|
Saya sekolah SMA
dan kuliah ketika zaman Orde Lama. Presidennya masih Bung Karno. Waktu itu
musik Barat dilarang karena dianggap musik nekolim (neokolonialisme dan
imperialisme).
Apalagi musik Rock! Bung Karno menamakannya musik ”Ngak-ngik-ngok!”. Kalau ketahuan mendengarkannya, ancamannya penjara. Band Koes bersaudara pernah masuk penjara selama beberapa bulan karena memainkan musik yang tergolong 3N (ngak-ngik-ngok) itu. Padahal lirik lagu-lagu Koes Bersaudara hampir semua berbahasa Indonesia, hanya iramanya memang nge-”rock” seperti lagu Bill Halleydan Everly Brothers yang sedang ngetop saat itu.
Jadi kalau mau dengar musik 3N waktu itu, kita harus sembunyi-sembunyi. Tidak ada TV, kaset, DVD, apalagi internet waktu itu. Satu-satunya cara adalah nguping dari Radio Australia atau Radio Hilversum (Belanda). Hampir semua remaja waktu itu hafal hari-hari dan jam siaran berbahasa Indonesia dari radio-radio LN (luar negeri) tersebut yang memperdengarkan lagu-lagu favorit masa itu.
Baru belakangan ada piringan-piringan hitam yang diselundupkan oleh bapak-bapak pemerintah yang tugas ke LN. Piringan-piringan hitam itu beredar dari anak-ke-anak dan diputar di hampir setiap pesta ulang tahun remaja yang biasanya selalu diakhiri dengan dansa-dansa (termasuk dansa 3N). Dari piringan-piringan hitam (dulu disebut ”plaat”, dari bahasa Belanda yang artinya: piring) itulah anak-anak band zaman dulu mempelajari musik 3N dan memainkannya di berbagai acara rumahan (dulu belum ada disko, kafe, atau klub).
Bung Karno sendiri hobinya nyanyi-nyanyi lagu Indonesia dan menari lenso yaitu tari pergaulan di mana om-om dan tante-tante (istilah bahasa Belanda ini masih dipakai sampai sekarang) saling berpegang tangan dan bergoyang ke sana ke sini sambil berlenggang lenggok. Waktu itu kebetulan saya bersekolah di SMAN I Bogor.
Sesekali saya mengantarkan ibu saya memenuhi undangan Bung Karno dan Ibu Hartini untuk makan siang atau minum teh bersama undangan-undangan (umumnya pejabat-pejabat teras di Bogor) ke Riung Gunung, sebuah restoran di atas bukit di jalan menuju Puncak, dengan pemandangan yang sangat asri (waktu itu belum banyak resto lain di Puncak), yang dikelola sangat profesional oleh manajemen Hotel Indonesia (Hotel terbaik di Jakarta waktu itu).
Selepas makan, Bung Karno mengajak tamu-tamu menari lenso diiringi life music. Tetapi, jangan salah. Ada sisi lain dari Bung Karno yang sangat menarik sebagai manusia biasa. Ketika itu kebetulan ayah saya berdinas di Bogor, sebagai kepala RS PMI Bogor sekaligus sebagai dokter pribadi Bung Karno dan Ibu Hartini Soekarno beserta keluarganya yang bermukim di Istana Bogor.
Setiap Jumat, kalau bendera kuning (lambang kepresidenan) sudah berkibar di halaman Istana Bogor, berarti Bung Karno sudah berada di Istana Bogor. Malam Minggunya, ayah dan ibu saya selalu diundang, bersama kepala polisi, wali kota, residen, danrem, dan pejabat-pejabat teras lokal lainnya serta teman-teman karib Bung Karno (termasuk arsitek Silaban, perancang Masjid Istiqlal, yang kebetulan tinggal di Bogor) untuk menonton bioskop bersama Bung Karno yang selalu didampingi Ibu Hartini yang sangat cantik.
Anak-anak (termasuk saya) biasanya diajak, duduk di karpet, paling depan. Yang menarik, film-film yang diputar selalu film-film Amerika yang di luar dilarang untuk diputar. Jadi di Istana Bogor itulah saya menonton film-film fenomenal seperti Ben Hur dan The Ten Commandment yang dibintangi Charlton Heston dan menonton bintang-bintang bom-seks zaman itu seperti Sophia Loren (Boy on a Dolphie), Gina Lorobrogoda (Trapeze, The Hunchback of Notredame), dan Brigitte Bardo (untuk bom-seks yang satu ini saya lebih ingat lekuk tubuhnya dari pada judul filmnya).
Pekan yang lalu kita menyaksikan pagelaran musik Metallica. Musik mereka benar-benar super-duper rock yang di kuping saya tidak lain hanya suara bising belaka sehingga saya pun tidak bisa membedakan antara lagu yang satu dan yang lain. Kalau Bung Karno masih hidup dan ditanya, genre musik apakah itu Metallica? Jawabnya jelas: Super-duper Ngak-ngikngok! Super-duper nekolim! Tangkap dan masukkan mereka semua ke penjara.
Tetapi, Gubernur Jokowi doyan musik seperti itu. Dia malah hafal lagu-lagunya. Konon ketika pada 1993 Metallica manggung di Lebak Bulus, dia pun sudah nonton. Jangan-jangan dia ikut yang goyangnya terlalu semangat sehingga menyenggol orang di sebelahnya dan ikut-ikutan berantem. Jadi generasi Jokowi sudah beda dengan generasi saya, apalagi generasi Bung Karno yang 12 tahun lebih tua dari ayah saya (ayah saya juga tidak suka musik Beatles).
Dalam perubahan generasi itu terjadi juga perubahan budaya dan perubahan budaya itu tidak bisa dibendung walaupun dengan ancaman penjara sekali pun. Apalagi pada zaman sekarang. Anak-anak saya (adik generasi Jokowi) menikmati the Police dan Queens lewat TV warna, beberapa TV swasta, parabola, kaset, dan video cartridge. Cucu saya (13 tahun) menikmati Justin Bieber dan grup Smash melalui VCD, DVD, bahkan YouTube yang bisa diunggah lewat ponselnya.
Kalau sudah begini, tidak bisa ada yang menghentikan penetrasi budaya dari luar. Masalahnya, di satu sisi budaya luar masuk deras memengaruhi bangsa Indonesia. Termasuk di dalamnya busana, kuliner, kosakata bahasa, tari, dan lagu. Bukan hanya budaya 3N, melainkan juga budaya Jepang, Korea, dan Arab (yang berbaju budaya Islam). Di sisi lain, alih-alih menginternasionalkan budaya Indonesia, mempertahankannya sebagai budaya nasional pun setengah mati.
Ketika saya dan teman-teman KWUI (Komunitas Wayang Universitas Indonesia) akan menggelar wayang di kampus, seksi dana kami ditanya oleh sponsor, ”Mengapa tidak menggelar band, saja? Kami siap mensponsori!” ●
Apalagi musik Rock! Bung Karno menamakannya musik ”Ngak-ngik-ngok!”. Kalau ketahuan mendengarkannya, ancamannya penjara. Band Koes bersaudara pernah masuk penjara selama beberapa bulan karena memainkan musik yang tergolong 3N (ngak-ngik-ngok) itu. Padahal lirik lagu-lagu Koes Bersaudara hampir semua berbahasa Indonesia, hanya iramanya memang nge-”rock” seperti lagu Bill Halleydan Everly Brothers yang sedang ngetop saat itu.
Jadi kalau mau dengar musik 3N waktu itu, kita harus sembunyi-sembunyi. Tidak ada TV, kaset, DVD, apalagi internet waktu itu. Satu-satunya cara adalah nguping dari Radio Australia atau Radio Hilversum (Belanda). Hampir semua remaja waktu itu hafal hari-hari dan jam siaran berbahasa Indonesia dari radio-radio LN (luar negeri) tersebut yang memperdengarkan lagu-lagu favorit masa itu.
Baru belakangan ada piringan-piringan hitam yang diselundupkan oleh bapak-bapak pemerintah yang tugas ke LN. Piringan-piringan hitam itu beredar dari anak-ke-anak dan diputar di hampir setiap pesta ulang tahun remaja yang biasanya selalu diakhiri dengan dansa-dansa (termasuk dansa 3N). Dari piringan-piringan hitam (dulu disebut ”plaat”, dari bahasa Belanda yang artinya: piring) itulah anak-anak band zaman dulu mempelajari musik 3N dan memainkannya di berbagai acara rumahan (dulu belum ada disko, kafe, atau klub).
Bung Karno sendiri hobinya nyanyi-nyanyi lagu Indonesia dan menari lenso yaitu tari pergaulan di mana om-om dan tante-tante (istilah bahasa Belanda ini masih dipakai sampai sekarang) saling berpegang tangan dan bergoyang ke sana ke sini sambil berlenggang lenggok. Waktu itu kebetulan saya bersekolah di SMAN I Bogor.
Sesekali saya mengantarkan ibu saya memenuhi undangan Bung Karno dan Ibu Hartini untuk makan siang atau minum teh bersama undangan-undangan (umumnya pejabat-pejabat teras di Bogor) ke Riung Gunung, sebuah restoran di atas bukit di jalan menuju Puncak, dengan pemandangan yang sangat asri (waktu itu belum banyak resto lain di Puncak), yang dikelola sangat profesional oleh manajemen Hotel Indonesia (Hotel terbaik di Jakarta waktu itu).
Selepas makan, Bung Karno mengajak tamu-tamu menari lenso diiringi life music. Tetapi, jangan salah. Ada sisi lain dari Bung Karno yang sangat menarik sebagai manusia biasa. Ketika itu kebetulan ayah saya berdinas di Bogor, sebagai kepala RS PMI Bogor sekaligus sebagai dokter pribadi Bung Karno dan Ibu Hartini Soekarno beserta keluarganya yang bermukim di Istana Bogor.
Setiap Jumat, kalau bendera kuning (lambang kepresidenan) sudah berkibar di halaman Istana Bogor, berarti Bung Karno sudah berada di Istana Bogor. Malam Minggunya, ayah dan ibu saya selalu diundang, bersama kepala polisi, wali kota, residen, danrem, dan pejabat-pejabat teras lokal lainnya serta teman-teman karib Bung Karno (termasuk arsitek Silaban, perancang Masjid Istiqlal, yang kebetulan tinggal di Bogor) untuk menonton bioskop bersama Bung Karno yang selalu didampingi Ibu Hartini yang sangat cantik.
Anak-anak (termasuk saya) biasanya diajak, duduk di karpet, paling depan. Yang menarik, film-film yang diputar selalu film-film Amerika yang di luar dilarang untuk diputar. Jadi di Istana Bogor itulah saya menonton film-film fenomenal seperti Ben Hur dan The Ten Commandment yang dibintangi Charlton Heston dan menonton bintang-bintang bom-seks zaman itu seperti Sophia Loren (Boy on a Dolphie), Gina Lorobrogoda (Trapeze, The Hunchback of Notredame), dan Brigitte Bardo (untuk bom-seks yang satu ini saya lebih ingat lekuk tubuhnya dari pada judul filmnya).
Pekan yang lalu kita menyaksikan pagelaran musik Metallica. Musik mereka benar-benar super-duper rock yang di kuping saya tidak lain hanya suara bising belaka sehingga saya pun tidak bisa membedakan antara lagu yang satu dan yang lain. Kalau Bung Karno masih hidup dan ditanya, genre musik apakah itu Metallica? Jawabnya jelas: Super-duper Ngak-ngikngok! Super-duper nekolim! Tangkap dan masukkan mereka semua ke penjara.
Tetapi, Gubernur Jokowi doyan musik seperti itu. Dia malah hafal lagu-lagunya. Konon ketika pada 1993 Metallica manggung di Lebak Bulus, dia pun sudah nonton. Jangan-jangan dia ikut yang goyangnya terlalu semangat sehingga menyenggol orang di sebelahnya dan ikut-ikutan berantem. Jadi generasi Jokowi sudah beda dengan generasi saya, apalagi generasi Bung Karno yang 12 tahun lebih tua dari ayah saya (ayah saya juga tidak suka musik Beatles).
Dalam perubahan generasi itu terjadi juga perubahan budaya dan perubahan budaya itu tidak bisa dibendung walaupun dengan ancaman penjara sekali pun. Apalagi pada zaman sekarang. Anak-anak saya (adik generasi Jokowi) menikmati the Police dan Queens lewat TV warna, beberapa TV swasta, parabola, kaset, dan video cartridge. Cucu saya (13 tahun) menikmati Justin Bieber dan grup Smash melalui VCD, DVD, bahkan YouTube yang bisa diunggah lewat ponselnya.
Kalau sudah begini, tidak bisa ada yang menghentikan penetrasi budaya dari luar. Masalahnya, di satu sisi budaya luar masuk deras memengaruhi bangsa Indonesia. Termasuk di dalamnya busana, kuliner, kosakata bahasa, tari, dan lagu. Bukan hanya budaya 3N, melainkan juga budaya Jepang, Korea, dan Arab (yang berbaju budaya Islam). Di sisi lain, alih-alih menginternasionalkan budaya Indonesia, mempertahankannya sebagai budaya nasional pun setengah mati.
Ketika saya dan teman-teman KWUI (Komunitas Wayang Universitas Indonesia) akan menggelar wayang di kampus, seksi dana kami ditanya oleh sponsor, ”Mengapa tidak menggelar band, saja? Kami siap mensponsori!” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar