Minggu, 01 September 2013

Bahasa Tubuh

Bahasa Tubuh
Garin Nugroho ;   Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS, 01 September 2013


Dalam sebuah pembekalan calon-calon anggota legislatif, banyak pertanyaan muncul seputar bahasa tubuh calon pemimpin, khususnya berkait tulisan saya di kolom ini tentang tubuh ”Jokowi” yang merepresentasikan tubuh marhaen alias wong cilik sebagai idola baru, mengalahkan rating popularitas tubuh mandor serba tertata dan ganteng ala Presiden SBY.
Tubuh bukanlah sekadar fisik. Tubuh adalah dimensi simbolis dari nilai-nilai politik, ekonomi, hingga sosial. Tubuh direkonstruksi oleh zamannya yang melahirkan idola yang setiap periode mengalami perubahan. Simaklah dalam dunia film, dari Roekiah yang berkebaya dengan tubuh berisi hingga tubuh kurus Christine Hakim yang populer awal tahun 1970.
Oleh karena itu, sebuah pertanyaan muncul: tubuh kandidat presiden semacam apa yang populer untuk 2014?
Bahasa tubuh dalam komunikasi politik menjadi sangat penting mengingat kultur masyarakat Indonesia yang tidak berbudaya baca, tetapi serba visual sekaligus lisan. Bisa diduga, yang muncul kemudian, perlombaan penetrasi tampilan sosok kandidat lewat televisi. Celakanya, 15 tahun pascareformasi ini, penetrasi tokoh-tokoh politik yang berkait dengan isu kandidat presiden hanyalah merupakan pengulangan yang tidak lebih sebagai perlombaan jumlah tayang, tanpa perubahan, serta transformasi citra, visi, hingga perencanaan panduan ke masyarakat.
Yang menarik untuk mendapat catatan adalah metode penetrasi iklan berkaitan dengan sosok Prabowo. Iklan ini menggunakan metode propaganda penuh jargon serta ajakan ke masyarakat yang mengingatkan pada gaya propaganda TVRI. Metode propaganda ini disertai spirit kebangsaan yang dikelola dengan gaya kepemimpinan tokoh-tokoh pembebasan Amerika Latin. Maka, sering kali kata ”saya Prabowo....” dimunculkan sebagai metode penegasan kepemimpinan. Alhasil, kelemahannya adalah menjadi satu dimensi sasaran. Yang perlu dicatat, iklan Prabowo di televisi hadir konsisten dengan mengelola hari-hari nasional.
Metode pengiklanan semacam itu terasa tepat bagi bahasa tubuh Prabowo yang dikenal sebagai militer yang keras, disiplin, dan berani menerobos.
Haruslah dicatat, tidak setiap metode populer cocok bagi bahasa tubuh tokoh tertentu. Sebutlah sosok tubuh Jokowi yang merakyat sangat tepat untuk blusukan. Namun, sosok bahasa tubuh Aburizal ataupun SBY tidaklah terlalu efektif berkait dengan tindak blusukan.
Iklan Prabowo sesungguhnya ibarat pasukan militer yang menancapkan bendera di daerah baru meski sesungguhnya keseluruhan wilayah belum dikuasai secara fisik ataupun organisasi.
Kepopuleran bahasa tubuh kandidat presiden akan bertumbuh seiring dengan metode penghadiran yang tepat disertai pemahaman sosiologis masyarakat tempat bahasa tubuh direkonstruksi. Oleh karena itu, bahasa tubuh kandidat presiden dalam iklan-iklannya akan berhadapan dengan beberapa aspek sosio politik.
Pertama, 15 tahun pascareformasi melahirkan transformasi euforia politik menjadi munculnya masyarakat jenuh politik. Hal ini ditandai dengan merosotnya kepopuleran lembaga utama berbangsa, dari partai hingga DPR. Era jenuh politik ini melahirkan beberapa gejala, yakni ”perlawanan” dengan mengambil idola yang berbeda, sebutlah dari sosok SBY ke Jokowi atau sosok lainnya.
Kedua, era citra politik menjadi era politik pelayanan publik. Oleh karena itu, kepopuleran Jokowi tidak tumbuh semata di televisi dalam ruang debat elite politik. Bahasa tubuh Jokowi masuk ke berbagai wilayah yang menghidupi masyarakat dengan membawa pelayanan yang bersifat terobosan, sebutlah kartu kesehatan. Gagasan ini disampaikan tidak dalam ruang elite politik, tetapi di tengah masyarakat, yang menjadi modal sosial Jokowi mendorong roda pemerintahan dan DPR mendukungnya.
Catatan di atas mengisyaratkan, bahasa tubuh kandidat presiden tidak lagi hanya perlu penetrasi jurus penancapan bendera, tetapi juga dihadapkan dengan tuntutan pelayan publik yang nyata serta era jenuh politik yang penuh paradoks. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar