Senin, 23 September 2013

Memahami Penundaan Tapering Off The Fed

Memahami Penundaan Tapering Off The Fed
Aviliani ;   Pengamat Ekonomi
MEDIA INDONESIA, 23 September 2013


SPEKULASI tapering off The Fed sedikit mereda dengan adanya pengumu man dari Gubernur The Fed Ben Bernanke sehingga program pembelian obligasi sebesar US$85 miliar per bulan tetap dilanjutkan. Artinya, dana asing diproyeksikan akan masuk kembali ke negara-negara emerging market. Keputusan penundaan itu barangkali memberi ruang bernapas bagi negara-negara emerging market dan negara maju. Namun, belum ada jaminan seberapa lama penundaannya sehingga risiko dan ketidakpastian akan terus mengemuka. Ketidakpastian tersebut biasanya bermuara pada spekulasi baru baik di pasar uang maupun pasar saham.

Keputusan penundaan tersebut direspons baik oleh pasar. Indeks Dow Jones di New York naik sekitar 0,9% menjadi 15.709,58. Kondisi serupa juga terjadi di bursa regional Asia seperti Hang Seng Hong Kong meningkat 1,67% dan Nikkei Jepang 1,8%. Nilai tukar mata uang beberapa negara juga menguat. Pada 19 September 2013, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menjadi 11.342 dari posisi 11.408 pada 18 September. Rupee India juga mengalami kondisi serupa, yakni per 19 September pada posisi 62,13 menguat dari 63,27.

Gubernur The Fed menyebutkan beberapa alasan penundaan tersebut. Semua argumen itu bertujuan menunggu kepastian beberapa indikator makroekonomi seperti posisi fiskal pemerintah, tingkat inflasi, dan tingkat pengangguran. Jika ketiga hal tersebut terpenuhi, program stimulus akan diselesaikan pada 2013. Keputusan penundaan tersebut juga didukung 9 dari 10 anggota Federal Open Market Committee (FOMC).

Defisit fiskal AS per Agustus ialah US$147,9 mi liar, menurun dari US$191 miliar pada Agustus 2012. Defisit tersebut menurun hingga 22,56% (year on year/yoy). Tingkat inflasi AS per Agustus mencapai 1,5% (yoy), menurun dari 2% (yoy) pada Juli 2013. Tingkat pengangguran AS mencapai 7,3%, menurun dari posisi 7,4% pada Juli 2013 dan menurun signifikan dari 8,1% pada Juli 2012.

Tapering off dan gejolak ekonomi Indonesia

Penundaan tapering off bagai dua sisi mata uang terhadap perekonomian global. Pertama, jika eksekusi pengurangan pembelian obligasi dilakukan, secara tidak langsung mewartakan kepada dunia bahwa perekonomian AS telah pulih dari krisis. Kondisi tersebut biasanya akan diikuti dengan peningkatan suku bunga di AS sehingga mendorong capital inflow. Memang, akan terjadi tekanan bagi negara lain, namun kondisi tersebut cenderung lebih pasti. Namun, penundaan tapering off justru menjadi permainan baru bagi spekulan sehingga kembali mengguncang pasar uang dan pasar modal. Nilai tukar terdepresiasi, yield obligasi meningkat, inflasi meroket, suku bunga melonjak, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi terjadi.

Sisi kedua yang diamati dari keputusan penyelesaian tapering off tersebut akan memberikan dampak positif bagi kinerja ekspor negara-negara di dunia. AS memang menjadi salah satu importir sejumlah komoditas terutama dari negara-negara berkembang. Bagi Indonesia, ekspor ke AS menyumbang sekitar 10% dari nilai ekspor nasional. Sejak krisis melanda AS, kinerja ekspor nasional menurun signifikan. Kondisi tersebut se makin buruk ketika krisis utang melanda Uni Eropa. Perbaikan ekspor diharapkan dapat mening katkan pasokan valas melalui de visa hasil ekspor (DHE).

Harus diakui sejak penundaan tapering off, beberapa indikator ekonomi Indonesia sedikit bergerak membaik. Nilai tukar ru piah terhadap dolar Ameri ka Serikat menguat. Indeks harga saham gabungan (IHSG) mulai meningkat meninggalkan level 4.500. Pelaku pasar semakin bergairah karena kepu tusan tersebut serta langkah langkah antisipasi yang ditempuh pemerintah dan Bank Indonesia (BI).

Peningkatan BI rate menjadi 7,25% dari sebelumnya 7% diharapkan menahan dana asing di Indonesia. BI juga telah mengeluarkan paket kebijakan lain di antaranya peluncuran sertifikat deposito Bank Indonesia maupun kebijakan BI untuk memperpendek jangka waktu kepemilikan sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 6 bulan menjadi 1 bulan. Sertifikat deposito Bank Indonesia diperhitungkan sebagai komponen giro wajib minimum (GWM). Pemerintah pun telah memberikan sejumlah stimulus untuk menopang pemburukan indikator-indikator perekonomian.

Langkah ke depan

Harus diakui masalah penundaan tapering off hanya satu dari beberapa problematik ekonomi nasional dan sifatnya jangka pendek. Ancaman terhadap nilai tukar dan pelemahan pertumbuhan ekonomi masih terus menghantui karena masih ada persoalan inflasi yang berasal dari faktorfaktor nonmoneter, masalah defisit. Indonesia hingga kini dihadang empat defisit sekaligus, yaitu defisit neraca perdagangan, defisit neraca transaksi berjalan, defisit neraca pembayaran, dan defisit neraca primer.

Kedua faktor tersebut menjadi pemicu depresiasi rupiah yang semakin mendalam. Defisit transaksi berjalan hingga menyentuh 4,4% dari produk domestik bruto per triwulan II-2013. Inflasi menyentuh 8,79% sejalan dengan penyesuaian harga BBM menjelang Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri. Perbaikan neraca perdagangan juga semakin sulit karena memburuknya ekonomi China dan India sebagai penyerap ekspor nasional.

Perbaikan neraca pembayaran diharapkan dari kontribusi neraca modal dan finansial. Penundaan tapering off akan mengembalikan arus modal asing ke domestik baik dalam bentuk investasi portofolio maupun investasi langsung (foreign direct investment/FDI). Peningkatan imbal hasil surat berharga negara (SBN) menjadi salah satu alasan lonjakan dana asing ke instrumen ini. Lonjakan FDI diharapkan dari perbaikan peringkat daya saing Indonesia dari posisi 50 ke 38 dunia. Berbagai skenario tersebut diharapkan dapat meningkatkan cadangan devisa yang terus menurun. Sampai Juli, cadangan devisa pada posisi US$92,67 miliar menurun drastis dari level US$106,56 miliar per Juli 2012 (menurun US$13,88 miliar, yoy).

Pengurangan impor

Upaya menekan defisit transaksi perdagangan harus dilakukan dengan peningkatan ekspor dan penurunan impor. Peningkatan ekspor ditempuh dengan mencari pasar baru, terutama di Asia Timur dan Asia Tengah, tanpa mengabaikan pasar Jepang, ASEAN, China, dan India. Konsep market way dapat diterapkan untuk memenuhi hal tersebut melalui pemetaan kebutuhan barang per negara. Upaya mengurangi impor dapat dilakukan dengan substitusi impor.

Hal itu akan berjalan dengan topangan penelitian dan pengembangan oleh perusahaan. Dukungan pemerintah pun sudah ada berupa pembebasan pajak untuk program research and development.
Terkait dengan sektor moneter, BI diharapkan tidak menaikkan BI rate pada Oktober untuk mengurangi lonjakan suku bunga simpanan dan pinjaman sehingga tidak menekan pertumbuhan kredit. BI harus terus waspada terhadap aliran hot money dalam jangka pendek ini sehingga tidak menekan rupiah secara berkelanjutan.

Koordinasi kebijakan sangat dibutuhkan untuk mengelola persepsi pasar. Untuk itu, perlu meningkatkan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan antara Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), BI, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Selain itu, perlu mempercepat regulasi jaring pengaman sistem keuangan (JPSK) agar pengambil kebijakan memiliki dasar hukum yang lebih pasti. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar