Rabu, 04 September 2013

Gagal Kendalikan Harga

Gagal Kendalikan Harga
Effnu Subiyanto  Mahasiswa Doktor Ekonomi Unair,
Pendiri Forum Pengamat Kebijaan Publik (Forkep)
SUARA KARYA, 03 September 2013


Hingga kini, harga-harga kebutuhan pokok tetap tidak terkendali. Kendati pemerintah di Jakarta bersikeras mengatakan harga-harga tersebut normal, nyatanya efeknya tidak menyentuh luar Jakarta. Para menteri kini seolah terjebak pemikiran, bahwa Jakarta adalah barometer segalanya, padahal kenyataannya tidak demikian. Jika masalah di Jakarta selesai, belum tentu akan dengan sendirinya menyelesaikan masalah luar Jakarta.

Gonjang-ganjing turbulensi harga-harga kebutuhan pokok sebetulnya dipicu pertama kali oleh rumor kenaikan BBM yang gagal dalam Paripurna DPR, 31 Maret 2012. Kini, kenaikan itu semakin mantap dengan kenaikan harga eceran BBM per 22 Juni 2013 dalam kisaran 22, 22-44, 44 persen. Dengan demikian skor pemerintah versus rakyat dua tahun ini 6:0, yakni enam kali rakyat Indonesia terpapar efek kenaikan harga-harga karena kisruh politik Jakarta. Yakni, rencana kenaikan BBM 2012 yang gagal, menjelang Lebaran 2012, paska Lebaran 2012, kenaikan BBM 2013, Lebaran 2013 dan kini Agustus-September.

Besaran turbulensi kenaikan harga sembako di Jawa 2013 ini, misalnya, rata-rata 100-150 persen padahal awal April 2012 dan juga menjelang bulan puasa di pertengahan Juli 2012 juga sudah menderita kenaikan harga sembako pada kisaran nilai 30-50 persen. Jadi, sampai sekarang atau hanya dalam 16 bulan saja sejak bara dibakar pemerintah dengan isu penghapusan subsidi BBM, April 2012, kenaikan harga-harga kebutuhan primer sudah melejit minimal 150 persen.

Ironisnya, fenomena kenaikan harga-harga ini dipicu di Jawa yang notabene dukungan infrastruktur logistiknya lebih baik. Tidak dapat membayangkan, beratnya penderitaan masyarakat luar Jawa akibat kenaikan harga-harga ini. Padahal, momentum hari raya Idul Adha 1.434 H juga akan datang.
Tidak alert-nya pemerintah untuk mengantisipasi masalah ini sungguh mengecewakan. Perlu diklarifikasi kembali pernyataan elite negara mengapa bahan pokok dikatakan berlimpah namun harga tetap merangkak naik? Di manakah letak persoalannya, apakah stok itu hanya memenuhi gudang-gudang namun mengalami hambatan di sektor logistik, misalnya, karena hambatan transportasi?

Jika seorang menteri melihat persoalan rakyat secara parsial seperti ini hanya berdasarkan atas kinerja individualnya dan tidak melihat kinerja menteri lain terkait, maka sungguh menyedihkan kapasitas dan kapabilitas menteri seperti ini. Sampai di ujung kiamat pun, persoalan rakyat tetap tidak akan dapat ditemukan jalan keluarnya, rakyat tentu saja dikorbankan akibat dampak langsung dari inkompetensi elite pemerintah. Sulit dicarikan bantahan argumentasi bahwa kinerja pemerintah sebetulnya gagal, baik gagal dalam manajerial maupun gagal di tingkat pelayanan publik, khususnya dalam mengantisipasi kenaikan harga-harga saat ini. Dalam memberikan pernyataan publik, masing-masing menteri seharusnya berpikir utuh dari hulu hilir sampai to the end user. Untuk masalah kestabilan harga bahan pangan ini, end user adalah 240 juta rakyat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Sungguh, tidak sederhana, tidak arif dan tidak menyejukkan apabila menteri hanya berkomentar bahan pangan cukup, daging cukup, sembako cukup padahal kenyataannya tidak. Rakyat tentu membutuhkan klarifikasi dan jawaban "cukup atau terjamin" yang didefinisikan menteri itu seperti apa?

Ada banyak departemen interseksional yang mempengaruhi struktur kecukupan bahan pangan nasional. Cukup jumlahnya namun tidak dapat didistribusikan sehingga tidak tersedia di rak-rak pasar sama artinya dengan tidak cukup. Jangan-jangan memang jumlahnya tidak cukup dan hendak mencari kambing hitam seperti, misalnya, hendak menyalahkan logistik. Di sini letak kepiawian manajerial menteri, koordinasi dengan departemen lintas sektoral ini amat dibutuhkan untuk mencegah efek psikologis yang dapat terbentuk liar di pasar.

Masing-masing kementerian kini terjebak dalam pseudo persaingan antar-departemen sehingga akhirnya berpikir dan bertindak sektoral dan parsial. Satu menteri hanya berpikir menyelamatkan dirinya sendiri sementara kementerian lain juga memikirkan dirinya sendiri. Koordinasi teknis dan non-teknis kabinet benar-benar belum maksimal meski sudah dibentuk kementerian koordinator.

Kejadian kenaikan harga-harga belakangan ini harus menjadi pelajaran berharga kepada kementerian pertanian yang bertanggung jawab secara langsung atas bahan pokok rakyat selama ini. Pemerintah jelas sekali tidak memiliki bargaining atas kontrol pasar, kendati pasar Indonesia menganut paham laissez faire, yakni pemerintah sebagai regulator bukan pelaku, namun berdasarkan UU 1945 pasal 33 ayat (1) ekonomi Indonesia berdasarkan asas kekeluargaan masih tetap berlaku. Pintu ini yang memungkinkan pemerintah untuk melakukan kontrol pasar terutama menghadapi musim-musim pasca Lebaran dan sebentar lagi hari raya Idul Adha 1434 H.

Wajar, karena fenomena meroketnya harga bahan pokok tidak mampu diatasi oleh pemerintah, maka pemerintah harus bertanggung jawab memberikan insentif untuk kompensasi kenaikan harga tidak terkendali ini. Rakyat kini hendak menguji apakah efek kenaikan BBM, 22 Juni 2013 hingga menghemat subsidi Rp 42 triliun itu benar-benar riil ada uangnya atau hanya sekedar angka-angka indah di atas kertas.

Mengatur rakyat sebetulnya take and give, rakyat sudah memberikan persetujuan kenaikan BBM, namun seharusnya rakyat tidak boleh dipojokkan terus menerus dengan menerima dampak turbulensi harga-harga karena inkompetensi elite pemerintah. Menjalankan negara harus cermat, tidak boleh atas dasar coba-coba atau trial and error atau testing water. Setiap langkah memiliki konsekuensi biaya, meski hanya isu atau rumor, rakyat yang akan terpapar secara langsung dan menelan akibatnya. Dampak ini tentu tidak akan bisa dirasakan oleh elite negara sekelas menteri. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar