Senin, 09 September 2013

Menggenjot Intensifikasi Kedelai

Menggenjot Intensifikasi Kedelai
Sumaryoto Padmodiningrat ;   Anggota DPR
SUARA MERDEKA, 09 September 2013


"Pemerintah harus lebih menggenjot intensifikasi kedelai melalui rekayasa teknologi dan benih varietas unggul"

BAGAIMANA mengaitkan kedelai dan keledai? Kedelai mengandung protein yang bisa membuat otak kita cerdas, namun kadang kedelai membuat kita bodoh seperti keledai. Bisa jadi keledai, yang tak mau terantuk dua kali pada batu yang sama, lebih cerdas daripada kita ketika menghadapi kemahalan harga kedelai.

Mahalnya harga kedelai di Indonesia terjadi hampir tiap tahun. Namun dari tahun ke tahun pemerintah tak kunjung menemukan solusi jitu. Sampai kemudian harga komoditas itu melambung di pasaran. Karena nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) anjlok, harga kedelai impor di tingkat distributor rata-rata naik Rp 2.000, dari Rp 7.200 menjadi Rp 9.200 per kilogram dan di pasaran mencapai Rp 9.500. 

Perajin tahu dan tempe, yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku, di wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, DIY, Banten, DKI Jakarta, Lampung, dan Sumatera Selatan pun mengancam mogok produksi, mulai Senin ini hingga Rabu lusa. Mereka terancam bangkrut. Di Jateng saja, khususnya Kabupaten Wonogiri, sekitar 300 atau 10% dari total 3.915 perajin tahu dan tempe mulai gulung tikar.

Apa yang menyebabkan harga kedelai mahal? Ini terkait hukum supply and demand. Saat ini produksi kedelai dalam negeri hanya mampu mencukupi 25-30% dari total kebutuhan nasional, dan 70-75% mengandalkan impor, terutama dari AS. Tiap tahun kebutuhan kedelai nasional 2,5 juta-2,7 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri 700.000-800.000 ton.

Target produksi kedelai semester I/2013 sebesar 482.000 ton, dari target 2013 sebanyak 1,5 juta ton, namun realisasinya hanya 296.000 ton atau 68% dari total target. Kebutuhan impor kedelai sampai akhir tahun ini diperkirakan 400.000-500.000 ton. Data BPS menyebutkan produktivitas kedelai 2012 sebanyak 843.150 ton biji kering atau mengalami penurunan 8.130 ton (-0,96%) dibandingkan 2011. 

Produksi kedelai 2013 diperkirakan 847.160 ton biji kering atau mengalami kenaikan 4.000 ton (0,47%) dibanding 2012. Namun pada September-Desember 2013, produksi kedelai diperkirakan menurun 6.290 ton (1,67%). Penurunan terjadi di Jateng, Aceh, DIY, Sumsel, dan Sumatera Utara. Di Jateng, penurunan antara lain terjadi di Kabupaten Banyumas, sentra produksi tempe, sebesar 5.000 ton.

Di Jateng, luas lahan budi daya kedelai 95.000 ha tersebar di 29 kabupaten/kota. Sentra terluas berada di Kabupaten Grobogan yaitu 27.170 ha, sisanya tersebar di wilayah lain, seperti Wonogiri, Kebumen, Blora, Demak, Brebes, Rembang, Purworejo, Boyolali, Cilacap, Banyumas, Sukoharjo, dan Pati.
Grobogan merupakan pemasok terbesar kedelai di Jateng, yakni  43,15% dan secara nasional 7,72% dengan produksi rata-rata 65.755 ton dari luas lahan 27.170 ha. Kedelai Grobogan mempunyai daya tarik tersendiri karena varietasnya terbaik di dunia, yakni memiliki nutrisi tinggi (protein mencapai 43%, berpolong besar, dan produktivitas 2,4 ton per ha).

Menyikapi menurunnya produksi kedelai lokal, Kemendag menambah izin impor untuk Perum Bulog dari 20.000 ton menjadi 60.000 ton tahun ini. Dengan penambahan ini, total izin impor kedelai 624.000 ton hingga akhir tahun. Selain Bulog, izin impor juga diberikan kepada 21 importir terdaftar.
Sebelumnya, Kemendag menerbitkan ketentuan baru impor kedelai. Peraturan Mendag Nomor 45/M-Dag/Kep/8/2013 tanggal 28 Agustus 2013 merupakan Perubahan atas Permendag Nomor 24/M-Dag/Per/5/2013 tentang Impor dalam Rangka Program Stabilisasi Harga Kedelai. Di antara ketentuan impor tersebut adalah kewajiban bagi Bulog dan importir swasta menyerap kedelai lokal dengan tujuan agar petani mau menanam dan meningkatkan produksi.

Upaya Intensifikasi

Mahalnya harga kedelai impor ternyata menjadi blessing in disguise (berkah di balik malapetaka) bagi petani lokal. Petani kedelai di sejumlah daerah menikmati harga tinggi, yakni Rp7.000 per kg atau naik Rp2.000-Rp3.000 dari harga sebelumnya. Petani bisa menangguk untung hingga Rp10 juta per ha. Namun, berkah bagi petani lokal menjadi malapetaka bagi mayoritas masyarakat, karena rakyat Indonesia lebih banyak menjadi konsumen daripada produsen kedelai. Bagaimana cara menjauhkan malapetaka itu?

Kita tak boleh terus-menerus bergantung pada impor. Ada adagium, “Bila hendak menguasai suatu bangsa maka kuasai dulu sumber pangannya”. Bila Indonesia tak mau terjajah secara ekonomi, harus berdaulat di bidang pangan, termasuk kedelai. Upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian harus dilakukan, termasuk pertanian kedelai.  Impor akan menyebabkan berbagai kerugian, antara lain hilangnya devisa negara yang cukup besar, mengurangi kesempatan kerja bagi rakyat Indonesia, serta meningkatkan ketergantungan jangka panjang dan mengancam ketahanan pangan.


Ekstensifikasi sekarang ini menghadapi kendala dan bersifat sangat terbatas mengingat luas lahan pertanian justru menyusut dari tahun ke tahun sehingga yang harus lebih digenjot adalah intensifikasi melalui rekayasa teknologi pertanian dan benih varietas unggul. Bila tidak, jangan harap kita tak akan terantuk dua kali pada batu yang sama. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar