Rabu, 04 September 2013

Mesir dalam Kacamata Hukum Internasional

Mesir dalam Kacamata Hukum Internasional
Dimas Kuncoro Jari  Mahasiswa Konsentrasi Hukum Internasional FH UGM,
Aktivis Dema Justicia FH UGM
OKEZONENEWS, 03 September 2013



Kini mata dunia tengah menatap ke arah Timur Tengah. Bukan Israel, Afganistan ataupun Palestina melainkan Mesir. Negeri Piramida tersebut telah mencuri perhatian dunia dengan munculnya konflik politik yang berujung pada pertumpahan darah. Penggulingan Presiden Mesir seperti pada era diktator otokratis Husni Mobarak kembali dilakukan. Bedanya saat ini dilakukan ketika transisi demokrasi tengah digaungkan oleh penduduk Mesir sendiri. 

Alhasil instablilitas politik dan kemanan negara yang menjadi ancamannya. Tercatat lebih dari ratusan nyawa menghilang dalam konflik yang berpuncak pada insiden pembubaran massa pro-Mursi pada Rabu lalu. Kedua kubu yang bertikai, baik dari pendukung Presiden terguling Mursi maupun Militer bersikeras pada keyakinan dan ikhtiar politik mereka masing-masing. Sehingga eskalasi korban yang berjatuhan pun tak dapat dihentikan. 

Melihat kedua kubu yang tak bisa meredakan diri, dunia internasional pun ikut turun tangan. Namun seiring berjalannya waktu diplomasi hanya berujung tangan hampa. Di banyak sudut dunia, masyarakat mulai geram dengan tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kedua faksi ini. Seakan dihadapkan pada buah simalakama, hukum internasional pun berada pada posisi yang dilematis. Di satu sisi jalan mereka sangat menjunjung tinggi HAM dan ingin turut campur agar konflik berdarah ini segera diselesaikan. Namun di seberang jalan yang lain, mereka harus menghormati kedaulatan negara secara penuh. Hukum Internasional yang digadang-gadang sebagai panglima dalam perjuangan perdamaian dan hak asasi ini tampak lumpuh dalam menghadapi konflik di Mesir. 

Rakyat dari berbagai negara mulai berunjuk rasa menuntut pemerintah mereka mengambil langkah konkrit agar  Mesir dapat diselamatkan dari pertumpahan darah yang lebih masif. Harapan tersebut tertumpuk di beban pemerintah masing-masing negara, tak terkecuali Indonesia. Namun berbanding terbalik dengan harapan yang disematkan pada pemerintah Indonesia, tindakan yang dilakukan pemerintah Indonesia dianggap sebagian pihak terlalu klise. Indonesia melalui, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya mengungkapkan kekecewaan dan pengecamaannya atas tindakan represif militer Mesir terhadap pendukung Presiden terguling Mursi. Dalam pidato kenegaraannya Presiden mengingatkan kepada Militer Mesir agar menghormati setiap detik dari proses demokrasi. Seakan tak puas dengan pernyataan diplomatif tersebut, muncul sentimen negatif bahwa Indonesia adalah negara yang tak tahu diri. Negeri ini dianggap oleh rakyatnya tak mau membalas budi kepada Mesir yang telah mengakui kemerdekaan Indonesia 68 tahun silam.

Untuk melihat apakah sentimen tersebut benar atau tidak saya akan membawanya dalam kacamata Hukum Internasional. Dalam Hukum Internasional dikenal serta dijunjung tinggi prinsip non-intervention. Prinsip ini secara tegas tidak memperbolehkan suatu negara untuk mencampuri urusan negara lainnya. Terlebih-lebih dalam integrasi wilayah dan kemerdekaan politiknya. Bagi hukum internasional kedaulatan negara adalah harga mati. 

Mengintervensi negara yang sedang dalam masalah sekalipun adalah haram hukumnya jika tidak hal ikhwal yang bersifat memaksa. Namun demikian, intervensi dalam paradigma hukum internasional tidaklah mutlak tidak boleh dilakukan. Toh setiap prinsip selalu memiliki pengecualiannya tersendiri. Agar lebih dinamis, hukum internasional memperbolehkan intervensi dalam beberapa hal, yakni: 1) Intervensi Kolektif, 2) Intervensi sebagai mekanisme pertahanan diri, c) Intervensi dalam urusan-urusan protektorat, 3) Intervensi apabila negara yang menjadi subyek intervensi dipersalahkan melanggar hukum internasional, 4) Intervensi untuk melindungi hak asasi manusia.

Bila kita kaitkan dengan kasus Mesir saat ini, Intervensi yang mungkin dapat dilakukan oleh Indonesia adalah Intervensi yang dimaksud dalam poin ke 1, 4 dan ke 5.  Mengenai intervensi kolektif, Indonesia hanya bisa mendorong agar PBB, atau OKI agar merekomendasikan suatu tindakan yang harus dilakukan oleh Mesir. Mengamati tendensi para pihak yang bertikai tentu tindakan ini tidak signifikan dampaknya. Begitu juga intervensi dalam poin ke 4, yang sangat sulit untuk diaplikasikan dalam konteks Mesir saat ini. Hal ini disebabkan intervensi yang dilakukan jika negara yang menjadi subyek intervensi atas pelanggaran internasional harus memperoleh syarat objektif. Syarat tersebut yakni terlebih dahulu harus ada korban atau setidak-tidaknya ancaman nyawa terhadap warga negara yang melakukan intervensi. Faktanya jelas bahwa syarat ini tidak dapat dipenuhi oleh Indonesia karena KBRI Mesir sendiri telah mengkonfirmasi bahwa WNI disana dalam keadaan aman dan tidak perlu evakuasi.

Poin yang menjadi titik terang permasalahan ini tampak dalam poin intervensi no 5. Bentuk intervensi ini memperbolehkan campur tangan dari negara luar jika ditemukan pelanggaran HAM di negeri yang menjadi subyek intervensi. Dengan kata lain, Indonesia bisa mengintervensi Mesir untuk melakukan rekonsiliasi atas dalih perlindungan hak asasi. Namun yang perlu dicermati bentuk intervensi ini memerlukan suatu syarat juga suntuk mengubahnya menjadi cara yang sah dan legal menurut hukum internasional. Syarat ini memang tak tertulis tetapi sejatinya menjadi interpretasi suatu ketentuan dalam konteks implementatif. Intervensi ini mensyaratkan subyek yang menjadi perlindungan tersebut adalah warga negara dari luar Mesir bukan warga negara domestik. Jadi ketika korban dari pelanggaran HAM tersebut bukan dari warga negara Indonesia maka selama itu Indonesia tidak bisa melakukan campur tangan. Ketika korbannya adalah warga domestik negeri tersebut maka secara otomatis hal tersebut termasuk “national matter’s”. Dan kita sama-sama tahu bahwa dalam pandangan internasional “national matter’s” tidak boleh disentuh oleh siapapun dan dengan cara apapun selain negara yang bersangkutan.

Dengan demikian saya simpulkan bahwa tidak ada bentuk intervensi sah yang dapat diterapkan pada konflik intern Mesir ini. Hukum internasional seolah-olah lumpuh jika dihadapkan pada kedaulatan negara. Tetapi hal tersebut tidak secara merta bahwa hukum internasional tidak berfungsi, justru sebaliknya hukum internasional menjunjung tinggi kedaulatan suatu negara. Ada batas yang tegas disini dimana hukum internasional tidak boleh masuk terlalu dalam agar kemerdekaan politik, sistem ekonomi dan integrasi territorial tetap terjaga.

Memang diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah kita terkesan biasa untuk menanggapi peristiwa yang luar biasa. Tetapi hal tersebut tak perlu dikecilkan maknanya. Ketika diplomasi sekadar pernyataan kekecewaan dan tindakan pengecaman bukan berarti kita tidak peduli, namun kita memahami. Memahami bahwa ada garis batas yang tegas antara kedaulatan dan intervensi yang harus ditegakkan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar