Senin, 02 September 2013

Kultur Keserakahan

Kultur Keserakahan
J Soedradjad Djiwandono ;   Profesor pada S Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura, dan Guru Besar Emeritus Ekonomi Universitas Indonesia
KOMPAS, 02 September 2013


Kultur serakah dipopulerkan, antara lain, melalui film yang diedarkan tahun 1987, Wall Street. Film ini menggambarkan perilaku tokoh fiksional, seorang pialang pasar modal Wall Street bernama Gordon Gekko, yang diperankan oleh Michael Douglas. Peran ini mengantarnya menjadi penerima Oscar tahun itu juga.
Gordon Gekko meyakini, keserakahan itu baik dalam berusaha. Tokoh keuangan ini mengumandangkan prinsip serakah dalam berusaha melalui pernyataannya dalam suatu adegan rapat pemegang saham perusahaan. Dia secara berapi-api mengatakan, ”Greed for lack of a better word is good.” Pernyataan ini disambut dengan tepuk tangan riuh tanda mengamini dan populerlah semboyan greed is good.
Sejak kebangkrutan Lehman Brothers, September 2008—yang didahului dengan terjadinya kehancuran pinjaman hipotek bawah standar (subprime mortgage loans)—banyak buku laporan penelitian dan tulisan jurnalis keuangan-perbankan yang membahas kemelut keuangan itu.
Kebanyakan publikasi tersebut menggambarkan bahwa kegiatan investasi yang terlalu berisiko yang dibiayai dengan pinjaman (highly leveraged) dengan menciptakan instrumen keuangan yang sangat kompleks melalui sekuritisasi—seperti CDO dan CDO sintetis—berakar pada kuatnya aji mumpung (moral hazard) dan kultur serakah.
Operasi keuangan dengan instrumen yang sangat kompleks tersebut akhirnya menyebabkan terjadinya krisis keuangan global yang kemudian mengakibatkan terjadinya resesi tajam di banyak negara sehingga dinamakan the great recession.
Mengatasi kultur serakah
Menghadapi masalah tersebut, pemerintah bersama otoritas moneter-perbankan di AS dan negara-negara lain bersepakat untuk mengatasi masalah krisis keuangan dan menangani dampak pahit yang diakibatkannya dengan melakukan tindakan penyelamatan (bail out) terhadap bank-bank dan korporasi lain, dilanjutkan dengan penataan kembali sistem keuangan global dan pengetatan pengawasan terhadap bank dan lembaga keuangan serta sistem keuangan.
Yang terakhir dilakukan adalah dengan menerbitkan peraturan perundangan yang membatasi kegiatan yang berisiko tinggi, terutama dalam kegiatan investasi dengan menggunakan dananya sendiri dan dana pihak ketiga, membatasi apa yang disebut proprietary trading melalui aturan ketat, dikenal sebagai
Volcker Rule. Aturan tentang kecukupan modal diperketat, disesuaikan dengan risiko kegiatan usaha, dikenal sebagai Basel III. Penggunaan dana yang berasal dari pajak untuk penyelamatan bank dibatasi dan aturan yang lain.
Di AS, negara asal timbulnya krisis keuangan global tahun 2008, aturan-aturan ini mendasarkan diri pada undang-uang baru, ”Dodd-Frank Wall Street Reform and Consumer Protection Act of 2011”. Namun, negara-negara maju lain, Inggris dan negara-negara Eropa lain, bahkan praktis semua negara di dunia, mengikutinya dengan aturan perundangan serupa.
Semua dilakukan untuk membangun sistem keuangan-perbankan yang lebih tangguh untuk dapat melayani ekonomi dunia yang menghadapi risiko serta ketidakpastian yang tinggi dan meningkat. Langkah-langkah tersebut menunjukkan tekad yang bulat dari negara-negara di dunia untuk menghadapi dunia keuangan-perbankan yang operasinya dilatarbelakangi oleh kultur serakah.
Survei tentang kultur serakah
Akan tetapi, belum lima tahun sejak terjadinya krisis keuangan dan penanggulangan yang dilakukan seperti disinggung di atas, baru-baru ini dilaporkan hasil survei suatu perusahaan konsultan hukum, Labaton Sucharow, yang mengagetkan. Lembaga ini membuat survei mengenai kultur serakah di Wall Street terhadap 250 pelaku keuangan; seperti pedagang sekuritas, manajer portofolio, bankir investasi, manajer perusahaan lindung nilai (hedge funds), dan analis keuangan dari sejumlah lembaga keuangan. Hasil survei tersebut menyebutkan hal-hal berikut.
Sebanyak 24 persen dari mereka mengaku bersedia melakukan perdagangan orang dalam (insiders trading) kalau tidak ketahuan dan memperoleh imbalan 10 juta dollar AS. Buat mereka yang bekerja kurang dari 10 tahun (eksekutif muda) angkanya 38 persen. Sebanyak 24 persen merasa bahwa lembaga keuangan tempat mereka bekerja melakukan kegiatan melanggar hukum, seperti pemutihan modal atau pencucian uang dan tindakan illicit financing lain.
Sebanyak 52 persen percaya bahwa lembaga keuangan di luar tempat bekerja mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum yang serupa. Sebanyak 29 persen percaya bahwa untuk sukses dalam industri keuangan mereka harus berani melakukan kegiatan yang tidak legal atau melanggar etika bisnis.
Sebanyak  28 persen dari mereka merasa bahwa industri keuangan tidak menomorsatukan kepentingan nasabah (http://business.time.com/2013/ 07/17/gordon-gekko-lives-new-evidence-that-greed-is-rampant-on-wall-street/#ixzz2ZpkHDleD). Tentu saja validitas dari survei tersebut harus dicek sebelum kita memercayai semua ini. Sebanyak 26 persen merasa bahwa sistem remunerasi yang berlaku mendorong eksekutor keuangan melakukan hal-hal yang tidak etis atau melanggar hukum. Dan, bahkan seandainya survei ini benar, kita tidak boleh membuat generalisasi bahwa semua pelaku pasar keuangan di Wall Street melakukan hal-hal yang melawan hukum.
Akan tetapi, apabila survei ini benar, jelas ada ketidakberesan di dalam industri keuangan. Kalau hampir sepertiga dari pelaku pasar percaya bahwa mereka harus melakukan sesuatu kegiatan yang melawan hukum untuk berhasil, atau berani melakukan kegiatan yang melawan hukum, seperti perdagangan orang dalam untuk memperoleh imbalan yang besar asal tidak ketahuan, tentu ini mengerikan.
Semua ini bertentangan sekali dengan aturan dan kaidah kerja dari lembaga keuangan yang menomorsatukan kepentingan nasabah, menjunjung tinggi integritas dan memegang teguh bahwa kepercayaan (trust) adalah basis operasi mereka. Keprihatinan ini lebih besar kalau benar bahwa eksekutif muda bahkan lebih berani melakukan kegiatan yang tidak terpuji itu. Mengapa? Karena mereka adalah para pemimpin industri keuangan di masa depan.
Antidot terhadap keserakahan
Survei serupa belum dilaksanakan di Indonesia. Namun, pengamatan sangat kasar kadang menunjukkan adanya kecenderungan serupa di Tanah Air. Korupsi yang tidak mereda, perilaku bak robber baron, orang kaya mendadak karena melakukan kegiatan usaha yang tidak peduli etika, hedonisme serta konsumerisme yang meningkat, dan sebagainya rasanya tidak jauh dari kultur serakah. Berita di salah satu media daring yang berjudul ”Kalau Rudi yang Baik Saja Korupsi Apalagi yang Lain?” sepertinya menunjukkan kekhawatiran tersebut.
Namun, kita tidak boleh berputus asa terhadap masa depan kita bersama. Kita harus memberikan dukungan terhadap tekad dan upaya yang kuat dari pemerintah bersama otoritas moneter dan pengawasan di seluruh dunia untuk membangun infrastruktur finansial yang tangguh menghadapi semua itu.
Di AS dan Eropa kita mencatat akhir dari cerita buruk Bernard Madoff dengan skema Ponzi-nya, pialang Kweku Adoboli yang menyebabkan UBS rugi lebih dari 2 miliar dollar AS, Raj Rajaratnam dari Galleon dengan penipuan sekuritas, Rajat Gupta dan Fabrice Tourre dari Goldman Sachs, SAC Capital, serta sejumlah bank raksasa yang harus membayar denda yang sangat besar karena pelanggaran aturan, seperti skandal Libor.
Kultur serakah memang susah dihilangkan, tetapi sejumlah contoh sanksi hukum tersebut mudah-mudahan menjadi penangkal terhadap kejahatan keuangan di masa depan. Semoga. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar