Senin, 02 September 2013

Narasi Kode Koruptor

Narasi Kode Koruptor
Arif Rohman ;   Peneliti dari Paradigma Institute, Lembaga Pers Mahasiswa
(LPM) STAIN Kudus
SUARA MERDEKA, 02 September 2013


KITA mengenal sandi (morse) pada kegiatan Pramuka. Ada sandi rumput, sandi batu, sandi kotak, sandi koordinat, sandi semafor dan lain-lain. Belakangan kita mengenal sandi-sandi korupsi. Ada apel malang, apel washington, pak lurah, ketua besar dan masih banyak yang belum terungkap.

Kode adalah tanda yang disepakati untuk maksud tertentu. Kode dibuat untuk menyimpan rahasia. Bahasa yang semula dapat dipahami awam, diganti dengan kode-kode tertentu, yang hanya dimengerti oleh anggota atau komunitas itu. Layaknya seorang marinir di medan perang, kode mengomando pergerakan anak buahnya, demi kesuksesan sebuah misi. Kode digunakan agar suatu pesan tidak terbaca oleh musuh.

Komunikasi para koruptor pun mulai mengenal tren sandi. Komunikasi pemulusan delik korupsi, entah pesan singkat (SMS), ataupun percakapan lewat telepon, menggunakan sandi. Peristilahan yang semula awam, diganti dengan bahasa yang tidak lazim. Tujuannya jelas agar delik korupsi tak mudah terendus.
Begitu, kode menjadi bagian strategi korupsi. Strategi penting disusun, untuk mengawal organisasi, lembaga, atau individu mencapai tujuannya sesuai dengan peluang-peluang dan ancaman-ancaman lingkungan eksternal yang dihadapi (A Halim). Wilayah kerja kode koruptor adalah menghindari ancaman lingkungan eksternal.

Ancaman yang paling menakutkan adalah penyadapan. Kode korupsi pun bisa beragam. Hanya yang terlibat yang tahu kode itu. Kasus terkini, suap impor daging sapi, Fathanah mengungkap empat sandi, ’’hormat putih’’, ’’daging busuk’’, ’’pushtun’’ dan ’’jawi syarkiyah’’. Sebelumnya, nama-nama buah seperti ”apel”, ”semangka”, dan ”durian” muncul dalam kasus Wisma Atlet SEA Games XXVI.

Adapun simbol agama, seperti ”pengajian” dan ”maktab” menguak dalam kasus pengadaan Alquran. Ada juga istilah-istilah lain, misal ”pelumas”, ”pak lurah”, ”kebugaran”, ”penyanyi”, ”ketua besar” dan mungkin masih banyak kode yang belum terungkap. Narasi tentang kode koruptor kini sudah seperti layaknya novel milik Dan Brown (Angels and Demons, 2000; The Da Vinci Code, 2003; The Lost Symbol, 2009; Inferno, 2013). Pelbagai isu korupsi tak lagi soal penggelapan uang semata.

Pasalnya, terdapat simbol-simbol atau kode yang menguak, layaknya karya kode Leonardo Da Vinci yang perlu dipecahkan Robert Langdon, sang tokoh rekaan dalam novel Dan Brown. Dalam novel, Robert Langdon yang ahli simbol itu perlu memecahkan kode-kode demi sebuah pencarian dan keselamatan banyak orang.

Perjalanan sulit yang kadang membuat nyawanya sendiri terancam. Selayak Langdon, kita juga perlu tahu ”arti” sandi dalam kasus korupsi. Sama halnya, ketika Langdon perlu memahami kode-kode Da vinci. Harta rakyat harus diselamatkan. Untuk dapat mengerti permainan bahasa korupsi, kita perlu memahami konsep language game yang dikemukakan Ludwig Wittgenstein (1889-1951).

Hans-Johann Glock dalam A Wittgenstein Dictionary (2004) menjelaskan konsep permainan bahasa Wittgenstein itu menjadi tiga bagian. Pertama; sebagaimana halnya sebuah permainan, bahasa memiliki aturan-aturan yang membentuknya, yakni tata bahasa. Kedua; makna dari sebuah kata tidak merujuk pada objek tertentu, tetapi ditentukan aturan-aturan yang meregulasikannya, dan ketiga; sebuah maksud tidak dapat beroperasi apabila tidak melibatkan sistem aturan ke dalam permainan itu.

Tanda Pengenal

Sandi-sandi dalam delik korupsi di Indonesia merupakan tanda yang bersifat konvensional. Tanda-tanda linguistik umumnya merupakan simbol. Suatu tanda yang sudah ada aturan atau kesepakatan yang dipatuhi bersama. Simbol ini tidak bersifat global karena tiap pelaku memiliki simbol-simbol tersendiri, seperti adat-istiadat daerah yang satu belum tentu sama dengan adat-istiadat daerah yang lain.

Pemakaian kata ”apel malang” dan ”apel washington” sudah disepakati antara Mindo Rosalina Manullang dan Angelina Sondakh bahwa itu berarti ”uang rupiah” dan ”uang dalam nilai dollar”. Tidak hanya itu, pada lain kesempatan keduanya juga menggunakan istilah lain (’’pelumas’’dan ’’semangka’’) untuk maksud yang sama yakni uang.

Hal itu supaya tidak terlalu vulgar, ujar Rosa seperti yang dilansir berbagai media. Berbeda dari Fathanah yang menggunakan kata ”daging busuk” sebagai pengganti uang. Permainan bahasa (language game) koruptor ini mengarah pada kesan yang lebih halus, terpilih, dan penuh teka-teki, selain membuat mereka lebih nyaman. Setidak-tidaknya membuat ”penikmatnya” menduga-duga, menerka-nerka.
Kata-kata yang awalnya ”tabu” juga menjadi lebih permisif karena permainan bahasa. Menjadi menarik dan mendesak, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami tren permainan bahasa dalam panggung politik negeri.

Masih banyak game korupsi yang berkeliaran di sana. Komisi antikorupsi tersebut tidak boleh kalah main, apalagi menyerah. Selayak Langdon dalam novel Dan Brown, yang terus ingin memecahkan kode, dari satu edisi ke edisi berikutnya. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar