Senin, 16 September 2013

Paus Ajak Cegah Perang

Paus Ajak Cegah Perang
Benny Susetyo  ;   Dosen dan Pengamat Ekonomi FE UI
KORAN JAKARTA, 14 September 2013


Pelemahan rupiah, akhir-akhir ini, begitu mengkhawatirkan banyak pihak, meskipun memang tidak sepanik tahun 1998, yaitu per dollar AS pernah menyentuh angka 18.000. Pelemahan kali ini sebagai depresiasi tertajam di antara negara-negara Asia lainnya. Inilah yang menyebabkan kekhawatiran banyak pihak, walau rupiah masih berkisar 11.000 per dollar AS
.
Jadi teringat tesis saya waktu kuliah S2 Ekonomi, sepuluh tahun lalu, tentang exchange rate overshooting. Hipotesis exchange rate overshooting menyatakan nilai tukar bisa mengalami overshoot, artinya melebihi nilai tukar keseimbangan secara tiba-tiba dan melemah secara tajam. Overshooting nilai tukar ini karena ekspansi moneter domestik atau kontraksi moneter di Amerika Serikat (AS) yang menjadi counterpart atau benchmark kurs rupiah. 

Dampak rencana penghentian stimulus moneter bisa dianalogkan dengan kontraksi moneter tersebut sehingga bisa menyebabkan overshooting nilai tukar rupiah. Itulah sebabnya rupiah bisa menembus di atas 10.000 per dollar AS, bahkan sudah jauh melewati. 

Overshooting nilai tukar juga didukung perbedaan kecepatan penyesuaian di pasar uang dan pasar barang. Pasar uang lebih cepat menyesuaikan di pasar barang atau sektor riil. Nilai tukar adalah variabel di pasar uang yang penyesuaiannya instan, sedangkan sektor riil baru akan menyesuaikan setelah jeda waktu tertentu. 

Untuk itu, variabel yang cepat penyesuaiannya harus adaptasi dengan tajam lebih dulu agar tercapai keseimbangan baru. Jadi, sebenarnya menurut prediksi teori overshooting, pelemahan rupiah yang besar ini suatu proses yang wajar untuk mencapai keseimbangan baru. Ini karena seiring berjalannya waktu ketika sektor riil sudah menyesuaikan maka nilai tukar akan kembali ke keseimbangan jangka panjangnya. Dengan kata lain, menguat ke tingkat fundamentalnya.

Waspada

Dengan berbekal teori ini, sebetulnya memang masyarakat tidak perlu terlalu panik. Kewaspadaan memang diperlukan, namun kepanikan harus diredam. Dibutuhkan ketenangan dalam proses kembali ke ekuilibrium jangka panjang. Pelemahan nilai tukar dianalisis beberapa pihak diperlukan untuk membantu memperbaiki neraca perdagangan yang defisit cukup besar. 

Walaupun memang tidak menafikan bahwa sekarang elastisitas ekspor terhadap pelemahan nilai tukar tidak bisa sebesar 1997-1998 karena situasinya berbeda. Tahun 1997-1998 krisis hanya terjadi di tingkat Asia. Itu pun tidak menyeluruh, hanya parsial. Sedang kini yang terjadi krisis global sehingga pelemahan nilai tukar rupiah sekarang akan berdampak minor terhadap kinerja ekspor. 

Dalam beberapa survei terhadap perusahaan ditemukan bahwa yang paling penting stabilitas nilai tukar untuk kepastian dalam kegiatan usaha. Stabilitas nilai tukar dinilai lebih penting daripada level nilai tukar itu sendiri di mata perusahaan. Indonesia memang memiliki volatilitas nilai tukar yang besar. Volatilitas nilai tukar yang tinggi karena beberapa hal. Pertama, masih dangkalnya pasar valuta asing di Indonesia. Hal ini sejalan dengan secara umum masih dangkalnya pasar keuangan di Indonesia. 

Faktor kedua, pengaruh signifikan transaksi di pasar non deliverable forward (NDF) di Singapura. Hasil penelitian Luthfi Ridho (2011), mahasiswa bimbingan saya di program S2, menunjukkan adanya keterkaitan erat antara transaksi NDF dengan volatilitas nilai tukar rupiah. Faktor ketiga, kebergantungan pada dollar AS dalam transaksi perdagangan maupun keuangan. Transaksi ekspor-impor Indonesia menggunakan sekitar 90 persen invoice dengan dollar AS. 

Terkait faktor ketiga ini, sebenarnya terdapat beberapa langkah yang bisa dilakukan. Mitra dagang utama Indonesia saat ini, Amerika Serikat, China, Jepang, dan negara-negara ASEAN. Transaksi dengan China sebetulnya bisa dilakukan dalam mata uang nondollar AS, misalnya dalam mata uang reminbi (yuan). Ke depan, ini bisa menjadi alternatif untuk mengurangi kebergantungan pada dollar AS.

Renminbi atau yuan secara luas telah digunakan dalam perdagangan dengan negara tetangga seperti Vietnam, Laos, Myanmar, Asia Tengah, Rusia, dan lainnya. Pada Standing Committee di State Council, Desember 2008, diputuskan bahwa reminbi sebaiknya digunakan sebagai dasar percobaan perdagangan i) antara Provinsi Quang Dong dan Hong Kong atau Macau, ii) antara Provinsi Guangxi dan Yunnan dan negara-negara ASEAN. 

Antara tahun 2008 dan 2009, China menyetujui Perjanjian Pertukaran Mata Uang (Currency Swap Agreements) dengan Korea Utara, Hong Kong, Malaysia, Belarusia, Indonesia, dan Argentina untuk menyediakan likuiditas perdagangan dan investasi langsung. Perjanjian ini terpisah dan menambahkan Perjanjian Pertukaran di bawah Chiang Mai Initiative antara ASEAN plus tiga (Jepang, China, dan Korea) untuk mencegah kambuhnya krisis keuangan.

Penggunaan reminbi dalam perdagangan intra-Asia tidak dapat dihindari. Maka, bank-bank nasional harus mulai membiasakan diri dengan penggunaan mata uang China tersebut. Menanggapi semakin besarnya peranan reminbi itu, Bank Indonesia (BI) sedang mendorong pendekatan multipolar pada perdagangan dunia. Artinya, tidak bergantung pada satu jenis mata uang. Ke depan, kebijakan itu akan sangat penting guna mengurangi kebergantungan pada dollar AS. 

Selain diversifikasi dengan reminbi, diperlukan juga beberapa kebijakan berikut. Konsensus yang berkembang tentang pelaksanaan kebijakan nilai tukar dan mengelola volatilitas di pasar valuta asing, untuk sukses menerapkan kebijakan nilai tukar, pertama, penting menerapkan kebijakan ekonomi makro yang sehat dan kredibel guna menghindari ketimpangan makro dalam perekonomian. 

Kedua, Indonesia harus meningkatkan fleksibilitas pasar output/sektor riil dan pasar dalam rangka mengatasi dan menyesuaikan diri terhadap guncangan yang timbul dari volatilitas pasar mata uang. Ketiga, sangat penting Indonesia mengembangkan dan memperkuat sistem keuangan dalam rangka meningkatkan ketahanan mereka terhadap guncangan. 

Keempat, perlu membangun kemampuan pengaturan dan pengawasan untuk mengikuti inovasi keuangan dan munculnya aktivitas lembaga keuangan baru serta produk dan layanan baru. Terakhir, pembuat kebijakan perlu mempromosikan transparansi, terutama terkait dana-dana dalam dollar yang masih banyak parkir di bank-bank luar negeri. Ini bisa menjadi potensi suplai valas di masa mendatang dan transparansi terkait data utang luar negeri dalam dollar yang bisa berpotensi menjadi bom waktu pelemahan rupiah yang lebih dalam masa mendatang. Jika semua ini bisa dijalankan dengan baik, rupiah bisa diharapkan kembali menguat dengan volatilitas yang semakin kecil dalam jangka menengah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar