Senin, 23 September 2013

Mengembalikan Pendidikan ke Masyarakat

Mengembalikan Pendidikan ke Masyarakat
Kreshna Aditya ;   Inisiator Bincang Edukasi
MEDIA INDONESIA, 23 September 2013


SEKOLAH (formal) kembali digugat! Sir Ken Robinson, pakar pendidikan dunia, bernalar bahwa sekolah merupakan institusi paling bertanggung jawab terhadap ketidaksiapan angkatan pekerja pada dunia kerja saat ini. Lebih tajam lagi, Sugata Mitra, pakar teknologi pendidikan, mengatakan sekolah berhasil memenuhi tujuan perancangannya, tetapi tujuan itu saat ini sudah tidak relevan. Persekolahan ialah solusi yang tepat untuk permasalahan yang sudah lewat.

Dunia sudah berubah jauh, tetapi persekolahan dianggap masih memberhalakan model era industri. Contoh paling gamblang ialah upaya standardisasi siswa bak ban berjalan di pabrik, misalnya lewat ujian nasional (UN). Ketidaksinkronan kehidupan era informasi dengan sistem persekolahan ini mendesakkan pertanyaan, “Apakah sekolah masih dibutuhkan?”

Untuk menanggapi pertanyaan itu, muncullah dua pandangan berlawanan. Yang pertama melihat persekolahan sekarang memang tidak menjawab permasalahan kehidupan modern, tetapi masih diperlukan dan hanya perlu pembenahan serius. Pandangan kedua mengatakan sistem persekolahan sudah memasuki masa akhirnya dan tidak lagi relevan dengan kehidupan abad ke-21 sehingga perlu dibongkar sampai ke akarnya.

Kedua pandangan itu sebenarnya memiliki dasar pijakan yang sama, yaitu masih memandang sekolah sebagaimana adanya saat ini. Padahal, kemajuan teknologi dan potensi pemanfaatannya dalam pendidikan sebenarnya membuka kesempatan diskusi yang lebih konstruktif, yaitu bila kita melupakan segala asumsi tentang ‘sekolah’ dan merancangnya dari nol dengan segala kondisi yang kita miliki saat ini untuk memenuhi kebutuhan abad ke-21, akan seperti apa (saja) bentuknya?

Membahas pertanyaan ini lebih bermanfaat bagi masyarakat luas sekaligus pemerintahan mendatang.

Masyarakat Pendidik

Pada 1960-an Paul Goodman, kritikus sosial, berujar bahwa pendidikan terbaik yang dapat dirasakan seorang anak ialah pendidikan insidental, yaitu pendidikan yang didapat saat anak terlibat aktif dan menyatu dengan semua kegiatan sosial kemasyarakatan di lingkungannya. Orang dewasa tidak mengisolasi anak-anak di dalam tembok-tembok sekolah.

Ia katakan model sekolah saat ini berpotensi menghambat tumbuh kembang alami anak. Metode dan kurikulum baku serta tunggal hanya akan menyia-nyiakan potensi manusia untuk belajar dan berkarya. Hanya sebagian kecil anak yang ‘berbakat akademik’ akan mampu melewati persekolahan tanpa merasa bosan atau dihambat.

Kemampuan akademik memang memerlukan kecerdasan tinggi, tetapi tentu salah apabila kita menganggap kecerdasan tinggi hanya terwakili oleh kemampuan akademik. Sayangnya kita telanjur percaya bahwa model persekolahan formal yang kita lihat saat ini ialah satu-satunya jalan menjadi terdidik. Sebaliknya, Goodman malah mengusulkan agar pendidikan disebar dan     dilebur ke kampung, pabrik, museum, taman, perkantoran, pasar, dan berbagai tempat aktivitas harian masyarakat lainnya.
Anak nelayan di lingkungan bahari, misalnya, harus tetap diupayakan menyatukan kebaharian ke dalam pendidikan mereka. Para nelayan di lingkungan mereka turut berperan sebagai mentor dan guru bagi si anak. Singkat kata, masyarakat ikut menjadi pendidik.

Masyarakat pendidik akan menemukan dan menciptakan peluang pembelajaran di dalam masyarakat serta membawa anak-anak mereka memasuki proses pembelajaran tersebut. Konsep itu sejalan dengan gagasan pengajaran terdistribusi oleh Yung Tae-kim yang mengangankan semua warga negara dewasa wajib terlibat aktif dalam pendidikan dengan menyumbangkan sebagian waktu, tenaga, dan pikiran mereka untuk menjadi ‘guru’, dengan memberikan pengalaman nyata mereka.

Dalam model pendidikan itu, paradigma tentang apa itu sekolah dibongkar dan dibangun ulang. Sekolah beserta guru-gurunya bertugas menjadi kurator sekaligus pendamping siswa (dan juga orangtuanya) dalam menemukan pembelajaran di masyarakat sesuai dengan kebutuhan si anak dan kebutuhan masyarakat di lingkungan sekolah berada.

Sekolah seperti ini mungkin cukup memiliki dua jenis tenaga kependidikan, yaitu staf administrasi yang bertugas mengelola operasional sekolah, lalu guru bimbingan dan konseling yang bertugas menjadi wali, kurator, dan mentor bagi siswa. Semua guru lain ialah praktisi (baca: masyarakat).

Konsep itu sudah mulai mewujud di negara kita. Contohnya bisa kita lihat pada gerakan Akademi Berbagi dan Kelas Inspirasi yang telah menyebar di seluruh Indonesia dan ikut menyadarkan masyarakat agar terlibat aktif menyumbangkan sebagian waktu mereka untuk berbagi ilmu dan inspirasi. Ada juga gerakan seperti Komunitas Sahabat Kota di Bandung, Jaringan Rumah Usaha di Semarang, School of Life Lebah Putih dan Qaryah Thayyibah di Salatiga, Sokola Rimba di Jambi serta Panti Asuhan Rosling di Kupang yang menjembatani  pendidikan insidental di dalam masyarakat.

Pendidikan 3.0

Model-model pendidikan insidental saat ini  semakin dimungkinkan dengan kemajuan serta ketersediaan teknologi informasi sesuai dengan apa yang diramalkan oleh John Moravec tentang gelombang Pendidikan 3.0. Bila Pendidikan 1.0 hanya terjadi di dalam kelas dari guru kepada murid, lalu pada Pendidikan 2.0 guru dan murid mulai memanfaatkan internet untuk menjadi koprodusen, Pendidikan 3.0 membawa mereka selangkah lebih maju.

Ciri gelombang Pendidikan 3.0 antara lain terinfusinya persekolahan kembali ke dalam masyarakat, runtuhnya sekat ruang dan waktu persekolahan, sekolah ikut melibatkan dan mendidik orangtua, serta keterlibatan semua warga sebagai guru dan murid sekaligus.

Konsep masyarakat belajar sebagai motor pembangunan sebuah negara menjadi alamiah. Teknologi saat ini membantu mewujudkan masyarakat belajar secara mandiri. Jika hendak belajar membuat dan berbisnis rujak cingur atau pasta bersaus jamur Italia, misalnya, dapat langsung dikerjakan saat ini dan di tempat ini juga. Masyarakat yang hidup dan meyakini untuk saling mengajar dan belajar itu ialah ciri masyarakat yang terdidik (well educated).

Diramalkan, masa depan teknologi dalam pendidikan bukan pada kecanggihan peranti keras, tetapi justru pada penciptaan jejaring dan awan belajar. Masyarakat yang berbagi pengetahuan akan menyebarkan dan menyimpan dengan teknologi awan sehingga semua warga dapat belajar secara murah atau gratis. Secara konsep, hal ini justru semakin mewujudkan model guru yang bukan sebagai sumber pengetahuan tunggal lagi. Guru dalam model ini fokus mengembangkan budaya belajar dan kecakapan bernalar siswa. Juga, model itu tidak memisahkan siswa dari masyarakatnya.

Dalam Pendidikan 3.0 dengan masyarakat ikut menjadi koprodusen pendidikan, pemerintah tidaklah lagi bisa ataupun perlu seberkuasa dulu. Pemerintah cukup berperan menjadi fasilitator yang memberikan ruang bagi inisiatif pendidikan lokal dalam memberdayakan dan mendorong transformasi sosial masyarakat sekitar.

Ada tiga fungsi utama yang bisa dilakukan pemerintah dalam Pendidikan 3.0. Yang pertama dan utama ialah fungsi administrasi yang mengelola dan memastikan ketersediaan infrastruktur melalui pemanfaatan uang rakyat yang dititipkan kepadanya. Fungsi berikutnya ialah regulasi yang memastikan tidak ada pelanggaran hak anak dalam pelaksanaan pendidikan oleh masyarakat. Serta yang terakhir, fungsi arbitrase yang mendamaikan pihak yang bertikai.

Apabila pemerintah justru berusaha mengembalikan dan melestarikan Pendidikan 1.0 dengan segalanya serbatunggal, distandarkan, dan terpusat, sesungguhnya pemerintah sedang berjalan melawan arus perubahan yang tak terbendung. Bila kengototan itu dipertahankan, masyarakat bukan tidak mungkin akan berpikir melakukan instalasi Pendidikan 3.1 yang menganggap penguasa sebagai kesalahan kode program yang perlu dijadikan tidak relevan, atau diisolasi agar tidak mengganggu.

Akhirnya, kita ingat kalimat Ki Hadjar Dewantara puluhan tahun lalu yang semakin terasa relevansinya saat ini, “Marilah kita beralih kepada pembicaraan pengajaran nasional, sebagai yang dipahami dan dibuat oleh rakyat sendiri.” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar