Senin, 16 September 2013

Miss World dan Dilema Pasar Agama

Miss World dan Dilema Pasar Agama
Munawir Aziz  ;   Alumnus Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 14 September 2013
  

Kontes kecantikan sejagat berupa Miss World digelar di Bali. Agenda ini tidak hanya menjadi agenda perempuan sejagat yang pamer kecantikan, tetapi juga kontestasi media, pasar agama, dan unjuk kekuatan politik.

Sebelum agenda ini digelar, ormas-ormas keagamaan sudah saling berkomentar di berbagai media untuk menyerang, mempertanyakan, mendebat manfaat, hingga mengkritik penyelenggaraan acara ini.

Pada perhelatan ini, 135 negara mengirimkan wakil-wakil terbaiknya berkompetisi untuk merebut predikat ratu kecantikan sejagat. Indonesia diwakili Miss Indonesia 2013 Vania Larissa, sebagai ikon budaya dan simbol perempuan negeri ini. Tentu, perhelatan yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali ini akan menjadi bagian dari kontestasi kepentingan antarkelompok.

Kritik dan perdebatan yang tampak di media elektorik, cetak, dan lini masa jelas pada persoalan tentang manfaat dari perhelatan Miss World, terutama bagi warga Indonesia. Dari pihak penyelenggara, perhelatan Miss World diupayakan sebagai strategi untuk mempromosikan Indonesia.

Potensi kebudayaan negeri ini akan dieksplorasi sebagai background dan ajang promosi bisnis kepada media serta partner wisata di seluruh penjuru dunia. Tentu, niat ini patut diapresiasi mengingat bidang ekonomi, terutama di bidang kreatif dan jasa perlu dimaksimalkan.

Akan tetapi, niatan sebagai promosi wisata juga perlu mempertimbangkan aspek moral, bagaimana penerimaan mayoritas warga negeri ini. Dari sisi moral, jelas perhelatan Miss World perlu mendapat catatan. Terutama, bagaimana modus komodifikasi kecantikan untuk memaksimalkan potensi bisnis dan perolehan profitnya.

Di sisi lain, kelompok penentang agenda Miss World juga perlu dikoreksi, terutama bagaimana agama digunakan sebagai media untuk dalil untuk menolak secara kasar. Jika menggunakan standar nilai pasar, konteks kecantikan Miss World, Indonesian Idol, X Factor atau pun agenda agama semisal Pildacil dan Kontes Dai juga terpaut nilai senada. Kontes-kontes tersebut menjadi bagian dari upaya untuk menjual  nilai-nilai “values”, bisa jadi daya tarik suara, kecantikan, kejeniusan, kreativitas atau pun nilai-nilai agama.

Jika menggunakan instrumen  pasar, kontes-kontes dengan dalih agama, justru merebut dan menciptakan pasar yang bergandeng dengan logika bisnis media. Dari dakwah menuju marketing agama sebagai selebritis bukan lagi dai.

Tulisan ini ingin memperdalam kritik terhadap komodifikasi kecantikan dan perdebatan tentang agama sebagai pasar. Keduanya merupakan usaha untuk menjernihkan kontribusi dan ekses dari festival kecantikan dalam Miss World, serta logika penolakan dari ormas-ormas keagamaan yang perlu ditafsir dari instrumen agama sebagai pasar.

Komodifikasi Kecantikan

Tren komodifikasi (pengubahan sesuatu menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan) kecantikan tentu menjadi bagian dari ekspansi bisnis yang didorong media sebagai agresi perusahaan. Media menciptakan standar cantik, ganteng, gaya hidup, dan kesehatan.

Lalu, standar inilah yang menjadi pasar untuk menyerap konsumen dan memasok produsen dengan ceruk gaya hidup. Kecantikan adalah gaya hidup, dari kebutuhan tersier menjadi primer. Karena ekspansi iklan, orang Indonesia yang berkulit kuning langsat ingin mengubah kulitnya menjadi putih.

Padahal, orang-orang dari Amerika dan Eropa yang berkulit putih, justru ingin memiliki kulit agak hitam dengan berjemur di bawah terik matahari. Pada titik ini, logika kecantikan menjadi sangat relatif dan media berperan sebagai instrumen untuk menciptakan persepsi, membangun ide, dan menggelorakan citra. Media menciptakan standar bagi gaya hidup manusia.

Logika kecantikan inilah yang perlu dilihat sebagai koreksi atas komodifikasi dan spirit ekonomi pada kontes Miss World. Jika mengibaratkan sebagai panggung, Miss World akan menghadirkan instrumen tentang bagaimana layaknya hidup cantik, tanpa menimbang aspek kultural yang menjadi lokus kebudayaan masyarakat.

Komodifikasi kecantikan inilah yang perlu dikritik, yang menjadikan perempuan sebagai komoditas, sebagai sesuatu yang dijual dengan citra dan simbol yang berkontribusi terhadap “pasar”.

Visi penilaian tentang Brain (kecerdasan), Behavior (sikap), dan Beauty (kecantikan) selayaknya diuji dengan penerimaan terhadap nilai-nilai kebudayaan. Sebab, kecantikan —bagaimanapun wujudnya— adalah produk dari kebudayaan.

Pasar Agama

Lalu, bagaimana menilai logika pasar agama yang menjadi ceruk bagi pertentangan moral dalam kritik penyelenggaraan Miss World. Saya tidak hendak mempermasalahkan FPI, MUI, dan ormas penentang Miss World dengan alasan moral. Saya setuju bahwa Miss World perlu didekati dengan logika manfaat, apa kontribusinya terhadap Indonesia? lebih banyak mana, manfaat atau mudaratnya (kerusakan yang dicipta) dari ajang ini?

Dari kritik tentang moral, tentu tidak akan ada kesepakatan yang konkret karena logika budaya akan menjadikan instrumen moral agama menjadi susah untuk dicari titik rumusnya. Sebaliknya, dengan menggunakan logika nilai-nilai Timur, akan lebih mudah karena penerimaan terhadap kearifan dan keramahan.

Lalu, bagaimana melihat agama sebagai pasar dalam perdebatan penyelenggaraan Miss World? Jika penolakan dengan modus dan menggunakan simbol-simbol agama tertentu, hal ini jelas bahwa agama masuk dalam lubang pasar.


Di ruang pasar, selalu ada kepentingan yang siap untuk dikomodifikasi. Isu-isu penolakan dan agenda untuk dialog, akan menjelaskan bagaimana pasar didefinisikan sebagai instrumen bagi elite-elite tertentu untuk mencari keuntungan. Miss World, sebagai agenda internasional, tentu berdampak pada sisi diplomasi, politik, dan ekonomi. Pada titik ini, ayat-ayat dan simbol agama telah terjebak di pusaran pasar.

Bukan hanya Miss World yang perlu dikritik, melainkan “pasar agama” juga perlu ditafsir ulang agar tak lahir benalu yang menggunakan agama sebagai alat jualan. Untuk mencari keuntungan dengan jubah dan dalil, tanpa memberi teladan akhlak. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar