|
Reformasi telah
mengubah peran pemerintah di satu sisi dan peran swasta, warga sipil dan dunia
internasional, di sisi lain. Perubahan terjadi di level politik, tetapi tidak pada
sistem ekonomi. Ini ditandai peran negara yang kian ciut, sebaliknya swasta dan
kaum kapitalis kian sulit diatur.
Hasilnya,
kehadiran negara lewat pelbagai lembaga pengemban pelayanan publik kian lumpuh.
Hari-hari ini kita jadi saksi negara yang lumpuh, tecermin dari
ketidakberdayaan dalam mengendalikan harga pangan.
Pertanyaannya,
mengapa instabilitas harga kebutuhan pokok selalu berulang dan jadi rutinitas
tahunan? Mengapa dari tahun ke tahun masalah laten ini tak pernah berubah?
Kenyataan ini selalu menerbitkan pertanyaan: di manakah kehadiran negara?
Enam masalah
Ada sejumlah
masalah struktural yang membuat prahara harga selalu berulang. Pertama,
kemerosotan produksi pangan, terutama pangan pokok. Pemerintah menetapkan
target ambisius: swasembada jagung, kedelai, gula, dan daging serta surplus
beras 10 juta ton pada tahun 2014. Waktu kian pendek, tetapi tanda- tanda
pencapaian masih jauh.
Menurut angka
ramalan I BPS, produksi padi, jagung, dan kedelai tahun ini masing-masing 69,27
juta ton, 18,84 juta ton pipilan kering, dan 847.160 ton biji kering. Produksi
gula kristal putih diperkirakan 2,5 juta ton dan produksi daging 399.320 ton.
Dari lima komoditas itu, kemungkinan yang targetnya tercapai hanya beras dan
jagung. Kedelai, gula, dan daging mustahil diraih.
Kedua,
liberalisasi kebablasan. Sektor pertanian dan pasar pangan mengalami
liberalisasi besar-besaran sejak Indonesia jadi pasien IMF tahun 1998. Di
sektor pangan, liberalisasi menyangkut pasar, kelembagaan, dan pendanaan. Sejak
itu terjadi banjir impor. Belum sempat dikoreksi, kini liberalisasi diperdalam
lewat pelbagai perjanjian perdagangan bebas, baik bilateral maupun regional.
Bea masuk dipangkas habis. Di Asia rata-rata tarif Indonesia paling rendah:
4,3%. Padahal, India 35,2%, Vietnam 24,9%, Jepang 34,0%, Thailand 24,2%, dan
China 17,4% (The Economist, 2012). Lemahnya karantina, penerapan SNI, dan
berbagai aturan pengaman membuat banjir pangan impor.
Ketiga,
dominasi orientasi pasar kebijakan pangan. Hampir se- mua komoditas pangan,
kecuali beras, diserahkan pada mekanisme pasar. Orientasi ini tak salah kalau
infrastruktur sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan konsumen kebal
guncangan pasar. Kenyataannya, ketiga persyaratan itu belum terpenuhi.
Keempat,
instrumen stabilisasi amat terbatas. Sejak Bulog menjadi perum, praktis kita
tak memiliki badan penyangga yang memiliki kekuatan besar menstabilkan pasokan
dan harga pangan. Bulog yang dulu perkasa, mengurus enam pangan pokok dan
mendapatkan berbagai privilege semua telah dipreteli. Kini Bulog
hanya mengurus beras, itu pun dengan kapasitas terbatas.
Kelima,
konsentrasi distribusi sejumlah komoditas pangan di tangan segelintir pelaku.
Orientasi pasar dan absennya negara sebagai stabilisator harga pangan membuat
swasta leluasa mengambil alih kendali tata niaga. Fungsi stabilisasi harga kini
berada di tangan swasta. Padahal, swasta selalu berorientasi maksimalisasi
untung. Jalur distribusi yang konsentris dan oligopolis ini terjadi pada dua
sumber pasokan pangan: produksi domestik dan impor.
Keenam,
absennya kelembagaan pangan. Sejak menteri negara urusan pangan dibubarkan pada
1999, tak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan serta
mengoordinasikan dan mengarahkan pembangunan pangan. Bisa dikatakan, saat ini
tak ada kelembagaan yang mengurus pangan dalam arti riil.
Hasil akhir
jalinan berbagai faktor itu membuat kinerja produksi pangan domestik merosot
diiringi melonjaknya pangan impor. Pada 2012, nilai impor pangan Rp 63,9
triliun, hortikultura Rp 12,9 triliun, dan peternakan Rp 15,4 triliun.
Peningkatan impor terbesar terjadi pada subsektor pangan. Nilai impor paling
besar disumbang gandum, kedelai, beras, jagung, gula, susu, daging dan bakalan
sapi, aneka buah-buahan, serta bawang putih.
Saat ini
Indonesia bergantung pada 100 persen impor gandum, 78 persen kedelai, 72 persen
susu, 54 persen gula, 18 persen daging sapi, dan 95 persen bawang putih.
Sebagian besar diimpor dari negara-negara maju. Sampai sekarang belum ada
tanda-tanda ketergantungan akut impor itu menurun. Padahal, permintaan pangan
terus melonjak.
Empat strategi
Untuk mengurai
beberapa problem struktural itu, diperlukan sejumlah kebijakan. Inti semua
kebijakan tersebut adalah menghadirkan kembali fungsi negara sebagai pelindung
rakyat.
Pertama,
meningkatkan produksi, produktivitas, serta efisiensi usaha tani dan tata niaga
komoditas pangan di hulu. Untuk pangan tropis berbasis sumber daya lokal, tak
ada alasan tidak swasembada. Kebijakan ini harus ditopang perluasan lahan
pangan, perbaikan infrastruktur (irigasi, jalan, jembatan), pembenahan sistem
informasi harga, pasar, dan teknologi.
Kedua,
mengoreksi ulang liberalisasi yang kebablasan. Adalah gegabah agresif
mengintegrasikan perekonomian dan pasar domestik dengan perekonomian dan pasar
global dan regional tanpa banyak berbuat mengintegrasikan perekonomian
nasional. Pemerintah abai membangun jaring-jaring pengaman pasar. Rakyat,
terutama petani, dibiarkan berjibaku mencari selamat sendiri-sendiri. Hasilnya:
banjir pangan impor. Tersedia dua jalan untuk mengakhiri masalah ini: mengkaji
ulang pelbagai perjanjian perdagangan bebas yang kebablasan dan memperbaiki
daya saing ekonomi nasional.
Ketiga,
mengembalikan fungsi negara sebagai stabilisator harga pangan strategis.
Caranya, merevitalisasi Bulog dengan memperluas kapasitasnya. Bulog tidak hanya
mengurus beras, tetapi juga diserahi mengurus sejumlah komoditas penting lain
disertasi instrumen stabilisasi yang lengkap, seperti cadangan, harga (atas dan
bawah), pengaturan impor (waktu dan kuota), dan anggaran yang memadai.
Keempat, segera
menunaikan pembentukan kelembagaan pangan, seperti amanat Pasal 126 UU No
18/2012 tentang Pangan. Kehadiran kelembagaan pangan tak bisa ditawar-tawar
untuk menyelesaikan centang perenang dan karut-marut pangan yang tak terurus
selama 14 tahun. Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya besar untuk
mengatasi hal rutin yang mestinya bisa diselesaikan dengan cara cerdas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar