Rabu, 04 September 2013

Korupsi Politik Bisnis (2)

Korupsi Politik Bisnis (2)
Reza Syawawi  Peneliti Hukum dan
Kebijakan Transparency International Indonesia
KORAN TEMPO, 03 September 2013


Pasca-putusan MK tersebut, Presiden justru mengulang kesalahan yang terjadi di masa lalu dengan membentuk SKK Migas. Padahal Mahkamah menyatakan bahwa tugas dan fungsi BP Migas (setelah dibubarkan) harus dilaksanakan oleh pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan, dalam hal ini kementerian yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang migas, yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Tulisan saya di media ini pada 10 Mei 2013 ("Korupsi Politik Bisnis") telah sedikit mengurai "benang merah" hubungan antara kekuasaan dan dunia bisnis. Tak bisa dimungkiri, keduanya menjelma menjadi sejoli sejati yang turut melanggengkan praktek korupsi. Hal ini bisa disimpulkan dari beberapa kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang melibatkan petinggi partai politik dan kelompok bisnis tertentu (Koran Tempo, 10/5).
Babak baru relasi politik bisnis kembali mengemuka pasca-penangkapan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Rudi Rubiandini, oleh KPK (14/8). Ia ditangkap karena diduga menerima suap sekitar US$ 700 ribu dari PT Kernel Oil-salah satu perusahaan yang berbasis di Singapura. Sepintas kasus ini tidak jauh berbeda dengan kasus penyuapan oleh kelompok pebisnis terhadap pemegang kekuasaan. Namun hal itu menjadi sangat fantastis karena menyangkut sektor strategis yang menopang APBN.
Sejenak kita juga perlu melihat ke belakang, apa sebetulnya peran SKK Migas (dulu BP Migas) dalam rimba raya pengelolaan migas di Indonesia. Secara sederhana, SKK Migas bukanlah entitas bisnis yang menjalankan pengelolaan industri hulu minyak dan gas bumi. Lembaga ini hanyalah perpanjangan tangan pemerintah untuk menjalankan pengelolaan industri tersebut.
SKK Migas adalah lembaga baru bentukan Presiden berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Kehadiran SKK Migas merupakan dampak dari Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap UUD 1945 tertanggal 13 November 2012.
Singkatnya, putusan MK tersebut menyatakan kehadiran BP Migas bertentangan dengan konstitusi. Mahkamah berpandangan bahwa penguasaan negara atas migas yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui BP Migas hanyalah penguasaan sebatas tindakan pengendalian dan pengawasan. Padahal efektivitas penguasaan negara justru menjadi nyata apabila pemerintah secara langsung memegang fungsi regulasi dan kebijakan (policy), tanpa ditambah birokrasi dengan pembentukan BP Migas. Model hubungan antara BP Migas sebagai representasi negara dan badan usaha atau bentuk usaha tetap dalam pengelolaan migas mendegradasi makna penguasaan negara atas sumber daya alam Pasal 33 UUD 1945.
Pasca-putusan MK tersebut, Presiden justru mengulang kesalahan yang terjadi di masa lalu dengan membentuk SKK Migas. Padahal Mahkamah menyatakan bahwa tugas dan fungsi BP Migas (setelah dibubarkan) harus dilaksanakan oleh pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan, dalam hal ini kementerian yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang migas, yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Secara kelembagaan, SKK Migas tidak jauh berbeda dengan BP Migas. Perbedaannya hanya pada dasar hukum pembentukannya. BP Migas dibentuk atas dasar undang-undang, sedangkan SKK Migas dalam bentuk peraturan presiden. Karena itu, bisa disimpulkan bahwa pembentukan SKK Migas bertentangan dengan konstitusi.
Jika melihat struktur pembentukan SKK Migas, dalam kasus suap ini, Kementerian ESDM sudah sepatutnya menjadi penanggung jawab utama atas tugas-tugas dalam pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Setidaknya ini didasarkan pada 2 (dua) hal. Pertama, dalam putusan MK disebutkan bahwa pelaksanaan tugas dan fungsi BP Migas harus dijalankan oleh kementerian yang mengurusi bidang migas. Kedua, berdasarkan Perpres 9/2013 disebutkan adanya Komisi Pengawas yang bertugas melakukan pengendalian, pengawasan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas SKK Migas. Dalam Perpres tersebut jelas disebutkan bahwa Menteri ESDM adalah Ketua Komisi Pengawas.
Atas dasar ini, tanggung jawab kelembagaan tetap berada di pundak Menteri ESDM, dan Presiden sebagai kepala penyelenggaraan pemerintahan. Penyuapan ini tentu bukanlah tindakan yang berdiri sendiri. Kebijakan SKK Migas tidak mungkin berjalan tanpa persetujuan dari Komisi Pengawas.
Hal ini tercantum secara jelas dalam Pasal 4 huruf a Perpres 9/2013 bahwa Komisi Pengawas mempunyai tugas memberi persetujuan terhadap usul kebijakan strategis dan rencana kerja SKK Migas dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Namun pembuktian di pengadilanlah yang harus memperjelas kasus ini, apakah suap tersebut memang berkaitan dengan pengambilan kebijakan tertentu oleh SKK Migas atau tidak.
Pada 2011, Bribery Payers Index (BPI), yang dikeluarkan Transparency International, menyebutkan, dari 28 negara yang disurvei, pengusaha Indonesia menempati urutan keempat dalam hal negara yang gemar melakukan suap untuk memperlancar kegiatan bisnisnya. Pada 2013, dalam laporan Global Corruption Barometer (GCB) disebutkan bahwa pemerintahan di Indonesia sebagian dikendalikan oleh kepentingan pebisnis besar, meskipun dengan catatan bahwa negara-negara di Asia Tenggara lebih parah.
Fenomena ini patut dicermati secara serius bukan hanya dari sisi penindakan, tapi juga pencegahan suap dalam dunia bisnis. Kecenderungan suap untuk memperoleh layanan/proyek terjadi karena memang aturannya tidak ketat. Jadi, pebisnis ataupun pemegang kuasa begitu bebas melakukan penyuapan. Untuk itu, khusus di sektor migas, pemerintah perlu memperbaiki mekanisme pengelolaannya. Sejauh ini, pembentukan SKK Migas bukanlah cara untuk memperbaikinya, melainkan justru merusaknya.
Relasi pebisnis dengan pengambil kebijakan harus dibangun dalam konteks pemberian layanan tanpa unsur merugikan pihak lain, terutama negara. Suap sebagai cara untuk mendapatkan layanan (lebih) justru memperkuat dugaan bahwa korupsi politik bisnis memang tengah menjamur di Indonesia. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar