|
Dalam sebuah
pembekalan calon-calon anggota legislatif, banyak pertanyaan muncul seputar
bahasa tubuh calon pemimpin, khususnya berkait tulisan saya di kolom ini
tentang tubuh ”Jokowi” yang merepresentasikan tubuh marhaen alias wong
cilik sebagai idola baru, mengalahkan rating popularitas tubuh mandor
serba tertata dan ganteng ala Presiden SBY.
Tubuh bukanlah
sekadar fisik. Tubuh adalah dimensi simbolis dari nilai-nilai politik, ekonomi,
hingga sosial. Tubuh direkonstruksi oleh zamannya yang melahirkan idola yang
setiap periode mengalami perubahan. Simaklah dalam dunia film, dari Roekiah
yang berkebaya dengan tubuh berisi hingga tubuh kurus Christine Hakim yang
populer awal tahun 1970.
Oleh karena
itu, sebuah pertanyaan muncul: tubuh kandidat presiden semacam apa yang populer
untuk 2014?
Bahasa tubuh
dalam komunikasi politik menjadi sangat penting mengingat kultur masyarakat
Indonesia yang tidak berbudaya baca, tetapi serba visual sekaligus lisan. Bisa
diduga, yang muncul kemudian, perlombaan penetrasi tampilan sosok kandidat
lewat televisi. Celakanya, 15 tahun pascareformasi ini, penetrasi tokoh-tokoh politik
yang berkait dengan isu kandidat presiden hanyalah merupakan pengulangan yang
tidak lebih sebagai perlombaan jumlah tayang, tanpa perubahan, serta
transformasi citra, visi, hingga perencanaan panduan ke masyarakat.
Yang menarik
untuk mendapat catatan adalah metode penetrasi iklan berkaitan dengan sosok
Prabowo. Iklan ini menggunakan metode propaganda penuh jargon serta ajakan ke
masyarakat yang mengingatkan pada gaya propaganda TVRI. Metode propaganda ini
disertai spirit kebangsaan yang dikelola dengan gaya kepemimpinan tokoh-tokoh
pembebasan Amerika Latin. Maka, sering kali kata ”saya Prabowo....” dimunculkan
sebagai metode penegasan kepemimpinan. Alhasil, kelemahannya adalah menjadi
satu dimensi sasaran. Yang perlu dicatat, iklan Prabowo di televisi hadir
konsisten dengan mengelola hari-hari nasional.
Metode
pengiklanan semacam itu terasa tepat bagi bahasa tubuh Prabowo yang dikenal
sebagai militer yang keras, disiplin, dan berani menerobos.
Haruslah
dicatat, tidak setiap metode populer cocok bagi bahasa tubuh tokoh tertentu.
Sebutlah sosok tubuh Jokowi yang merakyat sangat tepat untuk blusukan.
Namun, sosok bahasa tubuh Aburizal ataupun SBY tidaklah terlalu efektif berkait
dengan tindak blusukan.
Iklan Prabowo
sesungguhnya ibarat pasukan militer yang menancapkan bendera di daerah baru
meski sesungguhnya keseluruhan wilayah belum dikuasai secara fisik ataupun
organisasi.
Kepopuleran
bahasa tubuh kandidat presiden akan bertumbuh seiring dengan metode penghadiran
yang tepat disertai pemahaman sosiologis masyarakat tempat bahasa tubuh
direkonstruksi. Oleh karena itu, bahasa tubuh kandidat presiden dalam
iklan-iklannya akan berhadapan dengan beberapa aspek sosio politik.
Pertama, 15
tahun pascareformasi melahirkan transformasi euforia politik menjadi munculnya
masyarakat jenuh politik. Hal ini ditandai dengan merosotnya kepopuleran
lembaga utama berbangsa, dari partai hingga DPR. Era jenuh politik ini
melahirkan beberapa gejala, yakni ”perlawanan” dengan mengambil idola yang
berbeda, sebutlah dari sosok SBY ke Jokowi atau sosok lainnya.
Kedua, era
citra politik menjadi era politik pelayanan publik. Oleh karena itu,
kepopuleran Jokowi tidak tumbuh semata di televisi dalam ruang debat elite
politik. Bahasa tubuh Jokowi masuk ke berbagai wilayah yang menghidupi
masyarakat dengan membawa pelayanan yang bersifat terobosan, sebutlah kartu
kesehatan. Gagasan ini disampaikan tidak dalam ruang elite politik, tetapi di
tengah masyarakat, yang menjadi modal sosial Jokowi mendorong roda pemerintahan
dan DPR mendukungnya.
Catatan di atas
mengisyaratkan, bahasa tubuh kandidat presiden tidak lagi hanya perlu penetrasi
jurus penancapan bendera, tetapi juga dihadapkan dengan tuntutan pelayan publik
yang nyata serta era jenuh politik yang penuh paradoks. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar