|
Kontes
kecantikan sejagat berupa Miss World
digelar di Bali. Agenda ini tidak hanya menjadi agenda perempuan sejagat yang
pamer kecantikan, tetapi juga kontestasi media, pasar agama, dan unjuk kekuatan
politik.
Sebelum agenda
ini digelar, ormas-ormas keagamaan sudah saling berkomentar di berbagai media
untuk menyerang, mempertanyakan, mendebat manfaat, hingga mengkritik
penyelenggaraan acara ini.
Pada perhelatan ini, 135 negara mengirimkan wakil-wakil terbaiknya berkompetisi untuk merebut predikat ratu kecantikan sejagat. Indonesia diwakili Miss Indonesia 2013 Vania Larissa, sebagai ikon budaya dan simbol perempuan negeri ini. Tentu, perhelatan yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali ini akan menjadi bagian dari kontestasi kepentingan antarkelompok.
Kritik dan perdebatan yang tampak di media elektorik, cetak, dan lini masa jelas pada persoalan tentang manfaat dari perhelatan Miss World, terutama bagi warga Indonesia. Dari pihak penyelenggara, perhelatan Miss World diupayakan sebagai strategi untuk mempromosikan Indonesia.
Potensi kebudayaan negeri ini akan dieksplorasi sebagai background dan ajang promosi bisnis kepada media serta partner wisata di seluruh penjuru dunia. Tentu, niat ini patut diapresiasi mengingat bidang ekonomi, terutama di bidang kreatif dan jasa perlu dimaksimalkan.
Pada perhelatan ini, 135 negara mengirimkan wakil-wakil terbaiknya berkompetisi untuk merebut predikat ratu kecantikan sejagat. Indonesia diwakili Miss Indonesia 2013 Vania Larissa, sebagai ikon budaya dan simbol perempuan negeri ini. Tentu, perhelatan yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali ini akan menjadi bagian dari kontestasi kepentingan antarkelompok.
Kritik dan perdebatan yang tampak di media elektorik, cetak, dan lini masa jelas pada persoalan tentang manfaat dari perhelatan Miss World, terutama bagi warga Indonesia. Dari pihak penyelenggara, perhelatan Miss World diupayakan sebagai strategi untuk mempromosikan Indonesia.
Potensi kebudayaan negeri ini akan dieksplorasi sebagai background dan ajang promosi bisnis kepada media serta partner wisata di seluruh penjuru dunia. Tentu, niat ini patut diapresiasi mengingat bidang ekonomi, terutama di bidang kreatif dan jasa perlu dimaksimalkan.
Akan
tetapi, niatan sebagai promosi wisata juga perlu mempertimbangkan aspek moral,
bagaimana penerimaan mayoritas warga negeri ini. Dari sisi moral, jelas
perhelatan Miss World perlu mendapat
catatan. Terutama, bagaimana modus komodifikasi kecantikan untuk memaksimalkan
potensi bisnis dan perolehan profitnya.
Di sisi lain, kelompok penentang agenda Miss World juga perlu dikoreksi, terutama bagaimana agama digunakan sebagai media untuk dalil untuk menolak secara kasar. Jika menggunakan standar nilai pasar, konteks kecantikan Miss World, Indonesian Idol, X Factor atau pun agenda agama semisal Pildacil dan Kontes Dai juga terpaut nilai senada. Kontes-kontes tersebut menjadi bagian dari upaya untuk menjual nilai-nilai “values”, bisa jadi daya tarik suara, kecantikan, kejeniusan, kreativitas atau pun nilai-nilai agama.
Di sisi lain, kelompok penentang agenda Miss World juga perlu dikoreksi, terutama bagaimana agama digunakan sebagai media untuk dalil untuk menolak secara kasar. Jika menggunakan standar nilai pasar, konteks kecantikan Miss World, Indonesian Idol, X Factor atau pun agenda agama semisal Pildacil dan Kontes Dai juga terpaut nilai senada. Kontes-kontes tersebut menjadi bagian dari upaya untuk menjual nilai-nilai “values”, bisa jadi daya tarik suara, kecantikan, kejeniusan, kreativitas atau pun nilai-nilai agama.
Jika
menggunakan instrumen pasar, kontes-kontes dengan dalih agama, justru
merebut dan menciptakan pasar yang bergandeng dengan logika bisnis media. Dari
dakwah menuju marketing agama sebagai
selebritis bukan lagi dai.
Tulisan ini ingin memperdalam kritik terhadap komodifikasi kecantikan dan perdebatan tentang agama sebagai pasar. Keduanya merupakan usaha untuk menjernihkan kontribusi dan ekses dari festival kecantikan dalam Miss World, serta logika penolakan dari ormas-ormas keagamaan yang perlu ditafsir dari instrumen agama sebagai pasar.
Komodifikasi Kecantikan
Tren komodifikasi (pengubahan sesuatu menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan) kecantikan tentu menjadi bagian dari ekspansi bisnis yang didorong media sebagai agresi perusahaan. Media menciptakan standar cantik, ganteng, gaya hidup, dan kesehatan.
Tulisan ini ingin memperdalam kritik terhadap komodifikasi kecantikan dan perdebatan tentang agama sebagai pasar. Keduanya merupakan usaha untuk menjernihkan kontribusi dan ekses dari festival kecantikan dalam Miss World, serta logika penolakan dari ormas-ormas keagamaan yang perlu ditafsir dari instrumen agama sebagai pasar.
Komodifikasi Kecantikan
Tren komodifikasi (pengubahan sesuatu menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan) kecantikan tentu menjadi bagian dari ekspansi bisnis yang didorong media sebagai agresi perusahaan. Media menciptakan standar cantik, ganteng, gaya hidup, dan kesehatan.
Lalu, standar inilah yang menjadi pasar untuk menyerap konsumen dan memasok produsen dengan ceruk gaya hidup. Kecantikan adalah gaya hidup, dari kebutuhan tersier menjadi primer. Karena ekspansi iklan, orang Indonesia yang berkulit kuning langsat ingin mengubah kulitnya menjadi putih.
Padahal,
orang-orang dari Amerika dan Eropa yang berkulit putih, justru ingin memiliki
kulit agak hitam dengan berjemur di bawah terik matahari. Pada titik ini,
logika kecantikan menjadi sangat relatif dan media berperan sebagai instrumen
untuk menciptakan persepsi, membangun ide, dan menggelorakan citra. Media
menciptakan standar bagi gaya hidup manusia.
Logika kecantikan inilah yang perlu dilihat sebagai koreksi atas komodifikasi dan spirit ekonomi pada kontes Miss World. Jika mengibaratkan sebagai panggung, Miss World akan menghadirkan instrumen tentang bagaimana layaknya hidup cantik, tanpa menimbang aspek kultural yang menjadi lokus kebudayaan masyarakat.
Logika kecantikan inilah yang perlu dilihat sebagai koreksi atas komodifikasi dan spirit ekonomi pada kontes Miss World. Jika mengibaratkan sebagai panggung, Miss World akan menghadirkan instrumen tentang bagaimana layaknya hidup cantik, tanpa menimbang aspek kultural yang menjadi lokus kebudayaan masyarakat.
Komodifikasi
kecantikan inilah yang perlu dikritik, yang menjadikan perempuan sebagai
komoditas, sebagai sesuatu yang dijual dengan citra dan simbol yang
berkontribusi terhadap “pasar”.
Visi penilaian tentang Brain (kecerdasan), Behavior (sikap), dan Beauty (kecantikan) selayaknya diuji dengan penerimaan terhadap nilai-nilai kebudayaan. Sebab, kecantikan —bagaimanapun wujudnya— adalah produk dari kebudayaan.
Pasar Agama
Visi penilaian tentang Brain (kecerdasan), Behavior (sikap), dan Beauty (kecantikan) selayaknya diuji dengan penerimaan terhadap nilai-nilai kebudayaan. Sebab, kecantikan —bagaimanapun wujudnya— adalah produk dari kebudayaan.
Pasar Agama
Lalu, bagaimana menilai logika pasar agama yang menjadi ceruk bagi pertentangan moral dalam kritik penyelenggaraan Miss World. Saya tidak hendak mempermasalahkan FPI, MUI, dan ormas penentang Miss World dengan alasan moral. Saya setuju bahwa Miss World perlu didekati dengan logika manfaat, apa kontribusinya terhadap Indonesia? lebih banyak mana, manfaat atau mudaratnya (kerusakan yang dicipta) dari ajang ini?
Dari kritik tentang moral, tentu tidak akan ada kesepakatan yang konkret karena logika budaya akan menjadikan instrumen moral agama menjadi susah untuk dicari titik rumusnya. Sebaliknya, dengan menggunakan logika nilai-nilai Timur, akan lebih mudah karena penerimaan terhadap kearifan dan keramahan.
Lalu, bagaimana melihat agama sebagai pasar dalam perdebatan penyelenggaraan Miss World? Jika penolakan dengan modus dan menggunakan simbol-simbol agama tertentu, hal ini jelas bahwa agama masuk dalam lubang pasar.
Di ruang
pasar, selalu ada kepentingan yang siap untuk dikomodifikasi. Isu-isu penolakan
dan agenda untuk dialog, akan menjelaskan bagaimana pasar didefinisikan sebagai
instrumen bagi elite-elite tertentu untuk mencari keuntungan. Miss World, sebagai agenda
internasional, tentu berdampak pada sisi diplomasi, politik, dan ekonomi. Pada
titik ini, ayat-ayat dan simbol agama telah terjebak di pusaran pasar.
Bukan hanya Miss World yang perlu dikritik, melainkan “pasar agama” juga perlu ditafsir ulang agar tak lahir benalu yang menggunakan agama sebagai alat jualan. Untuk mencari keuntungan dengan jubah dan dalil, tanpa memberi teladan akhlak. ●
Bukan hanya Miss World yang perlu dikritik, melainkan “pasar agama” juga perlu ditafsir ulang agar tak lahir benalu yang menggunakan agama sebagai alat jualan. Untuk mencari keuntungan dengan jubah dan dalil, tanpa memberi teladan akhlak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar