Senin, 16 September 2013

Menerapkan “Constitutional Complaint”

Menerapkan “Constitutional Complaint”
Ilham Kurniawan D  ;    Peneliti Hukum dan Kebijakan KKI Warsi
SINAR HARAPAN, 16 September 2013


Vonis lepas terpidana kasus korupsi Rp 1,2 triliun, Sudjiono Timan di tingkat Peninjauan Kembali (PK) mengiris rasa keadilan. Kecaman dan sumpah serapah layak dipersembahkan untuk Hakim Agung yang mengabulkan PK Sudjiono, meskipun sang koruptor belum diketahui rimbanya.

Putusan ini jelas menjungkirbalikan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Akan tetapi, suka atau tidak suka ini merupakan putusan hukum yang harus dihormati karena kita adalah negara hukum.
Namun, masih ada yang mengganjal dalam benak penulis, yaitu mau dibawa ke mana ketidakadilan putusan PK Sudjiono dan upaya hukum apa yang dapat dilakukan. Penulis mencoba menuangkan gagasan penegakan hukum dalam kasus a quo.

Constitutional Complaint

Kontroversi putusan PK Sudjiono hanya menjadi perdebatan dan catatan hitam dunia peradilan di Indonesia karena belum tersedia payung hukum untuk menguji kesahihan putusan tersebut.
Upaya yang dapat dilakukan hanya memeriksa sang hakim oleh KY atau komite etik, sedangkan putusannya akan tetap menjadi putusan hukum karena tidak ada lagi upaya hukum untuk mengubahnya. Maka perlu digagas norma baru untuk meluruskan kesesatan ini. Dalam praktik peradilan, kita mengenal mekanisme constitutional complaint (pengaduan konstitusional).

Di pelbagai negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi (MK), mekanisme constitutional complaint sudah lama diterapkan, seperti di Jerman, Austria, Korea Selatan, Rusia, Thailand, Afrika Selatan dan beberapa negara lainnya.

Jerman merupakan negara yang paling subur menerapkan constitutional complaint atau istilah lainnya Verfassungsbeschwerde. Setiap warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar dapat menempuh upaya hukum constitutional complaint ke Federal Constitutional Court (MK Jerman).

Pelanggaran konstitusional dapat berupa kebijakan atau tindakan pejabat publik termasuk vonis/putusan hakim. Misalnya, jika ada putusan PK yang salah dalam penerapan hukum, dapat diajukan ke MK dengan syarat telah menempuh seluruh upaya hukum pengadilan lainnya. Pengecualiannya jika ada kebijakan atau tindakan pejabat publik yang memberikan dampak luas dan mendesak untuk diputuskan, dapat diajukan langsung ke MK.

Di Jerman pengajuan constitutional complaint tidak dikenakan biaya dan tidak ada kewajiban didampingi pengacara.

Dalam kurun waktu 1951-2005, tercatat 157.233 permohonan ke Federal Constitutional Court. Dari jumlah itu, 151.424 masuk klasifikasi constitutional complaint dan 3.699 permohonan atau 2,5% dikabulkan. Berarti constitusional complaint menjadi mekanisme terakhir warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar.

Berkaca pada PK Sudjiono yang penuh dengan muslihat dan kejanggalan, Sang hakim mengenyampingkan logika dan aturan hukum, serta rasa keadilan masyarakat. Kejanggalan tersebut antara lain, pertama prosedur pengajuan PK yang menyalahi aturan.

Pasal 263 Ayat 2 KUHAP mengatakan, yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau ahli waris jika terpidana sudah meninggal dunia. Artinya, PK yang diajukan istri Sudjiono sebagai ahli waris cacat hukum karena terpidana masih hidup.

Kedua, ketika pengajuan PK, Sudjiono berstatus buron. Sejak putusan kasasi tahun 2004, Sudjiono mangkir melaksanakan hukumannya. Berarti selama sembilan tahun Sudjiono telah melawan hukum dan melecehkan putusan hakim secara sengaja.

Logikanya tidak mungkin hakim mengampuni orang yang melawan hukum dan melecehkan putusan hakim selama selama tahun kecuali sang hakim sudah tidak waras. Akan tetapi, ketidakwarasan hakim tersaji dengan dikabulkannya PK Sudjiono.

PK merupakan upaya hukum luar biasa. Jika ada muslihat proses pengambilan putusannya, tentu tidak ada lagi upaya hukum untuk mengubahnya.

Kasus Sudjiono adalah contoh nyata praktik peradilan yang sesat sehingga sang koruptor bebas menghirup udara segar dan menikmati hasil jarahannya. Melihat fenomena ini, selayaknya diberikan kewenangan untuk mengadili PK tersebut berdasarkan parameter normatif konstitusional (UUD 1945). Oleh karena itu, mekanisme constitusional complaint sangat relevan untuk diterapkan di bawah komando MK.

Pilihan

Tentunya ide constitutional complaint akan ditentang banyak kalangan, terutama MA beserta jajarannya dengan alasan keputusan yang sudah incraht dan tidak ada upaya hukum lagi kenapa bisa diuji MK. Menurut penulis, MK merupakan satu-satunya lembaga di republik ini yang mengawal dan menafsirkan konstitusi (the guardian and interpretation of constitusion).

Begitu juga hakim di MK sudah dilabeli negarawan, sedangkan hakim yang ada di peradilan lainnya tidak. Jika ditemukan atau disinyalir ada praktik penegakan hukum yang melenceng dari amanah konstitusi, MK berwenang meluruskan pembengkokan tersebut.

Terhadap PK Sudjino, setiap warga negara berhak mengajukan ke MK melalui mekanisme constitusional complaint dengan alasan putusan PK ini mencederai rasa keadilan masyarakat yang ada dalam konstitusi.

Gagasan mengadili perkara constitusional complaint ke MK bukanlah hal yang baru. Berbagai artikel dan buku sudah pernah ditulis pakar-pakar hukum dan dibeberapa pertimbangan hukum putusan MK sudah memberikan sinyalemen pentingnya constitutional complaint sebagai sarana untuk mencari keadilan di tengah bobroknya penegakan hukum.

Buktinya, di tahun 2005 terdapat 48 permohonan yang dikategorikan constitusional complaint atau 3 (tiga) kali lipat dari jumlah permohonan judicial review yang masuk ke MK di tahun yang sama.
Sudah saatnya mekanisme constitutional complaint diterapkan dengan menambahkan kewenangan ini dalam UUD 1945 atau UU MK sehingga MK memiliki legal standing untuk mengadilinya. Diharapkan MK bisa memutus mata rantai mafia hukum di MA dan tidak ada lagi lahir putusan PK seperti kasus Sudjiono.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar