Senin, 16 September 2013

Mobil Murah, Layani Asing

Mobil Murah, Layani Asing
Budi Santosa  ;   Guru besar dan Ketua Jurusan Teknik Industri ITS Surabaya 
JAWA POS, 16 September 2013


MEMBACA pernyataan M.S. Hidayat tentang peluncuran mobil murah, saya terkesima: dia menteri perindustrian Republik Indonesia atau agen industri mobil Jepang. 

Seperti kita ketahui bahwa produsen mobil Toyota dan Daihatsu baru saja mengeluarkan mobil baru dengan harga Rp 100 jutaan. Menperin menamakan program nasinal mobil murah ramah lingkungan, low cost and green car (LCGC). Gubernur Jakarta Jokowi bereaksi negatif bahwa program ini tidak sesuai dengan upaya mengurangi macet ibu kota dengan membangun moda transportasi rakyat yang bersifat masal, cepat, murah, dan aman. Alih-alih mendukung, justru ibu kota dan kota lain di Indonesia akan semakin dibuat macet. 

Berkenaan dengan keberatan Jokowi, Menperin M.S. Hidayat memberi komentar: "Kasih tahu Pak Jokowi, ini juga ditujukan kepada rakyat yang berpenghasilan kecil dan menengah, rakyat yang mencintai dia juga. Harus diberikan kesempatan kepada rakyat kecil yang mencintai Pak Jokowi untuk bisa membeli mobil murah," kata Hidayat di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (Kompas online,12/9/2013). Ucapan M.S. Hidayat sepintas seperti membela rakyat kecil, seperti nasionalis. Namun, sejatinya dia lebih cocok dianggap sebagai kebalikan dari berpihak kepada rakyat. Mari kita simak sacara saksama alasan-alasan berikut.

Kebijakan pengeluaran izin mobil murah, walaupun namanya program nasional, justru dilakukan produsen asing. Hal ini jelas akan membuat kita sebagai bangsa semakin terpuruk. Kita akan semakin kekal hanya menjadi pasar penjualan barang asing, sedangkan upaya kita membangun industri mobil nasional semakin sulit. Dari sisi ini, M.S. Hidayat lebih berpihak pada kepentingan asing daripada masa depan bangsa dan 250 juta rakyat Indonesia. 

Kita sedang bangkit untuk membangun mass rapid transit (MRT), angkutan masal yang hemat, cepat, dan aman, baik di Jakarta maupun Surabaya. Namun, justru pemerintah pusat membuat kebijakan menjual mobil murah yang berlawanan dengan semangat membangun transportasi masal tadi. Lagi-lagi, program nasional LCGC justru suatu kemunduran dalam sejarah kebijakan transportasi kita. 

Selain itu, mana yang sebenarnya lebih dibutuhkan rakyat kecil: memiliki atau menikmati mobil? Memiliki mobil akan menimbulkan sikap konsumtif dengan beban kemacetan yang meningkat. Tetapi, menikmati tidak harus setiap orang mempunyai mobil sendiri. Pemerintah bisa mengusahakan angkutan umum yang nyaman dengan fasilitasl bagus, rakyat bisa menikmati mobil tanpa harus memiliki. Itu sebenarnya hakikat transportasi umum yang bagus.

Dari sisi kebijakan pemerintah di sektor migas, langkah penjualan mobil murah ini justru bertolak belakang. Pemerintah mengeluarkan dana besar untuk menyubsidi harga BBM yang terus naik. Pemerintah kesulitan dana untuk tetap bertahan pada harga lama sehingga BBM perlu dinaikkan agar beban subsidi berkurang. 

Namun, sungguh aneh pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang mengizinkan penjualan mobil murah tersebut. Berapa tambahan BBM yang akan dikonsumsi untuk itu dan berapa lagi subsidi yang diberikan pemerintah? Semoga tidak lagi ada tambal sulam kebijakan di sektor migas untuk menutupi salah langkah di sektor transportasi. Di sisi ini, M.S. Hidayat justru menjadi pelopor pemborosan energi, merugikan negara daripada berpihak kepada rakyat.

Memang kepemilikan kendaraan (vehicles per 1.000 people) di Indonesia masih rendah (60, pada 2008) jika dibandingkan dengan, misalnya, Malaysia (393, pada 2012). Kebijakan mobil murah seakan pro-rakyat kecil, bisa meningkatkan indeks kepemilikan kendaraan. Tapi, mesti diingat bahwa kepemilikan kendaraan itu harus dibandingkan juga dengan jumlah kendaraan per kilometer jalan yang tersedia. Sementara negara lain seperti Malaysia sudah mempunyai data ini, di Indonesia belum tersedia data tersebut. Kapasitas jalan dibanding jumlah kendaraan menjadi ukuran penting dalam mengelola sistem transportasi. Mengapa pemerintah tidak mengukur berapa seharusnya jumlah mobil yang bisa beredar jika dibandingkan dengan panjang jalan yang tersedia? Menperin tidak punya data yang memadai untuk mendukung kebijakan yang dia ambil.

Masih ditambah lagi kemungkinan bahwa yang membeli mobil murah nanti bukanlah rakyat kecil, tetapi mereka yang cukup mampu dengan menambah jumlah mobil menjadi dua atau tiga. Kalau itu yang terjadi, salah total kebijakan mobil murah tersebut. Bagi rakyat kecil, sebenarnya membeli mobil bekas dengan kualitas bagus menjadi alternatif menarik tanpa memperparah kemacetan. Kebijakan mobil murah produksi asing itu jelaslah program yang tidak nasionalis, tidak memihak kepentingan rakyat banyak, dan semakin memperberat subsidi BBM. 

Presiden SBY sudah seharusnya menindak tegas menteri perindustrian yang jelas-jelas tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan hanya mengukuhkan bangsa ini menjadi pelayan kepentingan asing. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar