Minggu, 15 September 2013

Bahasa Vicky, Bahasa Kita

Bahasa Vicky, Bahasa Kita
Ardi Winangun  ;   Anggota Departemen Komunikasi dan Informasi
Majelis Nasional KAHMI
JAWA POS, 14 September 2013



DI tengah hebohnya berita si Dul, penembakan polisi, serta aneka korupsi, kita dihibur dengan gejala berbahasa yang ''orisinal''. Yakni, tontonan dari jumpa pers pernikahan antara Vicky Prasetyo dan pedangdut Zaskia Gotik yang menggunakan bahasa mengejutkan. Bahasanya dicampur-campur, tidak sesuai dengan kaidah, dan membelokkan logika sehingga sangat menggemaskan, lucu, atau juga menjengkelkan.

Bahasa Vicky tersebut mewarnai jaringan antarmanusia di media sosial untuk berkomunikasi atau menyampaikan pesan kepada pengguna media sosial lainnya. Kata-kata itu, antara lain, ''kontroversi hati'', ''konspirasi kemakmuran'', ''statusisasi kemakmuran'', ''bukan mempertakut'', dan ''bukan mempersuram''. Kalimat itu tidak baru, namun terasa aneh didengar. 

Dengan tuturan Vicky, kita semua menertawakan, melecehkan, dan menganggap Vicky ingin disebut intelek sehingga menggunakan kata-kata asing. Padahal, sadar atau tidak, sebenarnya kita semua, mulai presiden, menteri, anggota DPR, kepala daerah, hingga orang awam sekalipun, pernah melakukan hal yang sama. Yakni, mencampuradukkan bahasa asing dan bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia.

Tuduhan Vicky ingin disebut intelek itu bisa jadi benar. Sebab, dalam sebuah kesempatan, di hadapan orang-orang desa di sebuah tempat di Bekasi, Jawa Barat, saat berkampanaye menjadi kepala desa, dia malah menggunakan bahasa Inggris meski juga dicampur dengan bahasa Indonesia dan bahasa Arab sehingga orang yang melihat di rekaman YouTube pun kembali dibuat tertawa.

Mungkin pria yang bernama asli Hendriyanto itu belajar bahasa Inggris hanya dari buku dan jarang bercakap-cakap langsung dengan orang asing yang menggunakan bahasa Inggris. Karena itu, tidak heran bila banyak ketidaktepatan dalam pengucapan kosakata. 

Lain halnya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia belajar bahasa Inggris dan pernah tinggal di luar negeri. SBY relatif benar dalam mengucapkan kosakata bahasa Inggris. Karena itu, ketika tokoh asal Pacitan, Jawa Timur, tersebut menggunakan bahasa campur-campur, tidak ada orang yang menertawakan, meski banyak orang yang menyesalkan. Mengapa sekelas presiden tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar? 

Dalam sebuah berita online (3/1/2011) diberitakan, saat membuka perdagangan Bursa Efek Indonesia, dalam pidatonya yang berdurasi 1 jam 8 menit, SBY telah menggunakan 54 kalimat yang bercampur dengan bahasa Inggris. Antara lain, ''Lebih baik yang realistic, achievable, attainable'' dan ''Sambil kita membangun diri menuju emerging power, emerging nation, emerging country, emerging economy, mari kita pastikan tiga pilar itu berjalan secara simultan.'' 

Bahasa SBY dan Alay 

Apa yang menjadi problem di antara kita sehingga penggunaan bahasa Indonesia tidak baik dan benar? Faktornya, pertama, tidak adanya pembinaan bahasa Indonesia yang memadai. Meski bahasa Indonesia diajarkan mulai 1 SD hingga perguruan tinggi, jam mata pelajaran atau mata kuliah yang tersedia tidak memadai. Kalau ada jam pelajaran atau mata kuliah bahasa Indonesia yang lebih, itu hanya pada program atau jurusan terkait, program atau jurusan bahasa Indonesia. 

Pemerintah sebenarnya telah memberikan pembinaan bahasa Indonesia kepada masyarakat. Kita ingat bagaimana TVRI pada masa Orde Baru menyiarkan program pembinaan bahasa Indonesia yang diasuh J.S. Badudu, ahli bahasa Indonesia dari Universitas Padjadjaran. Dalam Orde Baru, hanya ada satu stasiun televisi, yakni TVRI, sehingga banyak orang yang melihat acara itu. Namun, meski sekarang TVRI masih mempunyai program yang sama, apakah program pembinaan bahasa Indonesia masih ditonton banyak orang? 

Kedua, globalisasi dan banyaknya orang yang ingin disebut intelek membuat orang mencampurkkan bahasa asing saat berkomunikasi. Misalnya, bahasa Inggris dan bahasa Arab dengan bahasa Indonesia. Namun, bila SBY, misalnya, menggunakan bahasa campur-campur, apakah semua rakyat paham yang disampaikan itu? Seperti Vicky yang saat kampanye menjadi kepala desa menggunakan bahasa Inggris, mana orang desa paham (jangan-jangan Vicky sendiri juga tak tahu apa yang dia omongkan).

Penggunaan bahasa asing tidak hanya muncul dari mulut pejabat dan masyarakat, namun juga digunakan dalam nama tempat atau sarana-sarana umum. Istilah flyover, underpass, opening, car free day, ana, antum,  akhwat,  istiqomah, darussalam, dan banyak lainnya lagi menyeruak di tengah masyarakat. 

Ketiga, banyak bahasa alay atau bahasa gaul. Bahasa anak muda itu kian marak. Selain memang disukai anak muda, kehadirannya didukung media massa. Banyak media massa, terutama untuk kalangan anak muda, yang menggunakan bahasa itu. Di sini, media massa yang menggunakan bahasa alay juga turut merusak bahsa Indonesia. 

Bila ada orang yang menggunakan bahasa asing dalam bahasa Indonesia, sebenarnya mereka telah melanggar UU No 24 Tahun 2009, mulai pasal 25 hingga pasal 45. Misalnya, bila presiden sering menggunakan istilah asing yang membuat bahasanya campur-campur, berarti dia telah melanggar pasal 28: Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi presiden, wakil presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri, serta pasal 33 (1): Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar