Rabu, 04 September 2013

Memaknai Sensus Pertanian 2013

Memaknai Sensus Pertanian 2013
Posman Sibuea  Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Unika Santo Thomas Sumatra Utara, Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
MEDIA JAKARTA, 03 September 2013


KEGIATAN Sensus Pertanian 2013 (ST2013) yang menghabiskan dana sekitar Rp1,6 triliun telah selesai dilakukan bulan Mei lalu. Masyarakat yang semakin kritis terhadap hasil survei BPS berharap Badan Pusat Statistik (BPS) dapat menjaga kualitas data ST2013 guna mempertanggungjawabkan kegiatan ini secara lebih baik.

Meski hampir luput dari diskusi publik dan liputan media, sebab ST2013 kalah seksi jika dibandingkan dengan berita politik jelang Pemilu 2014, dunia pertanian Indonesia kini memasuki babak baru. Di antaranya hasil sensus pertanian 2013 akan memberi data dan informasi terkini tentang berbagai aspek pertanian yang akan digunakan sebagai pilar perbaikan pembangunan pertanian sepuluh tahun ke depan.

Pemerintah dan masyarakat agrobisnis akan dapat memanfaatkan hasil ST2013 untuk percepatan pembangunan pertanian Indonesia. ST2013 tidak lagi sekadar `proyek' rutin BPS, tetapi harus memberi makna yang patut untuk ditindaklanjuti dalam aksi nyata berupa perbaikan, perubahan, dan perombakan model-model pembangunan pertanian. Setuju atau tidak setuju, selama ini pembangunan pertanian jalan di tempat atau bahkan `mundur' ke belakang sehingga mayoritas warga Indonesia yang bekerja sebagai `petani' mengalami proses pemiskinan.

Urbanisasi

Sensus pertanian diselenggarakan 10 tahun sekali di tahun berekor angka tiga. Juga di tahun ini adalah kali yang keenam antara lain selalu bertujuan untuk menyediakan informasi untuk masa depan petani yang lebih baik. Dari perspektif ekonomi, hasil sensus pertanian acap memberi gambaran penurunan kualitas kehidupan petani. Sekadar menyebut contoh, hasil sensus pertanian 2003 menunjukkan jumlah rumah tangga petani guram meningkat 2,4% per tahun, dari 10,8 juta pada 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada 2003.

Implikasinya, selama 10 tahun terakhir kehidupan petani makin memburuk karena jumlah rumah tangga petani yang mengusai lahan sempit bertambah secara signifikan. Rata-rata kepemilikan lahan di Pulau Jawa menurut sensus pertanian 2003 adalah 0,30 ha per keluarga. Padahal, 10 tahun sebelumnya, s menurut sensus pertanian p 1993, masih berada pada posisi angka 0,48 ha.

Di negeri yang dipuja puji sebagai bangsa agraris karena memiliki lahan pertanian luas dan subur terus mengalami proses penyempitan lahan pertanian pangan. Penyusutan lahan karena fragmentasi melalui pewarisan dan pengalihan fungsi untuk permukiman, perkebunan, dan pertambangan. Setiap tahun tidak kurang dari 100 ribu hektare lahan pertanian dikonversi untuk penggunaan ke nonpertanian. Dalam kurun 1990-2010, Sumatra Utara mengalami pengurangan luas lahan pertanian pangan sekitar 200 ribu ha. Di Pulau Jawa, dari setiap empat petani, tiga di antaranya petani guram. Meluasnya alih fungsi lahan menjadi penyebab meningkatnya kemiskinan di desa dan menjadi pemicu urbanisasi.

Secara perlahan dan pasti sektor pertanian diposisikanan diposisikan sebagai bidang usaha yang tidak lagi menarik minat orang. Arus urbanisasi tidak terbendung setiap tahun seusai Lebaran lantaran desa dianggap sebagai sumber kemiskinan. Gambaran ini menjadi sinyal buruk pembangunan pertanian. 

Sayang, di kota mereka tidak punya keterampilan dan hanya mengandalkan nasib `untung-untungan' untuk memperoleh pekerjaan. Tidak sedikit yang gagal yang akhirnya menjadi pengangguran. Mereka yang kalah terpaksa menyambung hidup dengan cara apa saja.

Untuk mengatasinya, tidak bisa lagi sekadar membuat aturan yang melarang ma syarakat desa datang ke kota. Melakukan razia bagi mereka yang tidak memiliki KTP bukan solusi. Semangat keber pihakan terhadap penderitaan wong cilik patut terus dinyalakan. Pemerintah harus mampu mencegah arus urbanisasi dengan meluncurkan berbagai program yang bersifat interventif. Salah satunya adalah menciptakan lapangan kerja baru di desa dengan mempercepat pembangunan pertanian. Implikasinya adalah anggaran yang signifikan patut tersedia di kementerian pertanian dan instansi terkait yang memberdayakan masyarakat perdesaan.

Agropolitan

Derasnya arus urbanisasi dan kian sesaknya kehidupan di perkotaan menunjukkan ketiadaan langkah serius yang diambil pemerintah untuk merespons hasil sensus pertanian 2003. Diduga hasil sensus pertanian 2013 akan mengungkap kenyataan yang membuat hati bertambah miris dengan proses pemiskinan yang terjadi di tengah masyarakat petani. Luas lahan per keluarga petani sudah pasti kian menyempit dan mendorong proses pemiskinan itu.

Selama 10 tahun belakangan ini, roda pembangunan pertanian ke arah pengembangan agropolitan masih jalan di tempat. Pembangunan pertanian dalam ruang agropolitan memang rumit, sebab membutuhkan anggaran besar dan memerlukan koordinasi lintas instansi. Agropolitan bukan sekadar membangun jalan, gedung, dan pasar, melainkan memberdayakan dan mendampingi masyarakat untuk melakukan per ubahan secara bersama-sama.

Terlepas dari kerumitannya, agropolitan harus dipahami sebagai konsep pembangunan kota masuk ke desa sehingga terbentuk kota kecil pertanian. Dengan men jadikan desa sebagai kota kecil pertanian, laju urbanisasi bisa dikendalikan karena industri agro yang dikembangkan lewat agropolitan membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar. Kementerian Perindustrian menargetkan pertumbuhan agroindustri pangan pada periode 20102025 meningkat secara signifikan. Agroindustri seperti pengolahan pangan lokal, kelapa sawit, cokelat, kelapa, kopi, teh, dan buah-buahan-yang semuanya berbasis di perdesaan--menjadi pusat andalan.

Namun, hingga kini, belum ada kemajuan berarti di bidang pembangunan pertanian yang menjadi hulu sektor agroindustri pangan. Pemerintah tampaknya belum serius mengembangkan sebagai salah satu pilar ekonomi kerakyatan sebagaimana roh revitalisasi pertanian 2005. Sebaliknya, para pejabat yang duduk di kursi singgasana kekuasaan bersibuk ria dengan politik `dagang sapi' guna menyongsong Pemilu 2014. Sebagian para elite politik lebih asyik menggalang dana lewat berbagai proyek yang sarat korupsi untuk kepentingan partai. Mereka tidak terusik dengan persoalan petani yang makin sulit mendapatkan lahan pertanian, pupuk, bibit unggul, dan berbagai alat pertanian lainnya karena keterpurukan daya beli.

Oleh karena itu, hasil sensus pertanian 2013 patut dimaknai sebagai jembatan yang mempercepat pembangunan pertanian untuk sepuluh tahun ke depan. Pembangunan pertanian merupakan mesin yang mendorong empat gerbong sekaligus, yakni kesejahteraan rakyat yang mayoritas petani, menciptakan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat, membangun landasan ekonomi kerakyatan, dan meningkatkan devisa negara. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar