Minggu, 01 September 2013

Mencari Kambing Hitam

Mencari Kambing Hitam
Kristi Poerwandari ;   Kolumnis “Konsultasi Psikologi” Kompas
KOMPAS, 01 September 2013


Bila sesuatu tidak berjalan baik dalam masyarakat, sering kita mencari kambing hitam, dan kambing hitam itu biasanya adalah pihak yang paling tidak memiliki kekuasaan, atau yang paling mudah dikenai penyalahan.
Freud, bapak psikoanalisis, mengatakan bahwa hidup manusia banyak dipengaruhi bagaimana manusia menjalani dan memaknai seksualitasnya. Perilaku kita dijelaskan melalui dinamika hubungan antara komponen-komponen kepribadian, yakni id, ego, dan superegoId diisi oleh dorongan-dorongan mencari kenikmatan, superego diisi oleh keyakinan-keyakinan mengenai baik-buruk, atau pandangan moral yang diinternalisasi dari lingkungan. Sementara  ego berperan menyeimbangkan keduanya.
Mekanisme pertahanan diri
Ketika id memunculkan, misalnya, dorongan seksual yang oleh superego  dianggap salah, berdosa, atau setidaknya tidak patut, ego akan melakukan sesuatu untuk menyeimbangkan. Misalnya, memberitahukan risiko bila nekat melakukan tindakan seksual, baik risiko ke diri sendiri, ke orang lain yang menjadi obyek seksual, maupun ke pihak-pihak lain dan pada munculnya persoalan lain yang lebih luas.
Ego tidak selalu dapat menjalankan perannya secara baik sehingga mungkin  id berkuasa, jadilah seseorang memaksakan persetubuhan dengan segala cara kepada pihak yang tidak menghendakinya. Atau sebaliknya, superego kuat mendominasi sehingga meski tidak melakukan apa-apa, seseorang dapat merasa sangat bersalah akan fantasi seksualnya, melihat diri buruk, berdosa, dan pantas dihukum.
Bagaimana membenarkan diri ketika kita berpikir atau bertindak yang tidak sesuai dengan nilai moral yang kita yakini? Freud menjawab: melalui konsep mekanisme pertahanan diri (defense mechanism), yakni strategi yang sering tidak sepenuhnya disadari untuk menyangkal, memanipulasi, atau mengaburkan realitas. Tujuannya adalah untuk melindungi diri dari kecemasan atau sebagai antisipasi untuk berkelit dari sanksi sosial.
Ada banyak mekanisme pertahanan diri. Seorang yang bosan dengan pasangan dan berselingkuh mungkin mencoba tampil penuh perhatian untuk mengurangi rasa bersalah (reaction formation, membentuk reaksi yang berlawanan dari perasaan yang sesungguhnya). Seorang pegawai yang kesal kepada atasan tetapi tidak berani melawan mungkin membawa kekesalannya ke rumah, lalu memarahi anak yang dianggap rewel (displacement, memindahkan sasaran kemarahan ke obyek yang lebih lemah). Seorang guru yang melecehkan siswinya mungkin berkilah bahwa muridnyalah yang menggoda (proyeksi), atau muridnya itu bukan dari keluarga baik-baik sehingga harusnya tidak perlu dipercaya ceritanya (denial, intelektualisasi, rasionalisasi).
Hampir semua kita, dalam intensitas tertentu, membawa mekanisme pertahanan diri, dan itu manusiawi. Misalnya, seorang yang divonis kanker akan sangat terkejut dan yakin ada kesalahan dalam hasil pemeriksaan sebelum akhirnya dapat menerima kenyataan. Namun, ada bentuk-bentuk mekanisme pertahanan diri yang primitif, bahkan patologis, yang sesungguhnya merugikan diri sendiri dan hubungan dengan orang lain karena bila terlalu kuat terpatri, mengindikasikan kita tidak membuka diri, tidak mampu berefleksi, dan hanya sibuk menyalahkan orang lain. Mekanisme pertahanan diri dapat tampil pada individu ataupun kelompok. Dapat dibayangkan dampak sosialnya bila praktik demikian mewarnai peraturan yang ditelurkan pejabat publik yang cakupannya mengikat masyarakat banyak.
Kambing hitam
Mekanisme pertahanan diri sering beroperasi dengan mencari kambing hitam. Pengambinghitaman tampil melalui proyeksi atau pemindahan tanggung jawab, dengan menyalahkan pihak lain, dan mengarahkan frustrasi, agresi, dan kebencian kepada pihak lain tersebut secara tidak proporsional.
Yang rentan menjadi kambing hitam adalah yang posisi sosialnya lemah dalam kekuasaan, atau memang mudah dikenai penyalahan. Misalnya, kelompok minoritas atau yang dianggap ’berbeda’. Perbedaan itu kemudian dianggap sebagai hal tak bermoral, atau lebih rendah nilai moralnya, atau menyebabkan munculnya masalah sosial sehingga perlu ’diluruskan’.
Perempuan juga sering menjadi kambing hitam karena karakteristik seksualnya yang berbeda dan dengan mudah dikenai penyalahan. Tanda dari pernah berhubungan seksual adalah robeknya hymen serta kehamilan. Kadang yang ”tidak punya tanda” lebih berbahaya karena sebagian laki-laki akan memanfaatkan ”tanda” ini sebagai cara untuk membenarkan perilaku seksualnya sendiri yang tidak bermoral, dengan memindahkan tanggung jawab dan melekatkan stigma negatif pada pihak perempuan.
Di balik seorang gadis muda yang katanya ”tidak lagi perawan”, ada orang yang menyebabkan hal itu terjadi. Mungkin pacarnya yang memang mencintainya, atau yang memaksa karena tidak mampu menahan nafsu, atau yang bergerombol mencekokinya dengan obat dan menjebaknya di rumah kosong (sekarang sering terjadi). Bisa jadi ayahnya, pengganti orangtua, gurunya, aktivis, bahkan pemimpin agama, bukan tidak mungkin bos di tempat kerja. Sebagian besar dari orang-orang ini memanipulasi dengan menyelewengkan kekuasaannya yang artinya lebih tidak bermoral daripada si kambing hitam. Di manakah mereka semua dalam usulan peraturan yang sedang diributkan? Sangat naif menilai mereka bersih dan tidak berdosa hanya karena tidak membawa ”bekas” dan ”tanda” yang dapat diteliti dari badannya.
Kita tidak memerlukan pejabat publik yang menggampangkan masalah, sibuk mencari pembenaran dengan menyalahkan pihak yang rentan, dan akhirnya cuma bisa menelurkan dan mengimplementasi kebijakan publik yang displaced, salah arah, tidak nyambung. Yang kita perlukan adalah pemimpin, pejabat publik, dan kita semua, yang mencoba berendah hati, yang terus belajar untuk mencoba mengerti; yang menghentikan pembodohan dengan tidak mencari kambing hitam, tetapi becermin dan memperbaiki, pertama-tama, perilaku diri sendiri. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar