Kamis, 12 September 2013

Badan REDD+, Harapan dan Tantangan

Badan REDD+, Harapan dan Tantangan
Deni Bram  ;   Doktor Hukum Perubahan Iklim UI,
Pengajar Hukum Lingkungan Pascasarjana Universitas Pancasila
MEDIA INDONESIA, 12 September 2013


SETELAH ditunggu lebih dari 3 tahun, akhirnya lembaga yang banyak dibicarakan dalam langkah mitigasi perubahan iklim di Indonesia terbentuk. Pada 2 September 2013 pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 62 tahun 2013 tentang Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan, dan Lahan Gambut.

Pemerintah sebelumnya telah melakukan tahapan persiapan panjang dengan keluarnya Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+, yang salah satu tugasnya mempersiapkan hadirnya lembaga REDD di Indonesia dengan masa kedaluwarsa 31 Desember 2010 atau dapat diperpanjang hingga 30 Juni 2011. Satuan tugas (satgas) pada termin waktu pertama ternyata tidak mampu memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Kondisi ini akhir nya membuat presiden harus memberikan perpanjangan waktu dengan mengeluarkan Keppres Nomor 5 tahun 2013 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ pada 22 Januari 2013 dengan memberikan tenggat baru keberadaan Lembaga REDD+, yaitu pada 30 Juni 2013. Saat ini dengan hadirnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 62 tahun 2013, presiden telah menunaikan janji sekaligus memberikan payung hukum dalam pelaksanaan isu REDD di Indonesia.

Komite pemangku kepentingan

Langkah apresiatif patut ditujukan kepada pemerintah yang akhirnya dapat merealisasikan janji normatif dalam upaya menyelamatkan iklim dunia. Namun, paling tidak terdapat 3 (tiga) isu menarik yang tertuang dalam instrumen hukum ini untuk disoroti sebagai suatu bentuk harapan dan tantangan ke depan dalam tataran implementatif.

Lembaga utama yang diharapkan dari perpres ini ialah h hadirnya Badan REDD+. Nah mun, terdapat hal menarik saat salah satu amanat dari Pasal 20 Perpres Nomor 62 tahun 2013 menuntut hadirnya Komite Pemangku Kepentingan. Komite ini dibuat dalam rangka menyalurkan aspirasi para pemangku agar sesuai dengan tujuan dari pelaksanaan REDD+ ini. Selain lembaga­lembaga formal baik di pusat maupun di daerah terkait dengan proyek REDD, salah satu subjek penting yang diberikan alas hukum dalam konteks ini adalah masyarakat adat.

Hadirnya putusan dari Mahkamah Konstitusi Nomor 35/ PUU/X/2012 terkait dengan pengakuan hutan adat sebagai hutan masyarakat adat membuat dinamika pemangku kepentingan mengalami pergeseran yang signifikan. Sebagai bagian dari forest dependent community, masyarakat adat tidak dapat lagi dianggap sebagai objek, tetapi sudah menjadi subjek. Sebagai perbandingan dapat dilihat dari hadirnya lembaga sejenis di Kongo dengan hadirnya Komite Nasional REDD. Dalam komposisi dari Komite Nasional REDD, perwakilan dari masyarakat adat dan masyarakat sipil mendapatkan porsi sepertiga yang akan memberikan kesempatan kepada mereka untuk turut serta dalam pembuatan keputusan, dan memiliki peran pengawasan dalam pelaksanaan serta pemantauan proses REDD. Mereka bisa berhubungan langsung dengan negosiator dari United Nation Framework Convention on Climate Change.

Sementara itu, terkait dengan masyarakat lokal, berbagai bentuk laporan dan konsultasi dilakukan secara berkesinambungan guna memastikan terdapat proses yang aktif dan transparan sehingga masyara kat adat tidak hanya terlibat dalam tataran perencanaan semata, tetapi juga hadir dalam rencana aksi yang akan dilakukan. Proses pelibatan masyarakat adat dan masyarakat sipil menjadi sangat layak untuk ditunggu.

Peraturan menteri

Pada 2009 Indonesia tercatat sebagai negara pertama yang memberikan respons hukum terkait dengan REDD dalam langkah mitigasi pada tingkat dunia. Dari aspek kebijakan hukum, Indonesia memiliki keunikan pada saat absennya regulasi pada tingkat nasional untuk mewadahi pelaksanaan REDD+ secara utuh. Adapun regulasi yang mengatur mengenai REDD dalam hukum Indonesia hanya terdapat dalam instrumen Peraturan Menteri (Permen) Kehutanan Nomor 30 tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). Secara hierarki, kedudukan dari permen tidak diakui dalam susunan jenis peraturan perundang-undangan dalam hukum positif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-­undangan. Tanggapan tergesa­-gesa serta cenderung reaksioner sempat disematkan kepada Indonesia. Kini dalam waktu 4 tahun kemudian hadir kembali peraturan dengan substansi yang sama, tetapi dengan pilihan instrumen hukum yang berbeda. Hal ini tentu akan memberikan ketidakpastian terkait dengan implementasi di lapangan. Bahkan jauh daripada itu, hal ini kembali mempertegas bahwa pelaksanaan proyek REDD di Indonesia selama ini, yang berbasis Permenhut, merupakan langkah ilegal karena hanya berdasar pada hasil Conference of the Parties 13 di Bali semata sebagai dasar tindak lanjut secara hukum.

Dalam konteks ini seharusnya keberadaan dari letter of intent antara pemerintah Indonesia dan kerajaan Norwegia menjadi dasar rujukan hukum. Selain itu, keberadaan dari Permenhut Nomor 30 tahun 2009 merupakan bentuk lompatan hukum karena presiden selaku pemegang kekuasaan administrasi negara tertinggi tidak dilibatkan. Karena itu, keberadaan dari Permenhut Nomor 30 tahun 2009 ini secara konstitusional cacat sehingga pekerjaan rumah yang menunggu pascahadirnya Badan REDD+ ini adalah sinkronisasi dengan harmonisasi leading sector yang akan memainkan peran dalam skema proyek REDD+.

Komitmen tanpa alat ukur

Indonesia menyampaikan komitmennya untuk melakukan tindakan pengurangan emisi sebesar 26% tanpa bantuan asing, dan 41% dengan bantuan asing pada 2009 di pertemuan G20. Komitmen itu didaftarkan dalam instrumen Copenhagen Accord tersebut. Namun, komitmen Indonesia memiliki tolok ukur (baseline) yang absurd, yaitu hanya berbasis business as usual (BAU). Memang dalam praktiknya tidak ditentukan jenis baseline dengan merujuk pada model bottom up seperti ini.


Dari beberapa negara yang mencatatkan komitmennya di Copenhagen Accord terlihat bahwa baseline waktu merupakan alat ukur yang lebih jelas. Sebagai perbandingan, Australia memiliki komitmen sebesar 5%-25% di bawah emisi pada 2000, sedangkan China mempunyai komitmen 40-45% di bawah emisi 2005 dalam intensitas emisi. Hal tersebut terdengar lebih nyata dan dapat diukur dengan pasti daripada hanya sekedar BAU yang dapat diturunkan atau naikkan sesuka hati dari negara yang memberikan komitmen. Dampak dari perubahan iklim tidak hanya diderita oleh masyarakat saat ini, tetapi juga generasi yang akan datang. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar