Rabu, 04 September 2013

Menata Ulang Daya Saing Daerah Menghadapi MEA 2015

Menata Ulang Daya Saing Daerah
Menghadapi MEA 2015
Martani Huseini Periset dan Pengajar Competitive Dynamics’ dan 
Manajemen Stratejik Pascasarjana UI
KORAN SINDO, 04 September 2013



Rontoknya Kota Detroit di AS merupakan pelajaran yang menarik bagi Indonesia yang sedang gemar melakukan pemekaran daerah. Siapa yang tidak kenal Kota Detroit sebagai kota percontohan tempo dulu sebagai wilayah kluster industri automotif yang sukses sejak tahun enam puluhan. 

Namun, daya saingnya yang kian meredup dan akhirnya berutang ratusan miliar dolar. Hal terjadi yang sebaliknya, sebuah Desa Huaxy di Provinsi YangSu, China Selatan, yang tadinya miskin akhirnya menjadi sebuah desa yang terkaya di China dan mampu “go public” karena kluster industri tekstil dan bajanya mendunia walaupun bahan bakunya masih impor. 

Memang tidak mudah menata sebuah wilayah yang memiliki visi besar, berdaya saing tinggi, dan akhirnya bisa mendunia. Kasus Kota Detroit dengan kepemilikan ikon kota industri automotif akhirnya runtuh juga. Pemahaman aspek makro dan mikro dunia hingga wilayah perlu dicermati. Hal yang vital di dalam organisasi perlu didalami adalah aspek “PPL”-nya (people, process, dan leverage) yang cukup rumit. 

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada 25 Juni 2013, Asia Competitiveness Institute (ACI) Lee Kuan Yew School of Public Policy University of Singapore telah menyuguhkan sebuah potret daya saing Indonesia yang dipetakan atas 33 wilayah provinsi di Indonesia. Dari hasil diagnostik terhadap elemen-elemen dasar yang dianggap dapat membentuk daya saing sudah terungkap dari hasil pemotretan ACI tersebut. 

Rekapitulasi hasil penelitian ini sangat penting karena tidak akan lama lagi pada 2015 warga masyarakat ASEAN sudah bersepakat untuk membangun wadah dan tata kelola masyarakat baru yang bernama Masyarakat Ekonomi ASEAN      (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC). Favoritisme investor terhadap pilihan kota ataupun wilayah yang mana hendak dimasuki nanti tinggal melihat indeks pemeringkatan daya saing yang dibuat lembaga-lembaga yang kredibel. Kota-kota yang tidak ramah dan kondusif untuk dimasuki akhirnya akan ditinggalkan oleh para stakeholders-nya. 

Komponen Utama 

Fenomena yang menarik di republik tercinta ini adalah maraknya semangat pemekaran daerah, dari tingkat kecamatan hingga menjadi kabupaten dan selanjutnya hingga pada tingkat provinsi tanpa mengindahkan esensi pemekaran itu sendiri yang membuat daerah tersebut bisa “mandiri” dalam konteks menyejahterakan warga dan meningkatkan ketahanan daya saingnya. 

Dalam konteks inilah ACI telah memprakarsai membuat pemotretan dan “pemeringkatan daya saing” pada tingkat provinsi. Ini awal kegiatan yang menarik walaupun kita semua tahu bahwa “otonomi daerah” sudah diturunkan sampai pada level kabupaten dan kota. Hasil pemotretan ACI tampaknya masih terarah pada potret “attractiveness”. Wilayah-wilayah mana yang menarik atau tidak menarik untuk dimasuki oleh investor. 

Di samping aspek daya pikat tersebut juga dipetakan provinsi-provinsi mana yang siap diajak berkolaborasi untuk membangun suatu industri yang potensial. Untuk pemetaan ini, ACI membuat diagnosis atas empat komponen utama untuk dijadikan tolok ukurnya. Sukses penataan dan pembangunan kota berarti sukses dalam menarik investasi dan mampu membangun basis industry yang kokoh dengan semangat win-win collaboration dalam jangka panjang. Untuk mendalami faktorfaktor kunci sukses tersebut, ada empat komponen utama yang harus diperhatikan, pertama tentang stabilitas ekonomi makro, terutama yang menyangkut ada atau tidaknya potensi dasar penggerak perekonomian. 

Termasuk di dalamnya adalah sikap keterbukaan daerah tersebut untuk diajak berkolaborasi. Komponen kedua yang dilihat adalah kesiapan infrastruktur fisik (jalan, listrik, pelabuhan, bandara, dan armada alat angkut) maupun infrastruktur sosial yang meliputi aspek-aspek kualitas hidup dan sarana dan prasarana pendidikan, ketenangan bermasyarakat, serta kesiapan teknologi yang dimilikinya. 

Komponen ketiga yang sangat vital adalah yang menyangkut kesiapan regulasi dan tata kelola birokrasi. Ini menjadi penting untuk dilihat sampai sejauh mana kepemimpinan dan kebijakan PEMDA dalam membangun iklim bisnis yang menarik bagi investor. Kebijakan fiskal yang atraktif juga dilihat, tetapi aspek tata kelola birokrasi yang dinamis juga diharapkan. 

Terakhir, aspek-aspek yang juga diperhatikan adalah tentang kesiapan lembaga-lembaga yang terkait sistem pembiayaan dan keuangan. Termasuk dalam komponen keempat adalah tentang kondisi dan iklim investasi. Aspek ketenagakerjaan yang mendorong ke arah produktivitas tenaga kerja dan efisiensi organisasi tidak luput diperhatikan pula. 

Potret Daya Saing 

Catatan ACI secara umum terhadap daya saing dan strategi pembangunan untuk 33 provinsi di Indonesia versi bahasa Indonesia telah diterbitkan Juni 2013, ternyata wilayah-wilayah yang memiliki kelengkapan atas empat komponen utama pada umumnya memiliki kawasan industri yang “terpadu” seperti DKI Jakarta sebagai pemegang peringkat pertama, diikuti peringkat kedua adalah Jawa Timur. 

Berikutnya adalah Kalimantan Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah merupakan wilayah yang difavoritkan sebagai kawasan tujuan berinvestasi. Dengan kategori yang sama, pemegang rapor merah ternyata didominasi provinsi-provinsi di luar Jawa-Bali yang pada umumnya kurang beruntung karena kondisi infrastruktur fisik dan belum memiliki daerah kluster industri yang dalam suatu kawasan yang “terpadu”. 

Apalagi sistem pengelolaan pertanahan masih terkendala maraknya klaim “hak ulayat” dan kurangnya penyediaan infrastruktur fisik dan sosial memadai sehingga jika dibandingkan dengan calon anggota MEA yang potensial, rasanya Indonesia masih tertinggal jauh. Potret lengkap dari masingmasing komponen kinerja daya saing antarprovinsi tersaji secara lengkap di buku Analisis Daya Saing versi ACI ini. 

Dengan menyimak hasil penelitian yang dilengkapi materi tentang simulasi peningkatan daya saing, para pemangku kepentingan dan pihak-pihak terkait akan paham tentang arti pentingnya “remedial treatment” bagi provinsi- provinsi berkinerja rendah. Pemahaman yang utuh dalam menata ulang kota atau wilayah di 33 provinsi di Indonesia dapat memilih “leverage” strategi bersaing yang terkait tentang “what to compete, where and how to compete”. Selain itu, pihak-pihak eksternal yang suka blusukan juga dapat dengan mudah mengakses informasi tentang “what to invest, where and how to enter region” secara aman dan terkendali. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar