. Learning takes place through the active behavior of the
student; it is what he does that he learns, not what the teacher does.”
Jelas sekali bahwa pemaknaan pengalaman belajar yang salah
lebih banyak disebabkan faktor guru yang tak memiliki pengetahuan cukup tentang
makna pengalaman belajar.
Pentingnya
pemahaman yang benar tentang pengalaman belajar anak jelas akan memberi
pengaruh terhadap kemampuan anak di masa depan. Jika anak dididik berdasarkan
target perkembangan kognisi semata, kekhawatiran terhadap masa depan Indonesia
akan memiliki cukup alasan. Meskipun dalam naskah akademik Kemendikbud tentang
pendidikan anak usia dini menyitir paradigma filsafat pendidikan pragmatisme,
dengan tegas pemerintah meminta para pendidik agar tidak memaksakan suatu ide
atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik. Dari
sisi tersebut, evaluasi terhadap tenaga pengajar yang tidak memahami makna
pengalaman belajar dan arti pentingnya bagi masa depan pertumbuhan anak menjadi
wajib untuk dilakukan.
Selain
itu, para penggagas dan praktisi pendidikan usia dini juga harus menyadari
mendidik anak di usia dini membutuhkan pendekatan multi dan interdisipliner
yang melibatkan begitu banyak bidang ilmu keterampilan. Selain ilmu psikologi
perkembangan, ilmu pendidikan, neurosains, bahasa dan seni, para pendidik harus
memiliki ilmu yang cukup tentang gizi, biologi perkembangan anak, dan
sebagainya. Di usia dini seorang anak, target pendidikan seyogianya ditujukan
untuk mengembangkan seluruh potensi mereka (the
whole child) agar kelak dapat berfungsi sebagai manusia yang utuh sesuai
dengan budaya dan falsafah suatu bangsa.
Hasil
evaluasi lainnya di beberapa negara tentang early
childhood education juga menunjukkan hal yang sama. Linda Mitchell, Cathy
Wylie, dan Margaret Carr, dalam Outcomes
of Early Childhood Education: Literature Review (2008), menyimpulkan satu-satunya
kelemahan dalam simpul pembelajaran usia dini ialah kepedulian tentang aspek
kesehatan anak dan ibu. Konteks kesehatan itu juga penting selain konteks
keterampilan sosial dan budaya karena dapat memberikan kontribusi yang cukup
signifikan bagi perkembangan anak ke depan. Sudah saatnya pemerintah
mengevaluasi komprehensif jejak pendidikan usia dini yang dilakukan, baik dari
sisi substansi maupun kelembagaan.
Dengan
berkaca pada hasil-hasil riset di atas, jelas sekali harus ada niat baik dari
para penggagas dan praktisi pendidikan anak usia dini untuk mengubah gaya mengajar
mereka. Contextual based learning
harus menjadi acuan dalam proses belajar mengajar di usia dini agar anak-anak
kita tumbuh dan berkembang dengan karakter yang kuat, kecerdasan yang memikat,
serta kepedulian terhadap sesama yang mengikat rasa persatuan dan kesatuan
sebagai anak bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar