Senin, 16 September 2013

Menyoal Pilkada oleh DPRD Lagi

Menyoal Pilkada oleh DPRD Lagi
Sulardi  ;   Dosen Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Malang,
Doktor dari FH Undip
JAWA POS, 16 September 2013


BERITA utama Jawa Pos Minggu (15/9) kemarin berjudul Kepala Daerah Bermasalah Naik menarik untuk dicermati. Di dalamnya berisi gagasan Kementerian Dalam Negeri yang mengusulkan agar pemilihan wali kota dan bupati dikembalikan ke DPRD. Dalih yang melandasi, antara lain, biaya pilkada yang mahal, pilkada memicu konflik horizontal. Akibatnya, banyak kepala daerah yang terjerat hukum. Tetapi, apakah itu semua dapat dijadikan alasan mati untuk mengembalikan pemilihan wali kota dan bupati oleh DPRD? 

Bangsa ini harus diingatkan bahwa seiring dengan runtuhnya Orde Baru pada 1998, terjadi perubahan orientasi pemerintahan dari sentralitis otoriter ke demokrasi desentralistis. Berdasar UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintah Daerah, pemilihan gubernur, bupati/wali kota menjadi kewenangan DPRD. Pemerintah pusat hanya melantik dan mengesahkan hasilnya.

Kemudian, disadari banyaknya terjadi masalah serius. Di antaranya, distorsi antara siapa yang diinginkan rakyat dengan apa yang menjadi pilihan anggota-anggota DPRD. Sebab, pimpinan pusat partai politik (DPP) berperan kuat dalam merestui calon dalam pemilihan kepala daerah. Juga terjadi politik uang pada proses pendaftaran hingga pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD. 

Lalu, pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat berdasar UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Perubahan hukum pilkada terjadi pada cara memilih kepala daerah. Semula pilkada dilakukan atas dasar pencalonan fraksi-fraksi di DPRD dan dipilih oleh anggota-anggota DPRD, menjadi dicalonkan oleh partai politik yang memperoleh suara 15 persen dari jumlah kursi DPRD, kemudian dipilih secara langsung oleh rakyat. Dominasi pemerintah pusat memang berkurang, namun semangat sentralistik masih terasa. Hal itu masih dirasakan pada cara partai politik mengajukan calon gubenur, bupati, atau wali kota. Mereka masih menggunakan restu-restuan dari DPP partai politik yang berkantor di Jakarta. 

Harus dipahami juga, jika gagasan Kemendagri diterima, akan terjadi perubahan konsekuensi pertanggungjawaban. Jika bupati/wali kota dipilih oleh rakyat, mereka bertanggung jawab kepada rakyat. Dengan demikian, jika dipilih oleh DPRD, mereka bertanggung jawab kepada DPRD. Pengalaman yang lalu ketika bupati/wali kota dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD, sang eksekutif cukup repot menghadapi manuver politik kalangan DPRD saat menyampaikan laporan pertanggungjawaban per tahun. Tentu saja hal ini cukup mengganggu jalannya pemerintahan.

Selain itu, pemilihan oleh DPRD menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidakkesetaraan antara kepala daerah selaku penyelenggara kekuasaan eksekutif dan DPRD sebagai lembaga legislatif. Terjadilah pemerintahan yang berat ke legislatif (legislative heavy), bupati/wali kota sebagai "bawahan" DPRD. Padahal, ide dasar demokratisasi yang menghendaki adanya check and balances berbasis trias politica. 

Merujuk pada konstitusi pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI 1945 dan pasal 56 ayat (1) UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, memang tidak ditemukan satu kata pun bahwa pilkada diselenggarakan "secara langsung". Yang ditemukan adalah kata "dipilih secara demokratis". Dengan demikian, kata demokratis bisa dimaknai demokrasi secara langsung. Demokrasi secara perwakilan atau bahkan secara progresif dapat diartikan bahwa disetujui seluruh rakyat secara aklamasi pun merupakan cara yang tidak kurang nilai demokratisnya. 

Secara demikian, pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati, yang sejak berlakunya UU Nomor 32/2004 diselenggarakan secara langsung, kini perlu dipikirkan bahwa pemilihan gubernur, bupati dan wali kota dapat dilakukan dengan tiga cara. Yakni, demokrasi perwakilan oleh DPRD, demokrasi secara langsung oleh rakyat, atau secara aklamasi. Tiga cara ini tidak melampaui makna dipilih secara demokratis seperti yang digariskan pada pasal konstitusi.

Untuk menentukan pilihan apakah dilakukan secara langsung, perwakilan, atau aklamasi dikembalikan kepada kemauan dan kesiapan daerah masing masing. Pemerintah daerah bersama DPRD dan segenap komponen masyarakat diberi kebebasan penuh untuk menentukan apakah penyelenggaraan pilkada dilakukan secara langsung, perwakilan, atau aklamasi. Contohnya sudah ada dalam perbedaan menafsir demokrasi ini. Misalnya, penetapan gubernur di Daerah Istimewa Jogjakarta. Di Aceh, pemilihan melibatkan partai lokal. 

Untuk daerah lain, perlu dicarikan mekanismenya bila tak cocok dengan pemilihan oleh DPRD atau langsung. Bisa juga, misalnya, gubernur dipilih anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota di provinsi itu. Tak harus simetris. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar