Rabu, 04 September 2013

Meneruskan Budaya Korupsi

Meneruskan Budaya Korupsi
Hasbullah F Sjawie  Doktor Ilmu Hukum, Staf Pengajar FH Universitas Trisakti dan Universitas Tarumanagara, Jakarta
MEDIA JAKARTA, 03 September 2013


AGUSTUS berakhir dan rangkaian cerita peringatan hari ke merdekaan bangsa ini pun mulai redup. Namun, jejak kemeriahan tapak tilas kemerdekaan masih nyaring terdengar, seperti keberhasilan operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Kepala Satuan Kerja Khusus Migas (SKK Migas) Rudi Rubiandini. Pejabat bergaji fantastis itu dengan mudahnya dibuat silau oleh tumpukan dolar Amerika Serikat (AS). Ditemukannya mata uang negara adidaya dalam jumlah yang tidak wajar pada brankas seorang petinggi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menambah permasalahan terkait dengan kasus SKK Migas.

Masih hangat pemberitaan media dan masih belum selesai pemeriksaan di pengadilan tentang kasus impor daging sapi yang melibatkan petinggi partai dengan slogan `bersih'. Begitu juga masih belum maju ke tahapan proses selanjutnya atas kasus Hambalang, yang melibatkan mantan menteri dan mantan petinggi partai penguasa. Belum lagi dugaan keterlibatan beberapa orang wakil rakyat dalam sejumlah kasus penggarongan uang negara.

Penyakit korupsi itu sepertinya begitu menggerogoti berbagai anggota tubuh negeri ini, dan sudah sampai stadium akhir. Kapan mulai dideritanya bangsa ini mungkin lupa mencatatnya. Siapa yang memulainya untuk pertama kali sepertinya juga tidak tercatat dengan baik oleh sejarah.

Mungkin memang benar apa yang dikatakan Mochtar Lubis beberapa puluh tahun lalu, bahwa korupsi bukan lagi semata perbuatan sebagian kecil kalangan, yang sporadis terjadinya, melainkan telah menjadi suatu budaya, yang berlangsung massal dan terusmenerus. Sebagai budaya, tentu membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk menghidupkannya. Sebagai suatu budaya, tentu bukan ha nya satu atau dua orang yang melestarikannya. Setuju atau tidak setuju terhadap itu, yang jelas dan pasti, hingga hari ini j bangsa ini dan anak bangsanya b belum bebas dan merdeka dari korupsi. Siapa yang berani mengacungkan tangan dan menyombongkan diri dengan mengatakan bahwa negara kesatuan ini telah merdeka dari korupsi.

Banyak lembaga

Berbagai ketentuan peraturan hukum telah diundangkan guna menakut-nakuti mereka yang punya niat bermain-main dalam lingkaran korupsi. Bersamaan dengan itu, cukup banyak lembaga dibentuk guna mendorong penumpasan korupsi di negeri ini. Entah sudah berapa banyak anggaran negara dibuang untuk itu. Akan tetapi, nyatanya semua itu tidak banyak memperlihatkan hasil yang nyata. Korupsi dari tahun ke tahun semakin merajalela, bahkan sudah menjadi budaya turun-temurun dan seperti sebuah warisan.

Pihak yang semestinya bertugas memberantas korupsi malah ikut serta. Yang semestinya menegakkan aturan malah terseret. Yang bertanggung ja wab untuk mengawasi aparat hukum juga tidak mau ketinggalan. Seolah seluruhnya berlomba untuk bisa menikmati uang haram. Tidak jarang bahkan kita dipertontonkan suatu perselisihan antarlembaga menyangkut pemberantasan korupsi. Dari kesemuanya itu, yang tertinggal untuk pemberantasan korupsi bagi sebagian kalangan lips service semata, tidak lebih dari sebuah iklan yang tidak enak dipandang mata. Pendek kata, (hampir) semua lapisan masyarakat telah tergerogoti oleh penyakit itu.

Sudah lebih dari cukup bagi kita semua anak bangsa untuk hampir setiap harinya dipertontonkan lakon korupsi dengan berbagai babak dan adegannya. Sudah lebih dari cukup bagi kita untuk melihat orang terpandang memainkan perannya dalam pertunjukan korupsi itu. Korupsi laksana bukan lagi sesuatu yang memalukan. Sepertinya korupsi telah menjelma menjadi kegiatan keseharian yang tidak bisa kalau ditinggalkan.

Lebih parah dari itu semua, banyak dari pelakunya menyandang predikat pejabat, sering mempertontonkan diri seolah layaknya seorang penghibur, yang harus menjaga `citra diri' di depan kamera televisi, dengan mempertontonkan senyum lebar ketika diberitakan perbuatannya. Seolah-olah ia mengatakan korupsi itu hal biasa, halal, dan hanya karena apes akhirnya dia terseret hukum. Tidak percaya? Coba lihat saja berapa banyak pejabat yang merasa malu dan mengundurkan diri ketika tersangkut perkara korupsi. Sangat sedikit, jika tidak mau dikatakan tidak ada karena sangat sedikitnya.

Bangsa dan negara ini harus merdeka dan bebas dari semua itu. Kita berhak sekaligus berkewajiban untuk mencibir dan membuang dari pusaran negeri, semua lakon yang bertemakan korupsi. Seluruh anak negeri harus bahu-membahu membersihkan negeri ini dari penyakit yang sepertinya sudah sangat kronis tersebut. Harapan itu ada di depan, dan akan teraih, bila, paling tidak hukum bisa ditegakkan.

Tiga langkah

Untuk bisa menuju kepada negara yang bersih dari korupsi, dengan ditopang sistem hukum yang berjalan dengan baik, paling tidak diperlukan tiga syarat yang wajib dipenuhi. Pertama, diperlukan adanya aturan hukum yang bagus, baik dari sisi keadilannya maupun dari sisi kepastian hukumnya. Meski aturan yang ada tidak terlalu sempurna, untuk ini sepertinya kita tidak kekurangan.

Kedua, harus memiliki aparat hukum yang kuat, cerdas, dan bersih. Rasanya hanya KPK yang sampai hari ini bisa dikatakan memenuhi kriteria itu dan komit terhadap tugas serta kewajiban mereka. Ketiga, perlu dikembangkan budaya hukum yang baik, yaitu selain akan menjadi warga binaan dengan waktu yang panjang, tanpa harapan besar bagi pengurangan hukumannya, koruptor akan juga merasa terhukum dengan rasa malunya di masyarakat melebihi masa hukuman badannya.

Dewasa ini hanya kepada KPK asa itu digantungkan. Meski dengan napas yang terengah-engah, KPK berkeyakinan bangsa ini masih sangat mungkin bebas dari korupsi. Perlu dorongan budaya hukum masyarakat untuk bisa membantu KPK. Pencapaian tujuan sebagai negara yang bebas korupsi sudah tentu tidak akan diperoleh secara instan karena mengingat, antara lain, dukungan bagi KPK belumlah sempurna. Apalagi masih dibayangi pula dengan berbagai upaya sementara kalangan yang (pernah) mencoba untuk mengubah dan mengebiri kewenangan KPK, seraya mengedepankan berbagai alasan yang mengada-ada.

Layaknya kemerdekaan dari penjajah yang harus diraih dengan berbagai pengorbanan, demikian pula halnya dengan bebasnya bangsa ini dari korupsi, yang hanya bisa dicapai dengan keterlibatan semua lapisan masyarakat. Fundamental kerja bagi KPK dalam pemberantasan korupsi perlu lebih diperkukuh. Untuk itu, dukungan bagi KPK dari kita semua, baik dalam bentuk pemikiran, tenaga dan doa, harus terus diberikan.

Semoga KPK tetap siap bisa menjadi panglima pemberani bagi bangsa ini, yang terusmenerus memberi aba-aba dan komando pada kita semua. KPK harus tetap mengangkat pedang mereka yang tajam dan panjang untuk mencapaikan tujuan Indonesia bebas diri dari korupsi. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar