|
SETELAH
ditunggu lebih dari 3 tahun, akhirnya lembaga yang banyak dibicarakan dalam
langkah mitigasi perubahan iklim di Indonesia terbentuk. Pada 2 September 2013 pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 62 tahun
2013 tentang Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi,
Degradasi Hutan, dan Lahan Gambut.
Pemerintah sebelumnya telah
melakukan tahapan persiapan panjang dengan keluarnya Keputusan Presiden
(Keppres) Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan
Pembentukan Kelembagaan REDD+, yang salah satu tugasnya mempersiapkan hadirnya
lembaga REDD di Indonesia dengan masa kedaluwarsa 31 Desember 2010 atau dapat
diperpanjang hingga 30 Juni 2011. Satuan tugas (satgas) pada termin waktu
pertama ternyata tidak mampu memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan.
Kondisi ini akhir nya membuat presiden harus memberikan perpanjangan waktu
dengan mengeluarkan Keppres Nomor 5 tahun 2013 tentang Perubahan atas Keputusan
Presiden Nomor 25 tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+
pada 22 Januari 2013 dengan memberikan tenggat baru keberadaan Lembaga REDD+,
yaitu pada 30 Juni 2013. Saat ini dengan hadirnya Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor 62 tahun 2013, presiden telah menunaikan janji sekaligus memberikan
payung hukum dalam pelaksanaan isu REDD di Indonesia.
Komite pemangku kepentingan
Langkah apresiatif patut ditujukan
kepada pemerintah yang akhirnya dapat merealisasikan janji normatif dalam upaya
menyelamatkan iklim dunia. Namun, paling tidak terdapat 3 (tiga) isu menarik
yang tertuang dalam instrumen hukum ini untuk disoroti sebagai suatu bentuk
harapan dan tantangan ke depan dalam tataran implementatif.
Lembaga utama yang diharapkan dari
perpres ini ialah h hadirnya Badan REDD+. Nah mun, terdapat hal menarik saat
salah satu amanat dari Pasal 20 Perpres Nomor 62 tahun 2013 menuntut hadirnya
Komite Pemangku Kepentingan. Komite ini dibuat dalam rangka menyalurkan
aspirasi para pemangku agar sesuai dengan tujuan dari pelaksanaan REDD+ ini.
Selain lembagalembaga formal baik di pusat maupun di daerah terkait dengan
proyek REDD, salah satu subjek penting yang diberikan alas hukum dalam konteks
ini adalah masyarakat adat.
Hadirnya putusan dari Mahkamah
Konstitusi Nomor 35/ PUU/X/2012 terkait dengan pengakuan hutan adat sebagai
hutan masyarakat adat membuat dinamika pemangku kepentingan mengalami
pergeseran yang signifikan. Sebagai bagian dari forest dependent community, masyarakat adat tidak dapat lagi
dianggap sebagai objek, tetapi sudah menjadi subjek. Sebagai perbandingan dapat
dilihat dari hadirnya lembaga sejenis di Kongo dengan hadirnya Komite Nasional
REDD. Dalam komposisi dari Komite Nasional REDD, perwakilan dari masyarakat
adat dan masyarakat sipil mendapatkan porsi sepertiga yang akan memberikan kesempatan
kepada mereka untuk turut serta dalam pembuatan keputusan, dan memiliki peran
pengawasan dalam pelaksanaan serta pemantauan proses REDD. Mereka bisa
berhubungan langsung dengan negosiator dari United
Nation Framework Convention on Climate Change.
Sementara itu, terkait dengan
masyarakat lokal, berbagai bentuk laporan dan konsultasi dilakukan secara
berkesinambungan guna memastikan terdapat proses yang aktif dan transparan
sehingga masyara kat adat tidak hanya terlibat dalam tataran perencanaan semata,
tetapi juga hadir dalam rencana aksi yang akan dilakukan. Proses pelibatan
masyarakat adat dan masyarakat sipil menjadi sangat layak untuk ditunggu.
Peraturan menteri
Pada 2009 Indonesia tercatat
sebagai negara pertama yang memberikan respons hukum terkait dengan REDD dalam
langkah mitigasi pada tingkat dunia. Dari aspek kebijakan hukum, Indonesia
memiliki keunikan pada saat absennya regulasi pada tingkat nasional untuk
mewadahi pelaksanaan REDD+ secara utuh. Adapun regulasi yang mengatur mengenai
REDD dalam hukum Indonesia hanya terdapat dalam instrumen Peraturan Menteri
(Permen) Kehutanan Nomor 30 tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi Dari
Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). Secara hierarki, kedudukan dari permen
tidak diakui dalam susunan jenis peraturan perundang-undangan dalam hukum
positif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 11 tahun 2012
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tanggapan tergesa-gesa serta
cenderung reaksioner sempat disematkan kepada Indonesia. Kini dalam waktu 4
tahun kemudian hadir kembali peraturan dengan substansi yang sama, tetapi
dengan pilihan instrumen hukum yang berbeda. Hal ini tentu akan memberikan
ketidakpastian terkait dengan implementasi di lapangan. Bahkan jauh daripada
itu, hal ini kembali mempertegas bahwa pelaksanaan proyek REDD di Indonesia
selama ini, yang berbasis Permenhut, merupakan langkah ilegal karena hanya
berdasar pada hasil Conference of the
Parties 13 di Bali semata sebagai dasar tindak lanjut secara hukum.
Dalam konteks ini seharusnya
keberadaan dari letter of intent antara pemerintah Indonesia dan kerajaan
Norwegia menjadi dasar rujukan hukum. Selain itu, keberadaan dari Permenhut
Nomor 30 tahun 2009 merupakan bentuk lompatan hukum karena presiden selaku pemegang
kekuasaan administrasi negara tertinggi tidak dilibatkan. Karena itu,
keberadaan dari Permenhut Nomor 30 tahun 2009 ini secara konstitusional cacat
sehingga pekerjaan rumah yang menunggu pascahadirnya Badan REDD+ ini adalah
sinkronisasi dengan harmonisasi leading sector yang akan memainkan peran dalam
skema proyek REDD+.
Komitmen tanpa alat ukur
Indonesia menyampaikan komitmennya
untuk melakukan tindakan pengurangan emisi sebesar 26% tanpa bantuan asing, dan
41% dengan bantuan asing pada 2009 di pertemuan G20. Komitmen itu didaftarkan
dalam instrumen Copenhagen Accord
tersebut. Namun, komitmen Indonesia memiliki tolok ukur (baseline) yang absurd, yaitu hanya berbasis business as usual
(BAU). Memang dalam praktiknya tidak ditentukan jenis baseline dengan merujuk
pada model bottom up seperti ini.
Dari beberapa negara yang
mencatatkan komitmennya di Copenhagen
Accord terlihat bahwa baseline
waktu merupakan alat ukur yang lebih jelas. Sebagai perbandingan, Australia
memiliki komitmen sebesar 5%-25% di bawah emisi pada 2000, sedangkan China
mempunyai komitmen 40-45% di bawah emisi 2005 dalam intensitas emisi. Hal
tersebut terdengar lebih nyata dan dapat diukur dengan pasti daripada hanya
sekedar BAU yang dapat diturunkan atau naikkan sesuka hati dari negara yang
memberikan komitmen. Dampak dari perubahan iklim tidak hanya diderita oleh
masyarakat saat ini, tetapi juga generasi yang akan datang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar