|
Vonis
lepas terpidana kasus korupsi Rp 1,2 triliun, Sudjiono Timan di tingkat
Peninjauan Kembali (PK) mengiris rasa keadilan. Kecaman dan sumpah serapah
layak dipersembahkan untuk Hakim Agung yang mengabulkan PK Sudjiono, meskipun
sang koruptor belum diketahui rimbanya.
Putusan
ini jelas menjungkirbalikan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Akan
tetapi, suka atau tidak suka ini merupakan putusan hukum yang harus
dihormati karena kita adalah negara hukum.
Namun,
masih ada yang mengganjal dalam benak penulis, yaitu mau dibawa ke mana
ketidakadilan putusan PK Sudjiono dan upaya hukum apa yang dapat dilakukan.
Penulis mencoba menuangkan gagasan penegakan hukum dalam kasus a quo.
Constitutional
Complaint
Kontroversi
putusan PK Sudjiono hanya menjadi perdebatan dan catatan hitam dunia peradilan
di Indonesia karena belum tersedia payung hukum untuk menguji kesahihan putusan
tersebut.
Upaya
yang dapat dilakukan hanya memeriksa sang hakim oleh KY atau komite etik,
sedangkan putusannya akan tetap menjadi putusan hukum karena tidak ada lagi
upaya hukum untuk mengubahnya. Maka perlu digagas norma baru untuk meluruskan
kesesatan ini. Dalam praktik peradilan, kita mengenal
mekanisme constitutional complaint (pengaduan konstitusional).
Di
pelbagai negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi (MK), mekanisme constitutional
complaint sudah lama diterapkan, seperti di Jerman, Austria, Korea Selatan,
Rusia, Thailand, Afrika Selatan dan beberapa negara lainnya.
Jerman
merupakan negara yang paling subur menerapkan constitutional complaint atau
istilah lainnya Verfassungsbeschwerde. Setiap warga negara yang merasa hak
konstitusionalnya dilanggar dapat menempuh upaya hukum constitutional complaint
ke Federal Constitutional Court (MK Jerman).
Pelanggaran
konstitusional dapat berupa kebijakan atau tindakan pejabat publik termasuk vonis/putusan
hakim. Misalnya, jika ada putusan PK yang salah dalam penerapan hukum, dapat
diajukan ke MK dengan syarat telah menempuh seluruh upaya hukum pengadilan
lainnya. Pengecualiannya jika ada kebijakan atau tindakan pejabat publik yang
memberikan dampak luas dan mendesak untuk diputuskan, dapat diajukan langsung
ke MK.
Di
Jerman pengajuan constitutional complaint tidak dikenakan biaya dan tidak ada
kewajiban didampingi pengacara.
Dalam
kurun waktu 1951-2005, tercatat 157.233 permohonan ke Federal Constitutional
Court. Dari jumlah itu, 151.424 masuk klasifikasi constitutional complaint dan
3.699 permohonan atau 2,5% dikabulkan. Berarti constitusional complaint menjadi
mekanisme terakhir warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar.
Berkaca
pada PK Sudjiono yang penuh dengan muslihat dan kejanggalan, Sang hakim
mengenyampingkan logika dan aturan hukum, serta rasa keadilan masyarakat.
Kejanggalan tersebut antara lain, pertama prosedur pengajuan PK yang menyalahi
aturan.
Pasal
263 Ayat 2 KUHAP mengatakan, yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau
ahli waris jika terpidana sudah meninggal dunia. Artinya, PK yang diajukan
istri Sudjiono sebagai ahli waris cacat hukum karena terpidana masih hidup.
Kedua,
ketika pengajuan PK, Sudjiono berstatus buron. Sejak putusan kasasi tahun 2004,
Sudjiono mangkir melaksanakan hukumannya. Berarti selama sembilan tahun
Sudjiono telah melawan hukum dan melecehkan putusan hakim secara sengaja.
Logikanya
tidak mungkin hakim mengampuni orang yang melawan hukum dan melecehkan putusan
hakim selama selama tahun kecuali sang hakim sudah tidak waras. Akan tetapi,
ketidakwarasan hakim tersaji dengan dikabulkannya PK Sudjiono.
PK
merupakan upaya hukum luar biasa. Jika ada muslihat proses pengambilan
putusannya, tentu tidak ada lagi upaya hukum untuk mengubahnya.
Kasus
Sudjiono adalah contoh nyata praktik peradilan yang sesat sehingga sang
koruptor bebas menghirup udara segar dan menikmati hasil jarahannya. Melihat
fenomena ini, selayaknya diberikan kewenangan untuk mengadili PK tersebut
berdasarkan parameter normatif konstitusional (UUD 1945). Oleh karena itu,
mekanisme constitusional complaint sangat relevan untuk diterapkan di bawah
komando MK.
Pilihan
Tentunya
ide constitutional complaint akan ditentang banyak kalangan, terutama MA
beserta jajarannya dengan alasan keputusan yang sudah incraht dan tidak ada
upaya hukum lagi kenapa bisa diuji MK. Menurut penulis, MK merupakan
satu-satunya lembaga di republik ini yang mengawal dan menafsirkan konstitusi
(the guardian and interpretation of constitusion).
Begitu
juga hakim di MK sudah dilabeli negarawan, sedangkan hakim yang ada di
peradilan lainnya tidak. Jika ditemukan atau disinyalir ada praktik penegakan
hukum yang melenceng dari amanah konstitusi, MK berwenang meluruskan
pembengkokan tersebut.
Terhadap
PK Sudjino, setiap warga negara berhak mengajukan ke MK melalui mekanisme constitusional complaint dengan alasan
putusan PK ini mencederai rasa keadilan masyarakat yang ada dalam konstitusi.
Gagasan
mengadili perkara constitusional
complaint ke MK bukanlah hal yang baru. Berbagai artikel dan buku sudah
pernah ditulis pakar-pakar hukum dan dibeberapa pertimbangan hukum putusan MK
sudah memberikan sinyalemen pentingnya constitutional
complaint sebagai sarana untuk mencari keadilan di tengah bobroknya
penegakan hukum.
Buktinya,
di tahun 2005 terdapat 48 permohonan yang dikategorikan constitusional complaint atau 3 (tiga) kali lipat dari jumlah
permohonan judicial review yang masuk
ke MK di tahun yang sama.
Sudah
saatnya mekanisme constitutional
complaint diterapkan dengan menambahkan kewenangan ini dalam UUD 1945 atau
UU MK sehingga MK memiliki legal standing untuk mengadilinya. Diharapkan MK
bisa memutus mata rantai mafia hukum di MA dan tidak ada lagi lahir putusan PK
seperti kasus Sudjiono. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar