|
DJOKO
Susilo, terdakwa kasus korupsi pengadaan simulator uji klinik pengemudi roda
dua dan roda empat tahun anggaran 2011, dinyatakan bersalah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana korupsi. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta
menjatuhkan vonis 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan
kurungan (SM, 4/9/13). Putusan ini berbeda dari tuntutan jaksa penuntut umum
yang mendalilkan hukuman penjara 18 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun
kurungan. Tak cukup di situ, tuntutan agar terdakwa mengembalikan uang negara
Rp 32 miliar dari kerugian karena korupsi juga tak dikabulkan.
Sebelum
pembacaan vonis, saya berdiskusi dengan salah satu wartawan. Dari fakta
persidangan, kemungkinan besar mantan direktur Korps Lalu Lintas (Korlantas)
Mabes Polri itu akan dihukum berat. Atau setidak-tidaknya tidak di bawah 10
tahun. Benar saja, putusannya tak jauh-jauh dari angka 10 tahun. Sesungguhnya,
setelah hukuman dijatuhkan, ada kekecewaan yang mendalam. Kenapa hanya 10
tahun? Bukankah ada angka lebih besar dalam Pasal 2 Ayat (1) UU tentang
Pemberantasan Tipikor: 20 tahun penjara?
Kami
pun bertanya-tanya, kenapa bisa sebegitu ringan putusannya, kurang dari dua per
tiga ancaman penjara maksimal? Apakah yang terhormat para hakim sedang ìmasuk
anginî? Tentu dugaan demikian sempat pula dirasakan oleh khalayak. Prasangka
ini menguat ketika mengingat peristiwa beberapa hari sebelumnya. Pada saat
pembacaan pledoi, pembelaan, terselip uang 100 dolar AS ke salah satu berkas
yang diterima jaksa penuntut umum (SM, 28/8/13). Jangan-jangan ini
menjadi semacam kode. Apakah ada uang panas yang mengalir ke korps ketok palu?
Sayang, pesan tak sampai ke meja hijau.
Tetapi
apa boleh buat, hakim sudah menvonis. Kini tinggal langkah KPK mau ke mana.
Puas dengan putusan itu ataukah memilih banding. Kabar baiknya, jaksa penuntut
umum merasa tidak terima dengan vonis. Komisi antikorupsi pun memutuskan
banding. Untuk bahan banding ke pengadilan tinggi, jaksa harus hati-hati mendalilkan
dan menguraikan tuntutannya, agar jangan sampai terdakwa lolos lagi dari
hukuman berat dan uang negara yang dicuri dapat dikembalikan ke kas negara.
Perlu
ditekankan, mantan gubernur Akademi Kepolisian (Akpol) di Semarang itu dijerat
karena melakukan dua perbuatan pidana, korupsi dan pencucian uang. Pada titik
ini, jaksa sekali lagi harus berhati-hati mengurai fakta. Kerugian sebesar Rp
32 miliar berasal dari korupsi yang dilakukan dalam pengadaan alat simulasi
kemudi, bukan dari sangkaan pencucian uang. Artinya, untuk kasus pencucian uang
perlu didalilkan sendiri. Harus dibedakan antara kerugian negara dari korupsi
dan sejumlah aset yang kemungkinan besar diperoleh dari tindak pidana pencucian
uang.
Konflik Kelembagaan
Dengan
membedakan uraian antara kasus korupsi dan kasus pencucian uang, diharapkan
majelis hakim tingkat banding sudi mengabulkan tuntutan jaksa agar terdakwa
mengembalikan kerugian keuangan negara Rp 32 miliar dan merampas aset Djoko
Susilo dari hasil kejahatan pencucian uang. Tidak akan ada lagi penghitungan
substitusi kerugian negara dengan perampasan aset. Pasalnya, jumlah keseluruhan
aset dari hasil tindak pidana berbeda dari kerugian yang diderita negara
dari tindak pidana korupsi.
Selanjutnya,
setelah menuntaskan berkas Djoko Susilo, ada hal penting yang perlu
dipersiapkan secara kelembagaan. Dari informasi putusan, dapat ditafsirkan
sepertinya ada aliran dana haram ke perwira tinggi kepolisian. Keterangan ini
berisiko memunculkan konflik kelembagaan yang dahulu sempat terjadi antara KPK
dan Mabes Polri.
Masih
ingat, ”penyerbuan” kelompok oknum yang ditengarai berasal dari korps baju
cokelat ke kantor KPK, yang kebetulan berdekatan dengan pemeriksaan kasus
simulator? Atau kasus Cicak versus Buaya yang terjadi jauh sebelumnya?
Intinya,
demi menuntaskan kasus ini, Kapolri mesti memberikan pernyataan dan
implementasi jaminan tidak akan ada satu pun perwira tinggi dan perwira
menengah kepolisian yang mengintervensi pemeriksaan. Kapolri harus menggaransi
bahwa penyidik KPK bakal lebih mudah memeriksa perwira polisi yang diduga kuat
menjadi jaringan penikmat aliran uang haram dari tindak pidana korupsi dan
pencucian uang, atau kejahatan lainnya.
Terakhir,
tak lelah kiranya selalu mengingatkan bahwa kegagalan pemberantasan korupsi
salah satunya adalah konflik kelembagaan antarpenegak hukum menggelinding
sangat kencang ketimbang pemeriksaan kasus korupsinya. Semoga ini tidak
terjadi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar