Senin, 02 September 2013

Negara dan Pengelolaan Pangan

Negara dan Pengelolaan Pangan
Khudori ;   Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
KOMPAS, 02 September 2013


Reformasi telah mengubah peran pemerintah di satu sisi dan peran swasta, warga sipil dan dunia internasional, di sisi lain. Perubahan terjadi di level politik, tetapi tidak pada sistem ekonomi. Ini ditandai peran negara yang kian ciut, sebaliknya swasta dan kaum kapitalis kian sulit diatur.
Hasilnya, kehadiran negara lewat pelbagai lembaga pengemban pelayanan publik kian lumpuh. Hari-hari ini kita jadi saksi negara yang lumpuh, tecermin dari ketidakberdayaan dalam mengendalikan harga pangan.
Pertanyaannya, mengapa instabilitas harga kebutuhan pokok selalu berulang dan jadi rutinitas tahunan? Mengapa dari tahun ke tahun masalah laten ini tak pernah berubah? Kenyataan ini selalu menerbitkan pertanyaan: di manakah kehadiran negara?
Enam masalah
Ada sejumlah masalah struktural yang membuat prahara harga selalu berulang. Pertama, kemerosotan produksi pangan, terutama pangan pokok. Pemerintah menetapkan target ambisius: swasembada jagung, kedelai, gula, dan daging serta surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014. Waktu kian pendek, tetapi tanda- tanda pencapaian masih jauh.
Menurut angka ramalan I BPS, produksi padi, jagung, dan kedelai tahun ini masing-masing 69,27 juta ton, 18,84 juta ton pipilan kering, dan 847.160 ton biji kering. Produksi gula kristal putih diperkirakan 2,5 juta ton dan produksi daging 399.320 ton. Dari lima komoditas itu, kemungkinan yang targetnya tercapai hanya beras dan jagung. Kedelai, gula, dan daging mustahil diraih.
Kedua, liberalisasi kebablasan. Sektor pertanian dan pasar pangan mengalami liberalisasi besar-besaran sejak Indonesia jadi pasien IMF tahun 1998. Di sektor pangan, liberalisasi menyangkut pasar, kelembagaan, dan pendanaan. Sejak itu terjadi banjir impor. Belum sempat dikoreksi, kini liberalisasi diperdalam lewat pelbagai perjanjian perdagangan bebas, baik bilateral maupun regional. Bea masuk dipangkas habis. Di Asia rata-rata tarif Indonesia paling rendah: 4,3%. Padahal, India 35,2%, Vietnam 24,9%, Jepang 34,0%, Thailand 24,2%, dan China 17,4% (The Economist, 2012). Lemahnya karantina, penerapan SNI, dan berbagai aturan pengaman membuat banjir pangan impor.
Ketiga, dominasi orientasi pasar kebijakan pangan. Hampir se- mua komoditas pangan, kecuali beras, diserahkan pada mekanisme pasar. Orientasi ini tak salah kalau infrastruktur sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan konsumen kebal guncangan pasar. Kenyataannya, ketiga persyaratan itu belum terpenuhi.
Keempat, instrumen stabilisasi amat terbatas. Sejak Bulog menjadi perum, praktis kita tak memiliki badan penyangga yang memiliki kekuatan besar menstabilkan pasokan dan harga pangan. Bulog yang dulu perkasa, mengurus enam pangan pokok dan mendapatkan berbagai privilege semua telah dipreteli. Kini Bulog hanya mengurus beras, itu pun dengan kapasitas terbatas.
Kelima, konsentrasi distribusi sejumlah komoditas pangan di tangan segelintir pelaku. Orientasi pasar dan absennya negara sebagai stabilisator harga pangan membuat swasta leluasa mengambil alih kendali tata niaga. Fungsi stabilisasi harga kini berada di tangan swasta. Padahal, swasta selalu berorientasi maksimalisasi untung. Jalur distribusi yang konsentris dan oligopolis ini terjadi pada dua sumber pasokan pangan: produksi domestik dan impor.
Keenam, absennya kelembagaan pangan. Sejak menteri negara urusan pangan dibubarkan pada 1999, tak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan serta mengoordinasikan dan mengarahkan pembangunan pangan. Bisa dikatakan, saat ini tak ada kelembagaan yang mengurus pangan dalam arti riil.
Hasil akhir jalinan berbagai faktor itu membuat kinerja produksi pangan domestik merosot diiringi melonjaknya pangan impor. Pada 2012, nilai impor pangan Rp 63,9 triliun, hortikultura Rp 12,9 triliun, dan peternakan Rp 15,4 triliun. Peningkatan impor terbesar terjadi pada subsektor pangan. Nilai impor paling besar disumbang gandum, kedelai, beras, jagung, gula, susu, daging dan bakalan sapi, aneka buah-buahan, serta bawang putih.
Saat ini Indonesia bergantung pada 100 persen impor gandum, 78 persen kedelai, 72 persen susu, 54 persen gula, 18 persen daging sapi, dan 95 persen bawang putih. Sebagian besar diimpor dari negara-negara maju. Sampai sekarang belum ada tanda-tanda ketergantungan akut impor itu menurun. Padahal, permintaan pangan terus melonjak.
Empat strategi
Untuk mengurai beberapa problem struktural itu, diperlukan sejumlah kebijakan. Inti semua kebijakan tersebut adalah menghadirkan kembali fungsi negara sebagai pelindung rakyat.
Pertama, meningkatkan produksi, produktivitas, serta efisiensi usaha tani dan tata niaga komoditas pangan di hulu. Untuk pangan tropis berbasis sumber daya lokal, tak ada alasan tidak swasembada. Kebijakan ini harus ditopang perluasan lahan pangan, perbaikan infrastruktur (irigasi, jalan, jembatan), pembenahan sistem informasi harga, pasar, dan teknologi.
Kedua, mengoreksi ulang liberalisasi yang kebablasan. Adalah gegabah agresif mengintegrasikan perekonomian dan pasar domestik dengan perekonomian dan pasar global dan regional tanpa banyak berbuat mengintegrasikan perekonomian nasional. Pemerintah abai membangun jaring-jaring pengaman pasar. Rakyat, terutama petani, dibiarkan berjibaku mencari selamat sendiri-sendiri. Hasilnya: banjir pangan impor. Tersedia dua jalan untuk mengakhiri masalah ini: mengkaji ulang pelbagai perjanjian perdagangan bebas yang kebablasan dan memperbaiki daya saing ekonomi nasional.
Ketiga, mengembalikan fungsi negara sebagai stabilisator harga pangan strategis. Caranya, merevitalisasi Bulog dengan memperluas kapasitasnya. Bulog tidak hanya mengurus beras, tetapi juga diserahi mengurus sejumlah komoditas penting lain disertasi instrumen stabilisasi yang lengkap, seperti cadangan, harga (atas dan bawah), pengaturan impor (waktu dan kuota), dan anggaran yang memadai.
Keempat, segera menunaikan pembentukan kelembagaan pangan, seperti amanat Pasal 126 UU No 18/2012 tentang Pangan. Kehadiran kelembagaan pangan tak bisa ditawar-tawar untuk menyelesaikan centang perenang dan karut-marut pangan yang tak terurus selama 14 tahun. Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya besar untuk mengatasi hal rutin yang mestinya bisa diselesaikan dengan cara cerdas. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar