Minggu, 01 September 2013

Kehormatan Pendakwah

Kehormatan Pendakwah
Badiatul Muchlisin Asti ;  Ketua Yayasan Mutiara Ilma Nafia Grobogan
SUARA MERDEKA, 31 Agustus 2013


SILANG kata antara Ustadz Solmed (Sholeh Mahmud) dan sebuah majelis taklim yang dikelola Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong baru-baru ini memantik diskursus lama tentang fenomena penerimaan amplop (uang) pada kalangan dai atau pendakwah. Namun diskursus itu mengalami pergeseran dari ”bolehkah pendakwah menerima imbalan materi dari dakwahnya” ke ”bolehkah memasang tarif untuk dakwahnya”.

Bila domain diskursus pertama ada pada pembahasan fikih maka domain diskursus kedua lebih pada kode etik (adab, akhlak). Diskursus pertama sampai sekarang pun masih menyisakan perdebatani. Ada ulama mengharamkan pendakwah menerima uang. Tapi pendapat yang lebih ”masyhur” dan diikuti kebanyakan ulama adalah boleh alias halal pendakwah menerima uang, yang lazim disebut bisyarah.

Soal apakah pemberian itu memengaruhi niat, dikembalikan kepada pribadi masing-masing sesuai dengan kadar ke­ikhlasan dan keimanan. Itu akan berpengaruh pada integritas dan independensi menyampaikan ilmu dan kebenaran, tanpa terpengaruh oleh imbalan materi. Kuncinya memang ada pada niat, seba­gaimana hadis, ”Sesung­guhnya amal itu bergantung niat.” (HR Bukhari dan Mus­lim).

Yang problematis dan memantik sinisme adalah ketika pendakwah memasang tarif. Seandainya demikian, hampir dipasti­kan motif ekonomi sedikit banyak telah merasuki, bahkan boleh jadi mendominasi motif berdakwah, ketimbang keikhlasan menegakkan dakwah.

Pasang Tarif

Menerima imbalan ma­teri tidak haram bagi pendakwah, namun kalau sudah memasang tarif maka hal itu merupakan pelanggaran kode etik dakwah. Hal itu bisa mencederai muru’ah (kehormatan, harga diri, kredibilitas), bahkan mengotori citra dakwah.

Pendakwah tentulah paham agama dan dianggap berperilaku plus yang jadi rujukan umat, sehingga levelnya pun sudah tak lagi semata pada tingkatan ”halal-haram” sebagai pertimbangan dalam bertindak. Dia sudah mencapai tingkatan menjaga muru’ah, yakni bertindak atas pertimbangan kode etik atau adab. Jadi, memasang tarif merupakan tindakan yang tidak etis.

Idealnya pendakwah memang steril dari motif ekonomi, sebagaimana dilakukan pendakwah dari kalangan Nabi dan rasul serta salafussaleh (orang-orang saleh terdahulu). Mereka tak mengharap sedikit pun imbalan dari aktivitas dakwah. ”Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Alquran). Alquran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh umat.” (QS Al-An’am: 90).

”Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikit pun dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya)”. (QS Yunus: 72).

Di antara hikmah kesterilan pendakwah dari motif ekonomi, sebagaimana dinyatakan Dr Setiawan Budi Utomo dalam buku Fiqih Aktual (2013) adalah menghindarkan pendakwah dari jebakan dakwah yang dapat  menjerumuskan niat, risalah, ataupun citranya dari keterpurukan. Jebakan itu berupa ”pelacuran” dakwah dan perjuangan, persaingan rendah di jalan dakwah, berebut lahan dan popularitas secara rendah karena ketertarikan duniawi hingga menggeser niat dan keistikamahannya.

Setidak-tidaknya ada dua solusi yang bisa ditawarkan guna mengantisipasi hal itu. Pertama; kehidupan pendakwah idealnya dijamin lembaga pemerintah atau yaya­san/organisasi dakwah. Artinya, ia tidak perlu berpikir bagaimana mencukupi kebutuhan hidup yang makin hari makin membengkak. Dalam praktik, pergumulan antara kebutuhan pragmatis ekonomi dan idealisme dalam berdakwah tidak lagi berbenturan.

Bagaimanapun pendakwah adalah manusia biasa yang mungkin punya keluarga (istri dan anak, atau orang lain yang menjadi tanggung jawabnya), yang harus tercukupi secara baik segala kebutuhan hidup, baik sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya. Hal itu  sangat manusiawi.
Namun dalam praktik, solusi pertama belum memungkinkan. Realitasnya, belum banyak lembaga/yayasan/organisasi dakwah yang konsen mengurusi kebutuhan finansial pendakwah di negeri ini. Kalau pun ada, jumlahnya masih sangat terbatas.

Maka solusi keduanya adalah agar pendakwah memiliki sumber maisyah (penghidupan/ekonomi) sendiri di luar aktivitas dakwahnya sehingga tidak menjadikan dakwah sebagai sumber mata pencaharian. Bahkan bila perlu mereka membiayai aktivitas dakwahnya, tanpa sama sekali mengharap ”amplop”. Bila ini bisa dilakukan maka pendakwah bisa terhindar dari jebakan dakwah yang dapat meruntuhkan kredibilitasnya, memasung independensinya dalam menyiarkan agama, dan menodai citra dakwah yang diemban.

Bila solusi kedua ini pun belum memungkinkan, dan pendakwah ”terpaksa” harus menerima uang, apa pun nama dan dalihnya, untuk menopang kebutuhan hidup, hendaknya ia tidak tamak dengan memasang tarif. Ia harus tetap berusaha ikhlas menyampaikan dakwah, serta terus waspada terhadap ketergelinciran diri pada jebakan yang justru bisa merusak kredibilitas dan syiar dakwah yang diemban. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar