Kamis, 05 September 2013

Makna di Balik Calon Independen

Makna di Balik Calon Independen
Irfan Sona ;  Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang,
Aktivis pemuda Pancasila Semarang
SUARA KARYA, 04 September 2013


Akhir-akhir ini, jagad politik Indonesia diramaikan dengan fenomena pencalonan gubernur dan wakil gubernur, anggota DPR, bahkan calon presiden serta wakil presiden. Namun, pencalonan tersebut sedikit berbeda dari biasanya. Jika dulu pasangan yang akan bertarung baik dilevel daerah maupun pusat itu dicalonkan oleh partai politik (parpol), maka sekarang sedikit berbeda, para calon itu lebih banyak mencalonkan diri secara individual. Hal ini menandakan kalau rekrutmen parpol dalam dunia politik semakin memudar. Bahkan dalam UU No 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua UU No 32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa monopoli parpol sudah dikurangi.

Berkaca ke belakang, usulan calon perseorangan mencuat manakala masyarakat semakin meragukan kredibilitas parpol dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat. Parpol kerap hanya bermulut manis dalam kampanye namun absen dalam agregasi kepentingan. Hal itulah yang membuat banyak masyarakat yang ingin maju mencalonkan diri menjadi wakil-wakil rakyat lebih memilih jalan indipenden dari pada menunggu partai politik yang mengajukannya. Sebab, mereka tahu selama ini, partai tidak akan mencalonkan kader muda untuk diusung dalam pertarungan perebutan kursi, baik di tingkat daerah maupun pusat. Fenomena seperti ini tentu saja memberikan sinyal merah kepada partai politik agar segera berbenah diri. Dengan maraknya budaya baru dalam dunia politik, menjadikan panggung perpolitikan semakin memanas. Budaya baru di sini adalah budaya pencalonan perorangan yang non partai.

Hal seperti ini tentu saja memberi efek yang buruk bagi partai. Seharusnya partai mampu mengayomi dan mendukung para kadernya untuk maju menjadi salah satu pemimpin rakyat, akan tetapi dalam prakteknya semua itu sudah mulai memudar.

Bahkan masyarakat semakin apatis dengan kondisi yang ada. Menjadi sangat tidak menyenangkan bagi warga negara tatkala dipaksa memilih dari banyak calon yang tidak kredibel untuk menjadi pemimpin di daerahnya.

Bagi beberapa kalangan akan memilih untuk tidak ikut mencoblos alias golongan putih (golput). Sementara tidak sedikit pula di antaranya yang asal dalam memilih. Sisanya, memilih siapa yang berani memberikan imbalan materi (baca: praktik politik uang). Tidak dapat disalahkan ketika kebanyakan masyarakat menjadi pragmatis atau bahkan apatis. Kelemahannya terletak pada partai politik yang semakin lama semakin tidak perduli dengan figur pilihan masyarakat. Pasalnya, sudah bukan rahasia lagi, hasil survei elektabilitas kader kerap dipetieskan demi keinginan pimpinan partai.

Di lain pihak, politik yang mahal cenderung mensyaratkan parpol merekrut calon-calon berpenghasilan tinggi. Pada kondisi ini partai seakan-akan sedang bertransformasi menjadi jasa penyedia lapangan kerja. Layaknya pasar, seperti inilah praktik politik transaksional yang rentan menciptakan perilaku korup para pejabat politik.

Lantas, setelah terpilih, praktik korupsi justru marak dipamerkan dipelupuk mata khalayak ramai. Pasalnya, laporan Lembaga Survei Nasioal (LSN) melansir bahwa Demokrat menempati posisi pertama sebagai partai paling korup dengan presentase 70,4 persen, diikuti Partai Golkar diposisi kedua dengan 5,7 persen, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di tempat terakhir dengan 4,4 persen. Ironisnya lagi, PKS adalah salah satu partai yang berlebelkan Islam, ternyata tidak mampu mengimplementasikan nilai-nilai keislaman dalam tubuh partai. Itulah yang memicu masyarakat untuk tidak lagi percaya kepada PKS.

Setidaknya laporan ini mempertegas bahwa partai besar di negeri ini sudah tidak layak dipercaya. Ihwal ini semakin memperparah apatisme masyarakat terhadap politik. Alhasil, muncul anggapan siapapun yang terpilih tidak akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat. Lagi-lagi hal ini memicu semangat golput masyarakat dalam memilih calon pemimpinnya. Sikap golput yang dilakukan masyarakat dalam menentukan pilihannya tentu saja tidak bisa disalahkan. Jika melihat kondisi parpol sudah hancur seperti itu, maka sangat mungkin masyarakat menjadi apatis dan memicu mereka untuk enggan dalam memilih.

Sikap golput dalam panggung politik seolah-olah sudah menjadi budaya. Budaya yang memang sudah turun temurun. Bahkan, kasus golput dalam pemilu sudah terjadi sejak tahun 1999, di mana pada waktu itu angka golput mencapai 6,3 persen. Angka yang cukup besar untuk sebuah negara seperti Indonesia ini. Dahsyatnya lagi, angka golput semakin membesar pada pemilu-pemilu berikutnya. Hal ini tentu saja memberikan tanda tanya yang besar bagi kita. Ada apa sebenarnya dengan masyarakat Indonesia sehingga angka golput semakin marak?

Namun, harus diakui tanpa pengorganisasian maka kedaulatan rakyatpun akan terancam. Memperjuangkan hak dan aspirasi akan efektif jika diorganisasikan. Inilah tugas agregasi yang diemban parpol itu sendiri. Lantas, agar peran ini tetap berlangsung maka parpol perlu didesak untuk berbenah. Hal ini dapat diawali dengan penghapusan oligarki partai, sembari mengoptimalkan fungsinya bagi kepentingan masyarakat.


Di pihak lain, kepercayaan perlu dibangun lewat transparansi keuangan serta rekrutmen parpol. Di luar itu semua, terpilihnya calon pejabat politik baik lahir dari perut partai atau perseorangan akan ditentukan oleh masyarakat. Oleh sebab itu, membangun masyarakat cerdas demi pemimpin-pemimpin bernurani menjadi mutlak dilakukan. Sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi parpol agar menghindari politik negeri koruptor, sehingga masyarakat mengembalikan kepercayaannya kepada partai politik. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar