|
Bila sesuatu tidak berjalan baik
dalam masyarakat, sering kita mencari kambing hitam, dan kambing hitam itu
biasanya adalah pihak yang paling tidak memiliki kekuasaan, atau yang paling
mudah dikenai penyalahan.
Freud, bapak
psikoanalisis, mengatakan bahwa hidup manusia banyak dipengaruhi bagaimana
manusia menjalani dan memaknai seksualitasnya. Perilaku kita dijelaskan melalui
dinamika hubungan antara komponen-komponen kepribadian, yakni id, ego, dan superego. Id diisi oleh dorongan-dorongan mencari kenikmatan, superego diisi oleh
keyakinan-keyakinan mengenai baik-buruk, atau pandangan moral yang
diinternalisasi dari lingkungan. Sementara ego berperan menyeimbangkan keduanya.
Mekanisme pertahanan diri
Ketika id memunculkan, misalnya, dorongan
seksual yang oleh superego
dianggap salah, berdosa, atau setidaknya tidak patut, ego akan melakukan sesuatu untuk menyeimbangkan. Misalnya,
memberitahukan risiko bila nekat melakukan tindakan seksual, baik risiko ke
diri sendiri, ke orang lain yang menjadi obyek seksual, maupun ke pihak-pihak
lain dan pada munculnya persoalan lain yang lebih luas.
Ego tidak selalu dapat menjalankan
perannya secara baik sehingga mungkin id berkuasa,
jadilah seseorang memaksakan persetubuhan dengan segala cara kepada pihak yang
tidak menghendakinya. Atau sebaliknya, superego kuat
mendominasi sehingga meski tidak melakukan apa-apa, seseorang dapat merasa
sangat bersalah akan fantasi seksualnya, melihat diri buruk, berdosa, dan
pantas dihukum.
Bagaimana
membenarkan diri ketika kita berpikir atau bertindak yang tidak sesuai dengan
nilai moral yang kita yakini? Freud menjawab: melalui konsep mekanisme
pertahanan diri (defense mechanism),
yakni strategi yang sering tidak sepenuhnya disadari untuk menyangkal,
memanipulasi, atau mengaburkan realitas. Tujuannya adalah untuk melindungi diri
dari kecemasan atau sebagai antisipasi untuk berkelit dari sanksi sosial.
Ada banyak
mekanisme pertahanan diri. Seorang yang bosan dengan pasangan dan berselingkuh
mungkin mencoba tampil penuh perhatian untuk mengurangi rasa bersalah (reaction formation, membentuk
reaksi yang berlawanan dari perasaan yang sesungguhnya). Seorang pegawai yang
kesal kepada atasan tetapi tidak berani melawan mungkin membawa kekesalannya ke
rumah, lalu memarahi anak yang dianggap rewel (displacement, memindahkan sasaran kemarahan ke obyek yang lebih
lemah). Seorang guru yang melecehkan siswinya mungkin berkilah bahwa
muridnyalah yang menggoda (proyeksi), atau muridnya itu bukan dari keluarga
baik-baik sehingga harusnya tidak perlu dipercaya ceritanya (denial, intelektualisasi,
rasionalisasi).
Hampir semua kita,
dalam intensitas tertentu, membawa mekanisme pertahanan diri, dan itu
manusiawi. Misalnya, seorang yang divonis kanker akan sangat terkejut dan yakin
ada kesalahan dalam hasil pemeriksaan sebelum akhirnya dapat menerima
kenyataan. Namun, ada bentuk-bentuk mekanisme pertahanan diri yang primitif,
bahkan patologis, yang sesungguhnya merugikan diri sendiri dan hubungan dengan
orang lain karena bila terlalu kuat terpatri, mengindikasikan kita tidak
membuka diri, tidak mampu berefleksi, dan hanya sibuk menyalahkan orang lain.
Mekanisme pertahanan diri dapat tampil pada individu ataupun kelompok. Dapat
dibayangkan dampak sosialnya bila praktik demikian mewarnai peraturan yang
ditelurkan pejabat publik yang cakupannya mengikat masyarakat banyak.
Kambing hitam
Mekanisme
pertahanan diri sering beroperasi dengan mencari kambing hitam.
Pengambinghitaman tampil melalui proyeksi atau pemindahan tanggung jawab,
dengan menyalahkan pihak lain, dan mengarahkan frustrasi, agresi, dan kebencian
kepada pihak lain tersebut secara tidak proporsional.
Yang rentan
menjadi kambing hitam adalah yang posisi sosialnya lemah dalam kekuasaan, atau
memang mudah dikenai penyalahan. Misalnya, kelompok minoritas atau yang
dianggap ’berbeda’. Perbedaan itu kemudian dianggap sebagai hal tak bermoral,
atau lebih rendah nilai moralnya, atau menyebabkan munculnya masalah sosial
sehingga perlu ’diluruskan’.
Perempuan juga
sering menjadi kambing hitam karena karakteristik seksualnya yang berbeda dan
dengan mudah dikenai penyalahan. Tanda dari pernah berhubungan seksual adalah
robeknya hymen serta kehamilan. Kadang yang ”tidak punya tanda” lebih
berbahaya karena sebagian laki-laki akan memanfaatkan ”tanda” ini sebagai cara
untuk membenarkan perilaku seksualnya sendiri yang tidak bermoral, dengan memindahkan
tanggung jawab dan melekatkan stigma negatif pada pihak perempuan.
Di balik
seorang gadis muda yang katanya ”tidak lagi perawan”, ada orang yang
menyebabkan hal itu terjadi. Mungkin pacarnya yang memang mencintainya, atau
yang memaksa karena tidak mampu menahan nafsu, atau yang bergerombol
mencekokinya dengan obat dan menjebaknya di rumah kosong (sekarang sering
terjadi). Bisa jadi ayahnya, pengganti orangtua, gurunya, aktivis, bahkan
pemimpin agama, bukan tidak mungkin bos di tempat kerja. Sebagian besar
dari orang-orang ini memanipulasi dengan menyelewengkan kekuasaannya yang
artinya lebih tidak bermoral daripada si kambing hitam. Di manakah mereka semua
dalam usulan peraturan yang sedang diributkan? Sangat naif menilai mereka
bersih dan tidak berdosa hanya karena tidak membawa ”bekas” dan ”tanda” yang
dapat diteliti dari badannya.
Kita tidak
memerlukan pejabat publik yang menggampangkan masalah, sibuk mencari pembenaran
dengan menyalahkan pihak yang rentan, dan akhirnya cuma bisa menelurkan dan mengimplementasi
kebijakan publik yang displaced, salah arah, tidak nyambung. Yang kita
perlukan adalah pemimpin, pejabat publik, dan kita semua, yang mencoba berendah
hati, yang terus belajar untuk mencoba mengerti; yang menghentikan pembodohan
dengan tidak mencari kambing hitam, tetapi becermin dan memperbaiki,
pertama-tama, perilaku diri sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar