Senin, 09 September 2013

Vonis Djoko Susilo

Vonis Djoko Susilo
Hifdzil Alim ;   Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM,
Ketua Bidang Nonlitigasi LPBH PWNU DIY
SUARA MERDEKA, 09 September 2013


DJOKO Susilo, terdakwa kasus korupsi pengadaan simulator uji klinik pengemudi roda dua dan roda empat tahun anggaran 2011, dinyatakan bersalah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan (SM, 4/9/13). Putusan ini berbeda dari tuntutan jaksa penuntut umum yang mendalilkan hukuman penjara 18 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan. Tak cukup di situ, tuntutan agar terdakwa mengembalikan uang negara Rp 32 miliar dari kerugian karena korupsi juga tak dikabulkan.

Sebelum pembacaan vonis, saya berdiskusi dengan salah satu wartawan. Dari fakta persidangan, kemungkinan besar mantan direktur Korps Lalu Lintas (Korlantas) Mabes Polri itu akan dihukum berat. Atau setidak-tidaknya tidak di bawah 10 tahun. Benar saja, putusannya tak jauh-jauh dari angka 10 tahun. Sesungguhnya, setelah hukuman dijatuhkan, ada kekecewaan yang mendalam. Kenapa hanya 10 tahun? Bukankah ada angka lebih besar dalam Pasal 2 Ayat (1) UU tentang Pemberantasan Tipikor: 20 tahun penjara?

Kami pun bertanya-tanya, kenapa bisa sebegitu ringan putusannya, kurang dari dua per tiga ancaman penjara maksimal? Apakah yang terhormat para hakim sedang ìmasuk anginî? Tentu dugaan demikian sempat pula dirasakan oleh khalayak. Prasangka ini menguat ketika mengingat peristiwa beberapa hari sebelumnya. Pada saat pembacaan pledoi, pembelaan, terselip uang 100 dolar AS ke salah satu berkas yang diterima jaksa penuntut umum (SM,  28/8/13). Jangan-jangan ini menjadi semacam kode. Apakah ada uang panas yang mengalir ke korps ketok palu? Sayang, pesan tak sampai ke meja hijau.

Tetapi apa boleh buat, hakim sudah menvonis. Kini tinggal langkah KPK mau ke mana. Puas dengan putusan itu ataukah memilih banding. Kabar baiknya, jaksa penuntut umum merasa tidak terima dengan vonis. Komisi antikorupsi pun memutuskan banding. Untuk bahan banding ke pengadilan tinggi, jaksa harus hati-hati mendalilkan dan menguraikan tuntutannya, agar jangan sampai terdakwa lolos lagi dari hukuman berat dan uang negara yang dicuri dapat dikembalikan ke kas negara.

Perlu ditekankan, mantan gubernur Akademi Kepolisian (Akpol) di Semarang itu dijerat karena melakukan dua perbuatan pidana, korupsi dan pencucian uang. Pada titik ini, jaksa sekali lagi harus berhati-hati mengurai fakta. Kerugian sebesar Rp 32 miliar berasal dari korupsi yang dilakukan dalam pengadaan alat simulasi kemudi, bukan dari sangkaan pencucian uang. Artinya, untuk kasus pencucian uang perlu didalilkan sendiri. Harus dibedakan antara kerugian negara dari korupsi dan sejumlah aset yang kemungkinan besar diperoleh dari tindak pidana pencucian uang.

Konflik Kelembagaan

Dengan membedakan uraian antara kasus korupsi dan kasus pencucian uang, diharapkan majelis hakim tingkat banding sudi mengabulkan tuntutan jaksa agar terdakwa mengembalikan kerugian keuangan negara Rp 32 miliar dan merampas aset Djoko Susilo dari hasil kejahatan pencucian uang. Tidak akan ada lagi penghitungan substitusi kerugian negara dengan perampasan aset. Pasalnya, jumlah keseluruhan aset dari hasil tindak pidana berbeda dari  kerugian yang diderita negara dari tindak pidana korupsi.

Selanjutnya, setelah menuntaskan berkas Djoko Susilo, ada hal penting yang perlu dipersiapkan secara kelembagaan. Dari informasi putusan, dapat ditafsirkan sepertinya ada aliran dana haram ke perwira tinggi kepolisian. Keterangan ini berisiko memunculkan konflik kelembagaan yang dahulu sempat terjadi antara KPK dan Mabes Polri.

Masih ingat, ”penyerbuan” kelompok oknum yang ditengarai berasal dari korps baju cokelat ke kantor KPK, yang kebetulan berdekatan dengan pemeriksaan kasus simulator? Atau kasus Cicak versus  Buaya yang terjadi jauh sebelumnya?

Intinya, demi menuntaskan kasus ini, Kapolri mesti memberikan pernyataan dan implementasi jaminan tidak akan ada satu pun perwira tinggi dan perwira menengah kepolisian yang mengintervensi pemeriksaan. Kapolri harus menggaransi bahwa penyidik KPK bakal lebih mudah memeriksa perwira polisi yang diduga kuat menjadi jaringan penikmat aliran uang haram dari tindak pidana korupsi dan pencucian uang, atau kejahatan lainnya.


Terakhir, tak lelah kiranya selalu mengingatkan bahwa kegagalan pemberantasan korupsi salah satunya adalah konflik kelembagaan antarpenegak hukum menggelinding sangat kencang ketimbang pemeriksaan kasus korupsinya. Semoga ini tidak terjadi. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar