|
SILANG kata antara Ustadz Solmed (Sholeh Mahmud) dan sebuah
majelis taklim yang dikelola Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong
baru-baru ini memantik diskursus lama tentang fenomena penerimaan amplop (uang)
pada kalangan dai atau pendakwah. Namun diskursus itu mengalami pergeseran dari
”bolehkah pendakwah menerima imbalan materi dari dakwahnya” ke ”bolehkah
memasang tarif untuk dakwahnya”.
Bila domain diskursus pertama ada pada pembahasan fikih
maka domain diskursus kedua lebih pada kode etik (adab, akhlak). Diskursus
pertama sampai sekarang pun masih menyisakan perdebatani. Ada ulama
mengharamkan pendakwah menerima uang. Tapi pendapat yang lebih ”masyhur” dan
diikuti kebanyakan ulama adalah boleh alias halal pendakwah menerima uang, yang
lazim disebut bisyarah.
Soal apakah pemberian itu memengaruhi niat, dikembalikan
kepada pribadi masing-masing sesuai dengan kadar keikhlasan dan keimanan. Itu
akan berpengaruh pada integritas dan independensi menyampaikan ilmu dan
kebenaran, tanpa terpengaruh oleh imbalan materi. Kuncinya memang ada pada
niat, sebagaimana hadis, ”Sesungguhnya
amal itu bergantung niat.” (HR
Bukhari dan Muslim).
Yang problematis dan memantik sinisme adalah ketika
pendakwah memasang tarif. Seandainya demikian, hampir dipastikan motif ekonomi
sedikit banyak telah merasuki, bahkan boleh jadi mendominasi motif berdakwah,
ketimbang keikhlasan menegakkan dakwah.
Pasang Tarif
Menerima imbalan materi tidak haram bagi pendakwah, namun
kalau sudah memasang tarif maka hal itu merupakan pelanggaran kode etik dakwah.
Hal itu bisa mencederai muru’ah (kehormatan, harga diri, kredibilitas), bahkan
mengotori citra dakwah.
Pendakwah tentulah paham agama dan dianggap berperilaku
plus yang jadi rujukan umat, sehingga levelnya pun sudah tak lagi semata pada
tingkatan ”halal-haram” sebagai pertimbangan dalam bertindak. Dia sudah
mencapai tingkatan menjaga muru’ah,
yakni bertindak atas pertimbangan kode etik atau adab. Jadi, memasang tarif
merupakan tindakan yang tidak etis.
Idealnya pendakwah memang steril dari motif ekonomi,
sebagaimana dilakukan pendakwah dari kalangan Nabi dan rasul serta salafussaleh (orang-orang saleh terdahulu). Mereka tak mengharap sedikit pun
imbalan dari aktivitas dakwah. ”Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah maka ikutilah petunjuk
mereka. Katakanlah: Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan
(Alquran). Alquran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh umat.” (QS Al-An’am: 90).
”Jika kamu
berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikit pun dari padamu.
Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya termasuk
golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya)”. (QS Yunus: 72).
Di antara hikmah kesterilan pendakwah dari motif ekonomi,
sebagaimana dinyatakan Dr Setiawan Budi Utomo dalam buku Fiqih Aktual (2013) adalah menghindarkan pendakwah dari jebakan
dakwah yang dapat menjerumuskan niat, risalah, ataupun citranya dari
keterpurukan. Jebakan itu berupa ”pelacuran” dakwah dan perjuangan, persaingan
rendah di jalan dakwah, berebut lahan dan popularitas secara rendah karena
ketertarikan duniawi hingga menggeser niat dan keistikamahannya.
Setidak-tidaknya ada dua solusi yang bisa ditawarkan guna
mengantisipasi hal itu. Pertama; kehidupan pendakwah idealnya dijamin lembaga
pemerintah atau yayasan/organisasi dakwah. Artinya, ia tidak perlu berpikir
bagaimana mencukupi kebutuhan hidup yang makin hari makin membengkak. Dalam praktik,
pergumulan antara kebutuhan pragmatis ekonomi dan idealisme dalam berdakwah
tidak lagi berbenturan.
Bagaimanapun pendakwah adalah manusia biasa yang mungkin
punya keluarga (istri dan anak, atau orang lain yang menjadi tanggung
jawabnya), yang harus tercukupi secara baik segala kebutuhan hidup, baik
sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya. Hal
itu sangat manusiawi.
Namun dalam praktik, solusi pertama belum memungkinkan.
Realitasnya, belum banyak lembaga/yayasan/organisasi dakwah yang konsen
mengurusi kebutuhan finansial pendakwah di negeri ini. Kalau pun ada, jumlahnya
masih sangat terbatas.
Maka solusi keduanya adalah agar pendakwah memiliki sumber
maisyah (penghidupan/ekonomi) sendiri di luar aktivitas dakwahnya sehingga
tidak menjadikan dakwah sebagai sumber mata pencaharian. Bahkan bila perlu
mereka membiayai aktivitas dakwahnya, tanpa sama sekali mengharap ”amplop”.
Bila ini bisa dilakukan maka pendakwah bisa terhindar dari jebakan dakwah yang
dapat meruntuhkan kredibilitasnya, memasung independensinya dalam menyiarkan
agama, dan menodai citra dakwah yang diemban.
Bila solusi kedua ini pun belum memungkinkan, dan pendakwah
”terpaksa” harus menerima uang, apa pun nama dan dalihnya, untuk menopang
kebutuhan hidup, hendaknya ia tidak tamak dengan memasang tarif. Ia harus tetap
berusaha ikhlas menyampaikan dakwah, serta terus waspada terhadap
ketergelinciran diri pada jebakan yang justru bisa merusak kredibilitas dan
syiar dakwah yang diemban. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar